Lelaki Aneh di Perpustakaan
Aku mengamati lelaki itu dengan saksama sambil berpikir sebenarnya lelucon apa yang sedang ia lakukan. Aku menerka-nerka. Bisa saja ia sengaja melakukannya untuk sebuah eksperimen sosial.
Di sinilah aku, di dalam sebuah ruangan di lantai 2 perpustakaan kota yang pengunjungnya tidak lebih dari 30 orang perhari. Ini masih menjadi misteri besar, mengapa perpustakaan selalu sepi dan tidak lebih ramai dari warung kopi meskipun fasilitasnya terhitung lengkap: tempat yang nyaman, internet yang cepat, dan kadang-kadang kantin di lantai pertama.
Ya, kuakui, beberapa perpustakaan memang ada yang tidak memiliki fasilitas semacam itu kecuali hanya berupa tempat tak terurus yang berisi buku-buku lama dan seadanya. Atau mungkin tidak beberapa, tapi beberapa, beberapa, beberapa, dan beberapa yang banyak sekali. Jika sudah begini, siapa yang layak bertanggungjawab? Pemerintah yang hanya setengah-setengah dalam mengurusi persoalan literasi? Mungkin. Pejabat yang mengorupsi dana anggaran? Mungkin. Atau kita sendiri yang cenderung pasif karena terlalu naif dan berharap lebih kepada negara? Mungkin. Tapi, tetap saja itu tidak bisa menjawab misteri mengapa perpustakaan selalu sepi.
Namun, sekarang ada yang lebih membuatku terheran-heran daripada misteri sepinya perpustakaan. Di hadapanku, berjarak tiga baris meja dan kursi yang disediakan untuk membaca, seorang lelaki berkacamata sedang membaca buku dengan cara terbalik. Sampul depan yang memuat tulisan judul, yang seharusnya berada di sisi kanan pandanganku, menjadi berada di sisi kiri. Sebaliknya, sampul belakang yang marangkum barisan kalimat sinopsis dan seharusnya searah dengan mata kiriku, menjadi searah dengan mata kananku. Selain itu, huruf-huruf di sampulnya menjadi seperti sekumpulan orang terbalik dalam acara sirkus.
Aku mengamati lelaki itu dengan saksama sambil berpikir sebenarnya lelucon apa yang sedang ia lakukan. Aku menerka-nerka. Bisa saja ia sengaja melakukannya untuk sebuah eksperimen sosial, untuk mencari tahu apakah masih ada orang baik yang mau menegur atas sebuah kesalahan besar atau kecil sekalipun. Tapi, jika memang itu yang diinginkannya, seharusnya ia membaca dengan buku terbalik di dalam sebuah kereta yang penuh-sesak, bukan di perpustakaan yang sepi.
Aku mengintai lelaki itu dari balik laptop di depanku. Agaknya ia merasa kalau sedang diawasi. Ia mengangkat kepala lalu memusatkan pandangannya kepadaku. Mata kami bertemu. Ia tersenyum dan membuat anggukan kecil. Sambil pura-pura mengetik, aku membalas anggukannya sebagai pengganti sapaan ”hai”, ”halo”, atau yang lebih formal ”selamat siang” untuk pukul 14:05. Setelah itu ia kembali membaca bukunya. Sementara itu, karena memang tidak pandai mengetik dengan sepuluh jari, di layar laptopku kini tertulis barisan huruf seperti ini,
”agdjrinsn kzkdhjkdkbsbvzhzukz bxbvxnlz ndbbdoaj f jdjjayrid bdbhal. Vxvbdkzl wvvdhaiyw xvvbznl djsuisbd”
Mungkin, kupikir, dalam kaidah bahasa yang digunakan oleh sekelompok manusia entah di belahan dunia mana, atau yang digunakan mahluk luar angkasa jika alien memang benar ada, barisan-barisan huruf itu sudah membentuk kata-kata dan kalimat serta menunjukkan makna tertentu. Ya, bisa saja, siapa tahu.
Aku membiarkan barisan-barisan itu tetap berada di laptopku, di permukaan kertas putih dari sebuah aplikasi. Seperti mendapat wahyu, kuraih handphone lalu diam-diam mengambil foto lelaki itu dan bukunya. Aku mengunggahnya ke Twitter dengan keterangan begini, ”Tidak kalah aneh dr orang2 yg menginginkan presiden lanjut 3 periode, orang di depanku ini membaca buku dengan terbalik”. Beberapa saat kemudian foto itu mendapat komentar dari orang-orang.
