Bayi dalam Kaca
Perempuan paruh baya itu menonton, namun tatapannya seperti kosong. Di hadapannya terjabar sebuah kejaiban berupa bayi mungil yang tengkurap tenang di dasar akuarium, dilewati gerombolan ikan diskus dan ikan tetra.
Mirella mungkin tak memiliki ibu, sebab ia muncul dari batu karang berebentuk tanduk rusa dalam sebuah akuarium raksasa di rumah Tuan Holder. Mirella menyembul begitu saja dari sela-sela batu karang, mirip anak ikan yang baru saja menetas, berenang terpatah-patah. Sepasang kakinya yang mungil menendang-nendang air, tangannya mengipas-ngipas bagai sepasang sirip. Dan dari mulutnya, gelembung-gelembung kecil melayang naik, menimbulkan suara ‘blup’ yang terdengar lemah di permukaan air.
Orang pertama yang melihat Mirella kecil dalam akuarium adalah Bibi Blonas, salah satu pembantu Tuan Holder, yang mendapat tugas khusus: membersihkan segala perkakas dan perabot yang terbuat dari kaca—perabotan dari kayu atau porselen atau gerabah atau batu, dan lain-lain, sudah ada yang mengurusnya sendiri. Bibi Blonas tidak akan menyentuh perkakas atau perabot yang bukan jatah tugasnya. Tuan Holder punya tujuh orang pembantu, dan setiap pembantu punya tugasnya masing-masing. Dan Bibi Blonas yang paling istimewa, begitulah setidaknya ia merasa, bahwa dirinya sangat beruntung mendapat tugas itu: mengurus perkakas kaca, lebih-lebih setelah ia menemukan Mirella.
Hari itu adalah hari kesembilan dari bulan kesepuluh. Dua hari setelah milad istri Tuan Holder. Bibi Blonas sedang membersihkan kaca akuarium dengan kanebo basah berwarna merah muda. Tuan Holder dan istrinya baru saja mentas berenang dari akuarium raksasa itu, mengenakan handuk, dan menghilang dalam ruangan pribadinya. Usai berenang mereka lanjut bercinta. Tuan Holder dan istrinya sering sekali bercinta, kapan saja, dan mereka melakukan itu bukan semata urusan birahi. Sudah lama sekali mereka menginginkan anak, dan sesering apapun mereka bercinta, rahim istri Tuan Holder tak juga disinggahi bakal janin. Untungnya mereka bukan orang yang mudah menyerah.
“Semakin sering kita bercocok tanam, semakin banyak pula kesempatan kita panen,” ucap Tuan Holder pada istrinya, penuh penghiburan.
Mereka sudah pergi ke beberapa dokter, dan beberapa dokter menyatakan tidak ada masalah dengan sistem reproduksi mereka. Mereka hanya belum dikasih anak. Itu saja. Maka, ketika Bibi Blonas menemukan bayi perempuan sedang berenang dalam akuarium raksasa, Tuan Holder dan istrinya amat girang. Mereka berdua yakin bayi itu adalah milik mereka.
Barangkali, saat rumah sedang kosong (atau sengaja dikosongkan), Tuan Holder dan istrinya bercinta dalam akuarium raksasa itu. Mungkin saja Mirella ada sebab itu. Bisa saja, usai bercinta, benih Tuan Holder tercecer dan mengendap di dasar akuarium, dan jadilah Mirella. Ilmu pengetahuan mengatakan benih lelaki hanya akan tumbuh kalau ia bertemu sel telur yang tersembunyi di tempat hangat dalam tubuh perempuan. Tapi kata keajaiban bisa lain. Keajaiban seringkali berjalan menyeberang pagar ilmu pengetahuan. Dan di luar pagar itulah Mirella muncul.
“Tuaaan! Ada bayi dalam akuarium…” Pekik Bibi Blonas ketika itu, pekikan yang terdengar datar.
Perempuan paruh baya itu menonton, namun tatapannya seperti kosong. Di hadapannya terjabar sebuah kejaiban berupa bayi mungil yang tengkurap tenang di dasar akuarium, dilewati gerombolan ikan diskus dan ikan tetra yang tak bisa diam. Bibi Blonas sempat cemas kalau bayi itu lapar dan memakan ikan-ikan lain. Tapi itu tak pernah terjadi.
