Ketika jiwa yang melayang ke masa silam itu kembali ke raganya, Dewi Citrawati pun merasa menemukan apa yang selama ini hilang dari dirinya. Ia begitu bahagia berada di tengah-tengah Taman Sriwedari.
Oleh
Sindhunata
·4 menit baca
Betapa kesepian itu menyiksa, sebab tidakkah taman itu diciptakan untuk mencinta, sementara tiada lagi cinta di sana? Dia bagaikan bunga Wijayakusuma yang kehilangan putiknya. Tak heran, dia selalu rindu untuk kembali menemukan putiknya. Sungguh dalam dirinyalah tersimpan cinta yang ingin berjumpa kembali dengan kekasih yang meninggalkannya. Dan kerinduan itu sekarang terjadi: karena Sumantri, Taman Sriwedari telah bertemu kembali dengan putiknya, Dewi Sri yang kini ada dalam diri Putri Magada, Dewi Citrawati.
Maka, ketika jiwa yang melayang ke masa silam itu kembali ke raganya, Dewi Citrawati pun merasa menemukan apa yang selama ini hilang dari dirinya. Ia begitu bahagia berada di tengah-tengah Taman Sriwedari. Ia merasa, betapa bahagianya boleh kembali menjadi putik yang indah bagi bunga Wijayakusuma. Ia sendiri sudah sangatlah cantik. Dan cantiknya menjadi makin jelita, ketika sekarang ia berada kembali di Taman Sriwedari. Kecantikannya benar-benar kecantikan Dewi Sri yang berada di dunia. Rakyat Maespati terheran-heran melihatnya. Dan mereka pun makin mengelu-elukannya. Pantaslah, bila Dewi Citrawati menjadi permaisuri Kerajaan Maespati. Layaklah memang, bila raja mereka, Prabu Arjunasasrabahu, bersanding dengan Putri Magada ini. Karena perkawinan mereka adalah takdir yang sudah digariskan para dewa, takdir yang berkata, di dunia ini penjelmaan Batara Wisnu dan Dewi Sri pasti akan bertemu menjadi suami istri. Bahkan dalam perkawinan mereka makin teguh dan kentara, bahwa raja mereka, Prabu Arjunasasrabahu, adalah titisan Batara Wisnu, dan permaisurinya, Dewi Citrawati, adalah titisan Dewi Sri. Untuk takdir itu, rakyat Magada dan Maespati merasa, Taman Sriwedarilah saksinya.
Sumantri, terimalah terima kasihku. Kau telah mempertemukan aku kembali dengan diriku. Namun hanya engkau pula yang seharusnya tahu, pertemuan ini hanya akan makin menyiksa aku.
Sudah tiba siang hari. Hiruk-pikuk karena peristiwa yang luar biasa ini belum juga berhenti. Suasana baru menjadi sunyi, ketika Dewi Citrawati mendekati Sumantri. Di dekat mereka, pohon asoka sedang berbunga. Dan angin melambai-lambaikan tangkai-tangkai pohon parijata dan nagapuspa. Bau wangi memancar dari tubuh Dewi Citrawati, seharum kumkuma bunga kaniri. Dan Sumantri pun seperti seorang yang lupa diri, makin tak mengerti apa yang sesungguhnya telah terjadi.
”Sumantri, terimalah terima kasihku. Kau telah mempertemukan aku kembali dengan diriku. Namun hanya engkau pula yang seharusnya tahu, pertemuan ini hanya akan makin menyiksa aku,” kata Dewi Citrawati.
Sumantri sungguh-sungguh tak mengerti. Ia hanya terdiam. Untuk menjawab pun, ia tidak mempunyai kata-kata. Ia hanya memberanikan diri untuk menatap dan ia merasa, Dewi Citrawati seakan memberikan kecantikannya baginya. Namun pada saat itu juga ia merasa, bukanlah takdirnya, bahwa ia bisa memilikinya. Ia hanyalah punggawa seorang raja. Mana mungkin ia bisa merebut hati seorang putri yang bakal menjadi permaisuri Raja Maespati, yang diabdinya? Ia seperti tersadar dari mimpi, ketika ia mendengar langkah Prabu Arjunasasrabahu yang menghampirinya.
”Sumantri, kau sungguh satria yang sakti dan setia luar biasa. Tak mungkinlah kau menyelesaikan semua tugas yang demikian berat dan mustahil, bila kau bukan satria yang setia,” kata Prabu Arjunasasrabahu.
Sumantri kembali terdiam. Ia hanya melakukan sembah.
”Aku dan seluruh rakyat Maespati harus berterima kasih padamu, Sumantri. Untuk itu, pada saat ini juga, kuangkat kau menjadi patih di Maespati, dan kuberikan nama bagimu, Patih Suwondo, karena kesetiaanmu,” kata Prabu Arjunasasrabahu.
Sabda Raja Maespati itu terdengar di telinga rakyatnya. Mereka teringat akan Mahapatih Suwondo. Dia adalah patih kesayangan Prabu Arjunasasrabahu. Dia melakukan apa saja untuk junjungannya, sampai akhirnya ia tewas di tangan Prabu Darmawasesa, ketika ia melamar Dewi Citrawati untuk menjadi permaisuri Raja Maespati. Prabu Arjunasasrabahu sangat sedih kehilangan patihnya yang demikian setia. Rakyat Maespati senang, karena sekarang Prabu Arjunasasrabahu telah mendapat Sumantri sebagai gantinya. Mengingat segala jasa dan pengorbanannya, mereka percaya, layaklah Sumantri sekarang mendapat jabatan yang begitu tinggi dengan gelar Patih Suwondo.
”Terima kasih, Paduka.” Kata-kata keluar dari mulut Sumantri, sementara ia sendiri merasa, ia sama sekali tidak layak untuk memperoleh jabatan mulia itu. Memang hanya dia yang tahu, bahwa mahkota ini diraihnya bukan karena kesaktian dan kehebatannya. Semuanya ini terjadi hanya karena kebaikan dan pertolongan Sukrosono, adiknya. Sumantri seharusnya bergembira, karena ia telah meraih mahkota cita-citanya, sejak ia meninggalkan pertapaan Jatisrana. Tapi ia sama sekali tak bisa merasa gembira. Mahkota cita-citanya malah terasa hanya kehampaan belaka. Mahkota itu hanya mengingatkan dia, mengapa dia menyia-nyiakan dan menyedihkan adiknya, yang begitu mencintai dan selalu menolongnya. Ia bertanya, ke mana kau, adikku? Ia dicekam rasa rindu, dan ingin rasanya ia meminta maaf pada adiknya. Ia merasa kehilangan cinta, ketika semua orang memujanya. Gegap gempita puja-puji itu hanya melemparkannya dalam sepi. Dan sepi itu sangat menyiksanya. Ia merasa, ia akan terlepas dari cengkeraman sepi itu, bila ia boleh memeluk adiknya. Sekarang ia sungguh ingin memeluk adiknya dengan penuh cinta. Tapi ternyata adiknya tak ada di sisinya. Ia sedih, sesedih orang yang takkan lagi bisa memeluk cinta.