Dongeng Burung Hantu
Rene ketakutan. Ia menemukan ibunya di belakang rumah dengan luka di bagian leher. Ia lari ke arah barat, ke kebun tebu yang terbentang luas menuju perbatasan. Orang-orang itu mengejarnya.
Dira berhenti di taman burung. Rene segera menggandeng Dira menjauh dari tempat itu meski Dira ingin berfoto dengan merak berekor panjang yang bebas berjalan-jalan di taman itu. Napas Rene sesak melihat burung hantu yang bertengger di atas pohon.
”Kenapa, Ma?” tanya Dira dengan mata polosnya.
”Di kebun binatang, banyak kuman menempel di bulu-bulunya. Kuman mudah menyebar dan beterbangan di udara,” Rene mencoba memastikan. Namun, tak semudah itu mengalihkan Dira. Dira berhenti dan memperhatikan burung-burung itu dengan saksama. Mata lebarnya penuh ingin tahu.
”Lihat, Ma, itu burung hantu!” teriak Dira menunjuk ke atas pohon. Akhirnya Dira mengetahui juga makhluk yang ingin dirahasiakannya dari gadis kecil itu. Rantai logam menjerat kakinya supaya tidak terbang jauh.
Seketika Rene bergidik. Sebuah peristiwa melintas begitu saja di kepalanya. Tubuh Rene menggigil teringat sebuah kisah tentang burung hantu dan ampas tebu. Dulu ia selalu meminta ibunya mendongeng sebelum tidur. Ia paling takjub dengan cerita tentang Putri Bulan yang mudah penasaran tentang banyak hal.
***
Sama seperti dirimu, Putri Bulan itu mudah sekali penasaran, kata ibu menjawil hidungnya. Suatu ketika ia penasaran dengan cahaya putih yang gemerlapan di Bumi, saat bulan sedang purnama. Ia pun turun ke Bumi. Ternyata benda putih yang bersinar dari kejauhan itu adalah ampas tebu yang tertimpa sinar bulan. Merasa kecewa, ia kembali terbang ke Kahyangan. Namun Pak Tani telah menebarkan getah nangka untuk menjerat binatang yang sering mencuri hasil kebunnya di malam hari. Sayap dan baju sang Putri lengket di antara daun-daun yang telah dilumuri getah. Ia berusaha melepaskan diri, namun tubuh dan sayapnya semakin rekat. Ia menangis sepanjang malam. Berlahan-lahan tubuhnya berubah. Sayapnya melebar menutupi seluruh tubuh. Si Putri tak bisa kembali ke Kahyangan. Jadilah ia burung uhu, burung hantu yang menyesali rasa penasaran yang tak dapat dikendalikannya. Ia menangis sepanjang malam sambil menatap bulan, tempat tinggalnya di kahyangan.
Rene masih memendam cerita itu. Suara ibu yang merdu tersimpan baik di telinganya. Rene tak akan lupa peristiwa yang terjadi hari itu. Langit mulai gelap dan ketakutannya berlipat. Langit malam menghitam sempurna. Ia duduk di bawah batang-batang tebu yang tumbuh rapat. Kakinya bergetar lelah dan tak mampu lagi berlari. Ia berlari sejak azan asar berkumandang tak sempurna di surau dekat rumah, surau tempat ia dan kawan-kawannya bermain karet sore itu. Setelah azan Ashar berkumandang, biasanya mereka akan segera masuk ke dalam surau. Setelah shalat Ashar, mereka akan berkumpul di surau bagian samping dan mengaji pada Pak Amin. Namun sore itu adalah sore yang tak akan dilupakannya. Orang-orang datang dan membubarkan sore yang cerah itu dengan senjata tajam dan obor di tangan.
Ia hampir memenangkan seluruh karet milik teman-temannya ketika azan bergema. Seluruh karet itu akan ia jadikan tali. Sebagian karet yang telah ia menangkan beberapa hari lalu tersimpan rapi di bawah bantal. Karet kemenangannya sore itu akan cukup digunakan untuk tali yang panjang. Ia yakin bisa mengalahkan Ninik, Tiwi, dan Lansa di permainan itu. Namun sore itu orang-orang dari timur, penduduk pedalaman, datang. Mereka membawa parang dan senjata tajam. Matanya mengeluarkan api yang nyalanya lebih panas dari obor yang mereka bawa. Mereka meneriakkan kata-kata yang tak ia pahami. Ia tak tahu apa dan siapa yang mereka cari. Mereka masuk ke rumah-rumah para pekerja kebun.