Beberapa saat kemudian, dalam keadaan terengah-engah, Tuan Holder muncul dari balik pintu kamar dan berseru, “Ha? Apa kau tadi bilang ada bayi dalam akuarium?”
Bibi Blonas tidak menjawab, sebab Tuan Holder sudah menyaksikan sendiri bayi lucu itu tersenyum mengedarkan pandangan di dasar akuarium raksasa miliknya.
“Lilhatlah, itu pasti bayimu. Itu bayi kita,” seru Tuan Holder pada istrinya.
Istri Tuan Holder muncul menyusul, perempuan itu tercekat dalam buntalan handuk tebal yang dikenakannya. “Apakah kalian tadi bilang soal bayi…” ia bertanya ragu-ragu. Memandangi seisi akuarium dengan matanya yang cekung, dengan tatapan bingung. Perempuan itu memang tak memiliki tatapan jenis lain, selain tatapan bingung. Selalu bingung.
Tuan Holder berlari menaiki tangga dan terjun ke dalam akuarium raksasa, dan dalam sekejap ia telah berenang mendekati bayi itu, gerombolan ikan diskus dan ikan tetra membuyarkan diri sebab kaget.
Seekor udang raksasa berwarna biru tua melongokkan kepalanya dari balik batu di dasar akuarium. Dan dua ekor kura-kura berenang di sudut jauh tanpa memedulikan yang lain. Bibi Blonas dan istri Tuan Holder melihat Tuan Holder berenang dengan semangat di sekitar si bayi yang masih dalam keadaan tengkurap, Bayi yang sangat mungil. Bayi itu bergerak ringan, menjauhi Tuan Holder sambil tertawa. Tuan Holder memburu bayi itu dan tampak berusaha untuk tidak membuatnya takut. Tuan Holder mengajak bayi itu berbincang seolah tengah membuat kesepakatan. Setelah berenang dalam beberapa gerakan cepat, menguntit si bayi, Tuan Holder mencengkeram tubuh kelewat mungil itu dengan susah payah dan membawanya ke permukaan air. Air mengalir turun dari ujung kepala Tuan Holder dan tubuh si bayi.
Bibi Blonas dan istri Tuan Holder berlari menaiki tangga. Di atas akuarium raksasa itu, Tuan Holder menggendong tubuh si bayi. Si bayi memberontak tak mau digendong. Istri Tuan Holder menyeru Bibi Blonas supaya mengambil handuk untuk membedong tubuh si bayi.
“Apakah ia seorang bayi perempuan?” tanya istri Tuan Holder serupa desahan.
“Ya, dan kunamakan dia Mirella,” sahut Tuan Holder cepat-cepat, “bagaimana menurut kalian?” tanya Tuan Holder balik.
“Nama yang bagus, Tuan,” balas Bibi Blonas.
“Mirella?” istri Tuan Holder menimbang-nimbang. Bingung.
“Ya, Mirella. Tidak ada alasan mengapa Mirella. Nama itu muncul begitu saja di kepalaku saat aku memikirkan soal nama. Dan kukira itu cocok. Ada yang keberatan?”
“Mirella,” ulang istri Tuan Holder dengan nada datar.
Istri Tuan Holder memohon diri untuk menggendong bayi itu, “Mungkin dia butuh susu,” ujar istri Tuan Holder. Ia tidak tahu apakah payudaranya bisa mengeluarkan susu, tapi ia membuka satu payudaranya dan menyodorkannya pada si bayi. Jelas sekali, bayi itu tidak tertarik. Alih-alih, bayi itu meronta-ronta, dan mulutnya megap-megap seolah kehabisan udara. Istri Tuan holder membungkus kembali payudara tertolak itu.
“Ada apa dengan bayinya?” seru istri Tuan Holder panik.
Bayi itu terus saja meronta dan megap-megap, kaki mungilnya menendang-nendang lengan istri Tuan Holder dan jari-jari tipisnya meremat-meremat udara, dari mulutnya mucul decitan-decitan kecil. Serta merta Bibi Blonas teringat ikan-ikan yang terdampar ke daratan sebab pemancing, jala, dan lain hal. “Mungkin Anda harus mengembalikan bayi itu ke dalam air,” saran Bibi Blonas.
