Angin bertiup kencang, melambaikan tirai-tirai rumah sebentar, sebelum akhirnya berhenti.
Suara-suara dari dalam kamar pun tidak terdengar lagi.
“Ternyata aku sangat mencintai kamu,” terdengar suara Marti.
“Padahal?” Ini suara Ronggur.
“Aku sempat mengira aku sangat benci sama kamu.”
“Benci?”
“Kamu pikir, apa tidak harus benci?”
“Iya dong. Kenapa tidak?”
“Pergi bertahun-tahun …”
“Iya, pergi bertahun-tahun …”
“Tidak ada kabar berita.”
“Tidak ada kabar berita.”
Lantas pintu terbuka. Marti keluar mengenakan baju Ronggur, mengambil celana dalamnya dari lantai dan memakainya.
“Itulah kamu. Suka ngilang,” katanya sambil mengambil bir kaleng dari lemari es.
Ia membawa dua kaleng ke dalam kamar. Membiarkan pintu kamar tetap terbuka.
“Ah, begitu ya?” ujar Ronggur sambil menangkap kaleng bir yang dilempar Marti.
“Iya! Begitu!” Marti mencubit pipi Ronggur.
“Aduh!”
“Ke mana saja sih kamu?”
Dengan Marti di dadanya, Ronggur menatap langit-langit, seperti mengingat semuanya.
“Dari kota ke kota, dari pulau ke pulau, dari benua ke benua …”
Marti menyambungnya.
“Dari perempuan ke perempuan, dari ranjang ke ranjang …”
Ronggur mencium rambut Marti.
“Hmmm …”
“Kok ham-hem. Ada nggak?”
“Apa yang ada?”
“Perempuan lain.”
“Ah, siapalah yang mau sama aku.”
“Aku. Aku mau sama kamu. Ada nggak.”
“Nggak.”
“Bohong.”
“Kamu ini bertanya, dijawab, kok tidak percaya.”
“Kamu pasti bohong, kamu selalu jatuh cinta kepada perempuan.”
“Yaaah, setidaknya aku tidak jatuh cinta kepada laki-laki.”
Marti memukul lengan Ronggur.
“Bisa saja kamu!”
Baca juga: Marti & Sandra (Bagian 9)
Ronggur merengkuhnya. Adakah yang lebih baik di antara dua orang yang saling mencintai selain memperlihatkannya?
“Apakah kamu akan mengawini aku?” tanya Marti.
Ronggur merenggangkan pelukannya.
“Aku tidak bisa.”
Wajah Marti berubah menjadi sedih.
“Kenapa?”
Jawaban Ronggur seperti ditujukan kepada dirinya sendiri.
“Aku selalu pergi.”
“Kamu tidak kasihan Sandra?”
“Sandra akan kuat seperti kamu.”
“Tidak semua orang bisa seperti aku.”
“Sandra harus bisa.”
Alih-alih harapannya putus, Marti menguap.
“Ah, laki-laki selalu begitu.”
“Katanya ada yang serius.”
“Yah, serius sekali. Sudah menceraikan istrinya malah.”
“Nah, tidak semua laki-laki selalu pergi kan?”
“Tapi aku tidak cinta sama dia.”
Ronggur menyalakan rokok.
“Emang segitu penting? Kamu kan nanti dapat mobil bagus, rumah yang ada kolam renangnya, perusahaan, HPH, dan entah apa lagi. Apalah artinya cinta.”
Marti melepas baju Ronggur yang dikenakannya, ganti membungkus tubuhnya dengan kain, lantas merapikan rambut sambil bercermin.
“Enak bener ngomong begitu. Kukira kamu tidak tahu apa artinya cinta.”
“Oh, kamu tahu?”
Nada Marti meninggi.
“Kamu kira aku begitu murah? Ah, sudahlah. Meskipun aku cinta sama kamu, dari dulu juga kita tidak pernah cocok. Aku salah mengharapkan kamu.”
Marti mengambil jepit rambutnya yang jatuh, dan masih melanjutkan.
“Memang sebaiknya kita tidak kawin.”
Ronggur turun dari tempat tidur.
“Siapa suruh mengharapkan aku? Mana celanaku?”
Ia berjalan ke ruang tamu tempat baju-baju berserakan. Memungut dan mengenakan kembali yang telah dilepasnya.
“Apalah yang bisa diharapkan dari aku?” katanya, “aku memang cuma pedagang keliling. Sudahlah. Kawini saja laki-laki yang termèhèk-mèhèk itu. Kamu pasti untung. Hmmh! Cinta ...”
Sandra yang tertidur di lantai membuka mata.
Kedua orang dewasa ini masih bertukar kata.
“Pelacur kok ngomong cinta.”
“Sembarangan ngomong. Aku memang pelacur, tapi bukan sembarang pelacur.”
“Pelacur kok bukan sembarang pelacur. Pelacur itu mau dibolak-balik ya tetap pelacur.”
Marti terdiam sejenak, sebelum berujar sambil menahan perasaan.
“Begitu pendapatmu? Hmh! Sekarang aku bersyukur kita tidak akan pernah kawin!”
Sandra menutup matanya lagi.
Baca juga: Mata Kamera Seno Gumira