”Serius?” tulis seseorang. Aku membalasnya dengan ”ya” dan menceritakan secara singkat apa yang telah kulihat. Ia lalu kembali membalas dengan ”Aneh sekaliiiiiii” diikuti emoticon tertawa.
”Mungkin dia mengidap disleksia,” tulis seseorang yang lain. Aku membalas seperti yang kutulis kepada orang pertama dan menambahnya dengan menanyakan apakah pengidap disleksia memang melakukan hal semacam itu.
”Eh, tapi lihat bibirnya kok tebal sekali,” tulis yang lain. Aku tidak membalas komentar ini karena menurutku tidak bermoral, meskipun diakhiri dengan lima emoticon orang menangis. Dan yang berkomentar seperti ini, yang keluar dari pokok persoalan, tidak hanya satu, tetapi banyak sekali.
Tapi yang membuatku terkejut adalah komentar satu ini, ”Mungkin dia diam2 lagi nonton vidio b*k*p macam anggota DPR yg pernah viral dulu itu.” Aku segera mengangkat pandanganku dari handphone, ingin memastikan apakah lelaki itu menyelipkan sesuatu di antara halaman bukunya. Namun, saat kusapukan pandanganku ke meja di mana ia berada, aku hanya menemukan tempat itu diisi kekosongan. Lelaki itu telah pergi dan tidak meninggalkan jejak apa pun.
***
Kini aku duduk di sebuah kereta dalam perjalanan pulang. Seperti yang kukatakan, kereta selalu sesak oleh orang-orang yang diperbudak pekerjaan dan telepon genggam. Aku kembali teringat lelaki di perpustakaan tadi. Jika ia ingin melakukan eksperimen sosial, ia seharusnya membaca di sini. Bayangkan, membaca buku di antara kerumunan orang yang sibuk dengan handphone saja sudah nampak aneh di mata orang, apalagi jika membacanya dengan terbalik. Aku ingin mencobanya, tapi hari ini aku sedang tidak membawa buku satu pun.
Karena bosan, aku akhirnya mengeluarkan handphone dan melihat kembali foto lelaki itu di halaman Twitter-ku. Hal pertama yang kucari adalah komentar tentang disleksia karena, jujur saja, aku tertarik dengan kemungkinan itu. Namun, di sana aku tidak mendapat balasan apa pun. Mungkin orang yang menulis komentar itu masih mencari referensi dari jurnal-jurnal ilmiah tentang penyakit itu. Atau, mungkin ia sama tidak tahunya denganku dan saat menulis kemungkinan itu ia hanya melakukannya sambil lalu. Aku lantas menggulir layar handphone. Ada lebih banyak komentar kali ini, tapi aku malas membalas satu persatu. Oleh karenanya, aku hanya menekan gambar hati sebagai gantinya, sebagai bentuk penghargaan karena mereka telah berkomentar. Hal semacam itu juga sering kulakukan saat ingin mengehentikan percakapan agar tidak menimbulkan kesan buruk.
Tiba-tiba aku memikirkan Ayah, Ibu, Tami—istriku—dan Lea—anak gadisku—di rumah. Apa yang akan mereka katakan seandainya kuceritakan tentang lelaki aneh di perpustakaan itu? Aku lalu membuat percakapan imajiner berisi komentar mereka di dalam kepalaku.
Ibu : ”Seperti katamu, dia hanya main-main, membuat lelucon. Tak ada orang yang membaca buku dari belakang.”
Ayah : ”Ada yang membaca dari belakang, kalau itu ditulis dengan bahasa Arab.”
Tapi, aku melihatnya dengan jelas kalau tulisan pada sampul buku itu dicetak dengan huruf latin. Dan seandainya di dalamnya memang berbahasa Arab, kupikir lelaki itu tidak perlu membalik bukunya. Ia hanya perlu membacanya dari kanan ke kiri.
Tami : ”Mengapa kamu tidak menanyakan langsung kepada lelaki itu?”
Ah, Tami akan selalu begitu. Ia tidak suka bermain-main dengan kemungkinan dan cenderung menghindari prasangka buruk. Sifat baik itu yang membuatku jatuh hati kepadanya, selain memang karena ia cantik.
Lea : ”.......................
Tidak, Lea tidak akan berkomentar apa pun. Lagi pula, apa yang dipikirkan gadis berusia tujuh tahun tentang seorang lelaki aneh yang membaca buku terbalik? Kupikir anak gadisku itu malah tidak akan memperhatikan pembicaraan di antara kami. Mungkin ia lebih memilih menyibukkan diri dengan menyusun puzzle dari gambar lanskap sebuah rumah lengkap dengan halaman dan bunga, sebuah hobi yang baru dikenalkan Tami beberapa minggu lalu.