Tuan Holder merebut bayi itu dari dekapan istrinya dan menceburkannya ke dalam air. Dalam hitungan detik bayi itu meluncur gembira, persis seekor ikan yang selamat dari tangan pemburu. Kesan sedih dan bingung terjabar di wajah istri Tuan Holder.
“Mirella lahir di dalam air dan dia akan hidup di dalam air. Mirella tidak sama dengan bayi-bayi lainnya, dia sedikit istimewa,” tutur Tuan Holder pada istrinya.
Istri Tuan holder menjawab dengan gumaman-gumaman yang tak bisa didengar siapapun. Namun Tuan Holder selalu paham. Tuan Holder sudah menyiapkan jawaban.
“Aku akan menyiapkan keranjang bayi di kamar kita, dan kita bisa berangkat tidur sambil mengawasinya. Bukankah itu bagus, Bibi Blonas?” Tuan Holder bepaling ke Bibi Blonas.
“Tentu. Dan aku akan membersihkan keranjang bayi itu setiap hari agar tetap kinclong, sehingga pantauan Tuan dan Nyonya tidak akan terganggu,” Bibi Blonas mencetuskan dukungan dengan datar.
“Keranjang bayi itu akan datang, setidaknya satu jam dari sekarang,” tukas Tuan Holder, seolah sudah menyiapkan itu jauh-jauh hari.
Beberapa meter, di hadapan akuarium raksasa itu, berjajar tiga sofa empuk berwana emas, menghadap tepat ke akuarium. Perabot itu sudah lama ada di sana. Sebelum Mirella hadir, Tuan Holder dan istrinya senang sekali bersantai di sofa itu, memandangi dunia bawah air sambil menikmati teh hangat dan kue kering bertabur keju. Setelah Mirella hadir, tempat itu akan semakin sering dikunjungi. Itu pasti.
“Aku akan melihat anak kita bermain,” tutur istri Tuan Holder. Sedikit ragu.
Dalam akuarium itu, Mirella berenang, bersembunyi, meniup pasir di dasar air, mengejar-ngejar ikan kecil, dan sesekali berenang ke permukaan untuk menghirup oksigen. Untuk menjauhkan bayi itu dari lapar, Tuan Holder dan istrinya telah menyiapkan berdus-dus kue kering yang tersimpan di lemari, bersisian dengan media tanam, cairan pembasmi alga, stok batu-batu hias, serta makanan kucing. Dua atau tiga kali sehari, mereka akan menaburkan kue-kue kering itu di akurium, namun justru ikan-ikan lain yang berkerumun dan ikut menikmati jatah makan Mirella. Bayi itu asyik berendam di dasar akuarium. Sesekali kalau kue-kue kering itu jatuh ke dasar akuarium, bayi itu baru menyambarnya.
“Kalian harus berterima kasih pada Mirella,” tukas istri Tuan Holder pada ikan-ikan. Blup. Blup. Blup.
Menjelang malam, istri Tuan Holder akan berbisik dari balik kaca akuarium raksasa, “Waktumu bermain sudah habis, Mirella. Saatnya tidur.” Dan Tuan Holder akan terjun ke dalam akuarium untuk mengambil Mirella dan membawanya ke keranjang bayi di kamarnya: sebuah akuarium lain, berukuran lebih kecil, dengan meja penyangga berkaki empat genap dengan roda.
Sebelum berangkat tidur, istri Tuan Holder selalu menyeret keranjang bayi itu mendekat ke sisinya. Lalu memandanginya sampai terpejam. Begitu istrinya terpejam, tuan Holder akan mencium kening istrinya, dan mengucapkan maaf dengan mata yang sangat muram. Tuan Holder mendorong keranjang bayi itu menjauh dan menyelimuti tubuh istrinya.
***
Tidak mudah menjadi Tuan Holder, tidak mudah menjadi istri Tuan Holder, tidak mudah menjadi Bibi Blonas si pembersih kaca, dan tidak mudah pula bagi kami semua, para pembantu Tuan Holder yang setia. Kami, seisi penghuni rumah ini telah bersepakat dengan itu semua: sebuah skenario, indah dan terperinci. Bahwa Mirella adalah bayi ajaib di rumah ini, dan satu-satunya, dan bahwa istri Tuan Holder harus tetap terjaga dan berbahagia.