Rene ketakutan. Ia menemukan ibunya di belakang rumah dengan luka di bagian leher. Lari, Rene! Lari ke kebun! Teriak ayah sebelum mereka menusuk dada kiri ayahnya dengan tombak. Ia lari ke arah barat, ke kebun tebu yang terbentang luas menuju perbatasan. Orang-orang itu mengejarnya. Ia tak tahu seberapa panjang jarak yang ia tempuh, ia lari dan terus berlari di antara rapatnya batang-batang tebu. Mereka mengejar. Mereka memangkas batang-batang tebu dengan parang tajam. Rene terus berlari menerabas daun-daun tebu. Daun tebu bukan daun yang ramah. Kulit tangan dan kakinya telah beberapa kali tergores dan luka. Ia tak peduli.
Rene jatuh terduduk. Kakinya lelah. Suara dan kemarahan orang-orang itu—dan juga bayangan ayah ibunya—membangkitkan ketakutan yang berlipat. Ia kembali bergerak dengan merangkak. Ketika berhenti, ia tak bisa menghentikan ingatan tentang peristiwa yang baru saja disaksikannya. Berhenti berlari hanya akan membuatnya ingat pada wajah dan tubuh terakhir ayah ibunya yang penuh luka. Rene kembali berlari. Batang-batang tebu di sebelah selatan cukup tinggi untuk menyembunyikan tubuh mungilnya. Mata bocahnya terus bersiaga melihat ke belakang, menyimak langkah-langkah besar yang terus mengejar. Bibirnya bergetar memanggil ayah dan ibunya. Air mata yang bercucuran tak hanya berisi kesedihan, namun juga ketakutan.
Gelap mulai turun. Suara-suara parang masih berdesingan di telinga meski ia tak lagi mendengar suara lain kecuali suara serangga malam. Gelap akan benar-benar menyembunyikannya. Tapi bagaimana kalau mereka membawa lampu, senter, atau yang lainnya?Bukankah mereka membawa obor? pikirnya sambil terus berlari. Kakinya benar-benar letih dan mati rasa. Tenggorokannya kering. Ingin rasanya ia menangis, tetapi ia tahu, belum saatnya. Ia tak boleh menangis dan belum boleh menyerah. Langit semakin gelap. Ia tak dapat menemukan apa-apa kecuali gelap di depannya. Ia tahu, kebun tebu itu masih panjang. Kebun tebu belum akan berakhir di jarak terdekat. Ia menguatkan diri dan kembali berlari.
Ketika malam turun dengan langit hitam sempurna, ia benar-benar tak lagi mendengar langkah pengejarnya. Ia memutuskan berhenti di pinggir pematang kecil. Ia mengenali pematang kecil itu. Ia dan Lansa pernah bersepeda ke situ. Ia meraba dalam gelap dengan tangan kecilnya. Ia membiarkan kakinya basah ketika menyeberangi sungai kecil itu dengan susah payah. Ia mengusap wajahnya dengan air, menyegarkan diri. Rene ingat, terakhir ia bermain-main di sungai kecil itu, seekor ular air bersembunyi di celah batu-batu. Ia mengakhiri penyegaran itu dengan segera. Ia tak mau menambah ketakutan hari itu dengan bertemu ular.
Ia ingat, tak jauh dari situ ada sebatang pohon tanjung. Ia pernah mengumpulkan biji-bijinya untuk diadu dengan biji milik teman-temannya. Ia selalu kalah dari biji milik Dalu. Kini semua itu membayang di ingatannya. Bagaimana keadaan mereka? bisiknya pelan. Malam semakin pekat. Matanya telah terbiasa dengan gelap. Ia memanjat pohon itu dan duduk di salah satu dahannya. Ia akan bersembunyi di sana malam itu.
Serangga dan burung malam menghadang di depannya, namun ia tak bisa melihatnya. Ia mendengar suara burung hantu. Di kejauhan, ia melihat api. Orang-orang itu membakar tempat tinggalnya. Asap membubung tinggi dibawa angin. Ia mulai menangis dan putus asa, seperti Putri Bulan dalam dongeng ibu. Rene menyandarkan tubuhnya ke pokok pohon tanjung. Ia menangis dan berharap bisa berubah menjadi seekor burung seperti putri yang ada di dongeng ibunya. Burung hantu yang menangis tersedu. ”Setidaknya aku bisa terbang dan mereka tak lagi mengejarku,”katanya pelan.
Rene menyimak gemerisik daun-daun tebu yang tertiup angin. Ia teringat kakek dan neneknya. Ayah membawanya pindah ke tempat ini enam bulan sebelumnya. Ayah bekerja di perkebunan tebu. Bersama yang lain mereka membuka hutan dan menanam ribuan hektar tebu untuk dipasok ke pabrik gula. Ayah dan pekerja yang lain tak pernah tahu bahwa kebun tebu itu ditanam di atas lahan sengketa. Para penduduk pedalaman membakar kampung-kampung tempat tinggal para pekerja.
Seperti biasa, malam itu banyak pertanyaan muncul di kepala Rene, namun ia hanya bisa bungkam. Ia tak tahu kepada siapa semua pertanyaan itu akan ia ajukan. Di kejauhan kepakan burung hantu mulai berdatangan. Ia lelap dengan pertanyaan yang tak pernah terjawab.