***
Kami berkumpul di ruang tengah malam ini, menunggu sinetron yang sempat di-tweet oleh seorang menteri yang membuatnya menjadi bahan omongan banyak orang. Seorang menteri seharusnya mengurus pemerintahan, mengurus negara, bukan sinetron. Begitu bunyi salah satu komentar yang pernah kutemukan. Telivisi masih dimatikan. Aku mulai menceritakan tentang lelaki aneh di perpustakaan yang membaca buku dengan terbalik. Teringat isi percakapan imajiner yang kubuat di kereta, sambil memandang ayah, kukatakan kalau buku itu tidak ditulis dengan bahasa Arab. Tidak lupa kuceritakan juga tentang foto yang kuunggah di Twitter beserta beberapa isi komentarnya.
Namun, di luar dugaanku, baik Ayah, Ibu, atau Tami, mereka tidak memberikan tanggapan apa pun. Ayah sibuk dengan sepuntung rokok di tangannya. Ibu berbaring memperhatikan jam dinding, seoalah-olah ia tidak sabar menunggu sinetron kesayangannya dimulai. Dan Tami, yang tengah memperhatikan Lea menyusun kepingan puzzle, akhirnya hanya memberi komentar singkat, ”Sudah bagus dia mau membaca.” Ayah lalu menimpali ucapan Tami dengan, ”Nah, benar.” Disusul Ibu yang hanya menambahkan satu kata dari ucapan Ayah, ”Nah, ya, benar.”
Tentu saja itu tidak menjawab rasa penasaranku. Aku menginginkan kemungkinan-kemungkinan lain, yang barangkali salah satunya mendekati sebuah kebenaran. Namun, Lea, kulihat ia menelengkan kepala seperti tengah memikirkan sesuatu. Ia lalu beranjak dari pangkuan ibunya, masuk ke dalam kamar, kemudian kembali dengan membawa sebuah buku.
”Buku yang dibaca orang itu mirip dengan ini, Ayah,” ucap Lea sambil mengulurkan buku dari tangannya kepadaku. ”Bukan bukunya yang terbalik, tapi hanya sampulnya. Mungkin salah cetak.”
Aku meneliti buku cerita yang diberikan Lea. Agaknya Ayah dan Ibu memperhatikan apa yang kulakukan. Buku itu memiliki kesalahan cetak pada bagian sampulnya sehingga membuat gambar-gambar dan tulisan-tulisan di permukaannya terbalik secara vertikal. Mungkin benar apa yang dipikirkan Lea, batinku. Mungkin itu hanya kesalahan cetak, bukan lelucon eksperimen sosial, bukan persoalan pengidap disleksia, dan yang jelas, lelaki itu bukanlah orang aneh.
”Nah, Ayah,” kata Lea lagi setelah kembali ke pangkuan ibunya dan kepada susunan puzzle-nya. “Kata Bu Guru di sekolah, kita tidak boleh memotret orang asing dengan diam-diam. Katanya tidak sopan.”
Aku merasa tertohok oleh kata-kata Lea-ku yang polos. Kulihat Ayah, Ibu, dan Tami diam-diam mengulum senyum. Ah, la vérité sort de la bouche des enfants, kebenaran keluar dari mulut anak-anak.
Rosyid H Dimas, alumnus penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival 2018. Tergabung di sebuah komunitas pencinta buku Klub Buku Yogyakarta (KBY). Menanam Warisan (CommaBooks KPG, 2019) adalah buku pertamanya.
Putu Wirantawan, lahir di SK Agung Negara, Bali, 14 April 1972. Menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta (2005). Aktif berpameran, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Setidaknya sudah 10 kali berpameran tunggal dan sering berpameran bersama. Meraih berbagai penghargaan nasional dan internasional, antara lain Finalist of the Philip Morris Art Award 99 (1999); Nominee Among The Best 10 of Philip Morris Art Award VII (2000); Honorable Mention, The 12th International Biennial Print and Drawing Exhibition R.O.C, Taiwan (2006); dan First Prize Jakarta Art Award (2010). Karya-karyanya telah dikoleksi sejumlah museum: The National Taiwan Museum of Fine Art; Museum der Weltkulturen, Frankfurt, Jerman; Silpakorn University, Bangkok, Thailand; dan Museum ARMA, Ubud.