Namun dalam kehidupan siapapun, kadang kekacauan datang tanpa memberi kabar. Suatu pagi, ibu mertua Tuan Holder muncul tiba-tiba di teras rumah.
“Aku sedang ada urusan di kota ini, jadi kusempatkan mampir sebentar, baragkali aku dapat kejutan,” ucapnya seluwes pembawa acara tebar gosip. Ada nuansa ketus di sana.
Perempuan itu sudah lama sekali tidak muncul. Dan kemunculannya seringkali membawa petaka. Terakhir muncul sekitar setahun lalu, ia memeriksa seluruh pekerjaan para pembantu di rumah ini dan menistakan segala bentuk ketidaksempurnaan. Ia memperotes tisu toilet yang lusuh, kaki meja yang berdebu, pot kaktus yang retak, permukaan kompor yang licin, serta seekor semut yang mengendap-endap di sudut meja makan. Ia melaporkan itu semua ke menantuanya, dan menyarankan diklat tambahan untuk kami semua. Tuan Holder mengiyakan, namun setelah nenek sihir itu pergi, Tuan Holder melupakan semuanya. Tuan Holder selalu berada di pihak kami.
“Saat kau beranjak tua, kau akan mengerti bagaimana rasanya menjadi nenek-nenek, itu tidak mudah. Jadi dengarkan saja saat ia bicara, dan lupakan kalau itu perlu dilupakan,” kata Tuan Holder pada kami semua, memohon pengertian atas tabiat ibu mertuannya.
Dan pagi itu, Tuan Holder tercekat lama, sebab tak kuasa mencegah ibu mertuanya menjelajah seisi rumah dengan sepasang kakinya yang angkuh dan tak pernah mau mengerti. Tuan Holder sudah tahu apa yang bakal terjadi. Skenario itu bakal hancur. Tuan Holder terus membuntuti perempuan itu, persis seekor anjing yang mengejar seekor domba nakal yang lepas. Begitu sampai di kamar utama, perempuan hampir tua itu menarik selimut hangat yang masih membaluri tubuh anaknya, istri Tuan Holder, dan memekik dengan lantang, “Apa yang membuatmu masih tertidur pukul tujuh pagi? Bangun, ibumu datang!”
Istri Tuan Holder menggeliat.
“Lihatlah! Mengapa anakku jadi sangat kurus dan kelihatan tua. Apa dia tidak bahagia?”
“Dia sedang kurang enak badan, Mom,” seru Tuan Holder sarat kehati-hatian.
“Dan untuk apa kalian memelihara ikan gabus berkaki di dalam kamar?”
“Itu jenis axolotl, Mom,” Tuan Holder mengoreksi. Rautnya mulai pasi.
“Aku tak peduli apa namanya, tapi jelas, makluk itu sangat menjijikkan. Kusarankan kalian segera membuangnya.”
Wajah Tuan Hoder mulai memucat. Sementara istrinya masih menguap di bibir ranjang, kesadarannya belum utuh.
“Mengapa berisik sekali,” ucap istri Tuan Holder dengan suara mengantuk, dan bingung, “Sudah waktunya Mirella bermain dengan teman-temannya.”
Perempuan hampir tua itu memaku, menatap putrinya dan menantunya bergantian, “Mirella? Siapa Mirella?”***
Malang, 2022
Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984, penyuka puisi dan prosa. Buku terbarunya akan segera rilis tahun ini. Kini bermukim di Malang.
Vy Patiah, kelahiran Jakarta pernah menempuh pendidikan seni rupa di Universitas Negeri Jakarta. Seringkali menjadi kontributor dalam berbagai kerjasama seperti mengisi ilustrasi buku, cover buku, produk denim painting sampai dengan action figure. Juga aktif mengikuti serangkaian pameran seni serta beberapa kali menjadi tutor diberbagai lokakarya. Ide kekaryaannya merupakan persoalan tentang hal-hal yang akrab dengan dirinya. Baginya seni adalah media tempatnya bercerita terhadap apapun yang dilihat, dengar dan rasakan.