Keesokan paginya, para pekerja di kebun tebu seberang menemukan tubuhnya di tepi pematang. Mereka membawanya ke puskesmas terdekat.
***
Rene selalu bertanya tentang banyak hal. Mengapa ayam berkokok di pagi hari? Mengapa bebek selalu berisik? Mengapa nenek itu mengunyah sirih? Ke mana burung-burung itu pergi? Siapa yang menanam pohon-pohon di hutan?
”Rene, tidak semua pertanyaan itu harus kautanyakan. Ada baiknya pertanyaan itu kausimpan untuk dirimu sendiri. Kau bisa mulai berlatih untuk memikirkannya dengan ingatan,” kata ibunya.
”Tapi aku ingin tahu yang terjadi,” kata Rene.
”Kau akan menemukan jawabannya suatu saat nanti.”
”Bagaimana kalau aku lupa?”
”Selama belum mendapat jawabannya, kau akan mengingatnya. Jawaban terbaik adalah jawaban yang berasal dari hatimu. Dan pertanyaan-pertanyaan itu tidak harus dijawab sekarang. Mungkin nanti, besok, kelak ketika dewasa, kau akan memahaminya. Kau harus bersabar.”
Namun Rene tak pernah berhenti bertanya.
”Siapa paman itu? Mengapa ia marah-marah?” tanyanya suatu ketika saat ibu mengajaknya ke pasar. Itu adalah hari terakhir ia pergi ke pasar bersama ibu.
”Ssstt! Jangan bertanya macam-macam di tempat seperti ini. Simpan semua pertanyaanmu. Nanti ibu jelaskan semuanya di rumah.”
Tapi Rene tak bisa menahan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepalanya.
”Mengapa mereka membawa babi? Apakah mereka juga akan memakannya?” tanyanya ketika seorang lelaki menenteng kepala babi. Lelaki itu menatapnya tajam. Ibu menutup mulut Rene dengan telapak tangan. Ibu berkali-kali meminta maaf pada orang itu dan segera mengajak Rene pulang.
”Ibu tidak akan mengajakmu ke pasar lagi!” kata ibu sesampainya mereka di rumah. Rene tak tahu di mana letak salahnya. Dan memang, ibu tak lagi mengajaknya ke pasar setelah hari itu.
Rene dan teman-temannya sedang bermain di halaman surau. Orang-orang itu datang dengan parang terhunus. Mereka membakar rumah dan menghabisi para pendatang dan membakar rumahnya.
”Tahu apa kalian, para pendatang? Kalian mengambil tanah dan kebun kami untuk mendirikan pabrik-pabrik kalian di tanah leluhur kami!” teriak lelaki yang bertubuh gempal, lelaki yang dilihatnya membawa kepala babi di pasar pagi tadi.
Peristiwa itu tak bisa lekang dari ingatan. Sebuah peristiwa yang menyisakan kepahitan. Kepahitan yang menjebak sebagaimana ampas tebu yang berhamburan dengan getah nangka yang menjadikannya menyesal seperti burung hantu.
*
Burung hantu itu masih di sana. Dira memotretnya. Rene mengawasinya dari kejauhan. Ia menarik napas panjang. Ia tak tahu apakah ia akan mendongengkan kisah yang sama untuk Dira sebagaimana ibu mendongengkan kisah itu padanya.
Pertanyaan-pertanyaan masih sering muncul dalam dirinya, namun seketika dibungkamnya. Sekali lagi ibunya benar, terkadang ia harus menyimpan pertanyaan-pertanyaan untuk dirinya sendiri. Putri Bulan kehilangan segalanya, dan Rene juga kehilangan semuanya. Ia tak ingin merasakan kehilangan yang lebih besar.
Maret 2017- Agustus 2022
Karisma Fahmi Y, lahir di Kota Pare, Kediri, Jawa Timur. Esai, cerpen dan puisi-puisinya pernah dimuat di beberapa media seperti Solopos, Joglosemar, Nova, Suara Merdeka, Majalah Sastra Horison, dan Koran Tempo. Puisi, esai dan cerpennya tergabung dalam sejumlah antologi. Tinggal di Solo. Buku kumpulan cerpennya adalah Pemanggil Hujan dan Pembaca Kematian diterbitkan oleh penerbit Basabasi, serta satu cerpennya ada dalam buku Antologi Kumpulan Cerpen Koran Tempo 2016.
Iwan Yusuf lahir di Gorontalo 19 Mei 1982, tinggal dan berkarya di Yogyakarta. Belajar seni rupa secara otodidak, ikut program residensi Selasar Sunaryo, aktif berpameran bersama, peserta Biennale di beberapa kota dan geleri seni rupa. Aktif berpameran tunggal sebanyak tujuh kali dan menggagas pameran seni rupa out door bertajuk Menghadap Bumi.