”Keluarga Kudus” Terpilih sebagai Cerpen Terbaik ”Kompas”
Cerpen ”Keluarga Kudus” karya Sunlie Thomas Alexander terpilih sebagai Cerpen Pilihan ”Kompas” 2021.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —”Keluarga Kudus” karya Sunlie Thomas Alexander terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2021 dengan religiositasnya yang kuat. Sifat tersebut juga semakin terlihat dalam karya-karya yang masuk sebagai cerpen pilihan harian Kompas tahun 2021.
Pengumuman karya terbaik tersebut disampaikan dalam Malam Anugerah Cerpen Kompas 2022, Selasa (28/6/2022). Menurut Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra, anugerah itu merupakan kontribusi untuk ikut mendorong pengembangan dunia sastra. Sejak 1968, ribuan cerpen diterima Kompas setiap tahun.
Cerpen Pilihan Kompas 2021 berjumlah 22 karya. Kreasi-kreasi tersebut dipilih dari 52 cerpen yang diterbitkan Kompas dan diseleksi dari total 3.468 tulisan. ”Kita tahu, karya sastra bisa mendorong lahirnya ide atau gagasan baru karena kemampuannya menerawang dan menembus lorong waktu,” katanya.
Dewan Juri Cerpen Pilihan Kompas 2021 yang terdiri dari Putu Fajar Arcana, M Hilmi Faiq, Sarie Febriane, Sri Rejeki, dan Ilham Khoiri menilai keunggulan ”Keluarga Kudus” yang pekat akan persoalan komune. Sunlie mengetengahkan karut-marut hierarki pemuka religi dengan jemaatnya.
”Ia lihai menjalin cerita. Sunlie paham tengah memasuki wilayah sensitif, sarat aturan, mapan, tapi juga sophisticated,” kata Putu, Ketua Dewan Juri Cerpen Pilihan Kompas 2021.
Hampir selalu, jika memasuki wilayah agama, dan bahkan lembaga keagamaan yang tak berkaitan langsung dengan unsur-unsur ketuhanan, niscaya ada banyak ”ranjau”. Terkadang, ranjau-ranjau itu tertanam rapi sehingga hanya lingkungan terbatas yang mengetahui dan memahaminya.
Ujung tombak kemahiran Sunlie dijabarkan dengan membingkai hipokrisi lewat gosip yang berhamburan dari keriuhan mama-mama. Mereka acapkali tak berdaya saat kedongkolannya membentur benteng berlabelkan keyakinan yang memberikan perlindungan kepada pemimpin jemaat.
Alih-alih, para mama malah bisa dipertanyakan ketaatannya sampai-sampai suami mereka pun tak berdaya. Materi yang dibeberkan lewat krisis derma dan sumbangan pembangunan gedung paroki baru, tetapi memberatkan sebagian umat, tumpang tindih hingga maknanya untuk meneguhkan kepercayaan terhadap ilah menjadi kabur.
”Kedua, Elizabeth Bafoe yang muncul pada awal kisahan tak lantas jadi tokoh utama. Sunlie memosisikannya sebagai jangkar dari seluruh gosip yang berkembang,” ujar Putu.
Lewat Elizabeth, Sunlie menunjukkan betapa institusi keagamaan tak sekudus yang dibayangkan. Kekudusan adalah persepsi yang dibentuk sulur-sulur institusi melalui ritual, aturan, atau perintah orang yang dianggap ”dekat dengan Tuhan”.
”Keluarga Kudus” menggelar ujaran-ujaran berlanggam Timor dengan lincah yang mengindikasikan penguasaan Sunlie akan bahasa tersebut meski ia lahir dan besar di Belinyu, Pulau Bangka. Meski mencantumkan beberapa kosakata lokal, penikmat cerpennya bakal terbawa memasuki atmosfer kehidupan masyarakat rural Nusa Tenggara Timur. Cerpen itu diinterpretasikan dalam bentuk video pendek serupa siniar karya Deden Bulqini dan Wawan Sofwan berdurasi 12 menit.
”Setelah hampir setengah abad pidato kebudayaan Mochtar Lubis tentang watak ’Manusia Indonesia’, akhirnya kita menemukan cerpen yang membongkar belitan akar hipokrisi di masyarakat,” kata Putu.
Sunlie pun telah menguatkan reputasinya dengan menerbitkan lima buku kumpulan cerpen. Buku terbarunya, DariBelinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu, meraih penghargaan Sastra Badan Bahasa Kemendikbud, tahun 2020, untuk kategori kritik sastra/esai.
Senada dengan ”Toya”, karya Mahwi Air Tawar yang mengontraskan surau tua dengan kediaman-kediaman mentereng, tapi kosong. Refleksi desa yang terus terambah mesin-mesin ekonomi. Dulu, surau itu demikian hidup dengan wirid yang dipanjatkan muda-mudi dan anak-anak. Tinggal Badru yang setia menaruh perhatian terhadap surau didampingi sahabatnya, Toya. Tak disangka, Badru yang sempat menyantri menjual air penglaris ajian pengamanan toko hingga menjawab perjodohan.
”Toya” mengingatkan kepada cerpen karya AA Navis, ”Robohnya Surau Kami”, sekaligus pengingat generasi penerus untuk tak meninggalkan syiar agama. Hampir tujuh dekade lalu, Navis telah mengekspresikan kerisauan lewat surau reyot karena kayunya dipreteli warga sepeninggal marbot tua yang malang.
Menurut Sunlie, ”Keluarga Kudus” berawal dari pengamatannya terhadap gosip. Gunjingan merupakan salah satu faktor menarik bagi penulis kreatif. ”Bukan hanya ibu, di warung kopi, bapak-bapak juga melakukannya. Itu bahan cerita yang sangat kaya untuk diaplikasikan dalam tulisan,” ucapnya.
”Keluarga Kudus” terinspirasi cerita istri Sunlie yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. Sunlie mengolah cerpennya agar tak terlalu menohok. ”Saya belajar dialek lokal itu dari istri. Kondisinya riil meski secara umum tak dikeluhkan karena persoalan religius,” katanya.
Sunlie merendah dengan menilai cerpen-cerpen lain yang masuk Cerpen Pilihan Kompas 2021 lebih bagus berdasarkan pembacaannya. ”Sempat tak yakin cerpen saya jadi yang terbaik. Enggak punya bayangan. Terima kasih atas penghargaan Kompas,” katanya.
Pengajar Filsafat di Universitas Indonesia Saras Dewi mengatakan, Cerpen Pilihan Kompas 2021 yang mengusung religiositas selain ”Keluarga Kudus”, seperti ”Kabar di Malam Natal” karya Silvester Petara Hurit, ”Toya”, dan ”Cakar Dubuk Tutul” yang ditulis Naning Scheid.
”Berbagai kelucuan para mama, sekaligus juga politik dari pemuka agama, disampaikan dalam ’Keluarga Kudus’ dengan sangat baik,” katanya.
Saras memandang religiositas yang kian nyata dalam Cerpen Pilihan Kompas 2021 pada beberapa tahun sebelumnya pun mulai terlihat.
Penyair Joko Pinurbo mengungkapkan religiositas sebagai tema menarik. Tema itu dianggap sangat sensitif karena publik semakin mudah menaruh perhatian menyangkut agama. ”Tema yang bisa dialami penulis, tapi sebenarnya itu sangat personal,” ucapnya.