Siapa gerangan yang tak terpesona melihat Taman Sriwedari yang begitu indah? Di kejauhan menjulang bukit kebiru-biruan. Lereng-lerengnya berhamparan aneka bunga. Bunga-bunga itu berlomba mekar, ingin merasakan belaian hangatnya fajar. Merah, jingga, putih, kuning, ungu, dan biru menyemarak. Di lereng-lereng itu alam bagaikan menyulamkan bunga-bunga menjadi permadani pagi dengan kegembiraan anak-anak. Sementara di atas bukit-bukit itu mega-mega tipis berarak bagaikan helai-helai busana bidadari yang sedang menyibak. Kuntum-kuntum melati di mana-mana terserak, memberi wangi bagi pagi yang sedang menyeruak. Sulur-sulur katirah memerah, merambati batang-batang kanigara dengan penuh gairah. Merah dan kuning bergulat di sana, membuat iri pohon asana yang terlambat memekarkan kuning bunganya. Burung-burung bernyanyi dengan nyanyian embun dari pucuk-pucuk pohon kaniri menyambut pagi. Di taman itu sudah berhenti tangis burung kalangkyang, mereka melayang-layang riang, seperti kekasih yang tak mungkin lagi ditinggalkan.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
Anak Bajang Mengayun Bulan (111)
Anak Bajang Mengayun Bulan (112)
Anak Bajang Mengayun Bulan (113)
Di bukitnya yang curam terlihat air terjun. Airnya turun dengan kencang, putih mengular panjang, bagaikan selendang membelah kehijau-hijauan. Terdengar dentang suara air yang menimpa batu-batuan, lalu memercik bagaikan mutiara yang berlompat-lompatan. Kemudian air itu menjadi sungai yang mengalir. Makin mendekat, sungai itu menukik tajam, airnya menurun melewati batu-batuan yang tersusun seperti tangga, menimbulkan gemercik irama, yang menyuara tentang kerinduan yang mengalir terus seperti air, seakan kerinduan itu takkan pernah berakhir, sebelum menemukan telaga cinta, yang bisa mengakhiri kerinduannya. Memang kerinduan itu pasti berakhir, karena di tengah taman itu terbentang telaga indah yang menjadi pelabuhannya. Telaga itu tenang dan damai, dikelilingi bunga-bunga yang permai. Di sana angsa-angsa putih berenang kian kemari, berkasih-kasihan dalam kehangatan matahari. Pada angsa-angsa yang sedang bercinta itulah air seakan tak sia-sia mengalirkan terus kerinduannya. Apalagi di tepi telaga terlihat burung-burung merak menari-nari karena berahi. Dan di pohon-pohon kalaka terdengar kukur-kukur berahi burung-burung merpati. Taman Sriwedari memang adalah taman di mana semuanya terjerat dalam cinta. Di sanalah cinta boleh bernaung di bawah payung bunga asana. Bahkan cinta yang layu pun akan tegak kembali karena sulur-sulur gadung rela memberikan tangkai-tangkainya untuk menjadi pegangan bagi cinta untuk meneruskan jalannya. Di taman itu semua bunga akan bersemi. Bunga-bunga kecil yang tak berarti pun bisa menyeruak di antara sela-sela batu-batuannya yang keras, seakan pada kerasnya batu-batuan itu tersimpan air yang mau menghidupi apa saja, agar bisa mekar dengan indah. Di Taman Sriwedari ini semuanya berbicara tentang cinta, hingga keindahan bunga-bunganya hanya bisa dirasa bila dalam bahasa cintanya.
Ia tidak bisa mengatakan apakah sesungguhnya cinta yang sedang melilitinya. Ia hanya bisa merasakan lilitan itu begitu nikmat dan indah.
Berada di taman yang demikian indah, Dewi Citrawati merasa jiwanya terbang ke masa silam yang sangat jauh. Ia diajak kembali ke masa sebelum ia dilahirkan. Waktu itu ia belum ada. Yang ada hanyalah cinta. Dan cinta itu terbang melayang-layang di kahyangan. Amat jelitalah cinta itu tampaknya, ia serupa sulur jangga emas yang merambat seperti naga. Dewa-dewa berlomba ingin menangkapnya. Tak seorang pun berhasil memperolehnya. Tapi tanpa mengetahui alasannya, sulur jangga emas serupa naga itu merambati Batara Wisnu. Dirambati olehnya, Batara Wisnu tiba-tiba merasa disergap dan dililiti cinta. Demikian dahsyat lilitannya, sampai ia merasa tak berdaya. Ia tidak bisa mengatakan apakah sesungguhnya cinta yang sedang melilitinya. Ia hanya bisa merasakan lilitan itu begitu nikmat dan indah, sehingga ia tak ingin terlepas darinya, walau ia merasa terpenjara. Agar tak terlepas darinya, sulur jangga emas serupa naga itu pun dipegangnya. Pada saat itu juga, apa yang dipegangnya itu berubah menjadi bunga Wijayakusuma. Serentak dengan itu, ia merasa seperti tak merasakan lagi adanya waktu. Saat sedang siang atau malam, ia tidak lagi tahu. Bahkan ketika bulan datang pun, ia tak merasa berada dalam malam. Waktu pun hilang, dan ia hanya menikmati keindahan yang sekarang ada di tangan. Tapi kemudian bunga Wijayakusuma itu terlepas dari tangannya, helai-helai bunganya melebar dan melebar, lalu menggelar menjadi taman. Sementara putik bunganya menjadi putri yang cantik jelita. Itulah Taman Sriwedari dan putri cantik itu adalah Dewi Sri. Dewi Sri sungguh memesona, dan saat itu juga Batara Wisnu ingin mempersuntingnya. Ia membiarkan Dewi Sri hidup di Taman Sriwedari, sampai tiba saatnya nanti.
Namun ketika saatnya benar-benar tiba, tiada lagi didapatinya Dewi Sri di Taman Sriwedari. Dewi Sri terpaksa lari, karena dewa-dewa menggodanya setiap hari. Memang, siapa dewa yang tak akan jatuh cinta karena kecantikannya. Dewi Sri lalu turun ke dunia, mengembara ke mana-mana, sampai kemudian ia menjelma dalam diri Putri Magada, Dewi Citrawati. Dalam diri Dewi Citrawati inilah Dewi Sri menanti kekasihnya, Batara Wisnu. Sementara Batara Wisnu juga harus turun ke dunia, untuk menjelma menjadi manusia, agar ia bisa menemukan kembali kekasihnya, Dewi Sri. Selama mereka mengembara, Taman Sriwedari di Gunung Nguntara menjadi taman yang sepi. Taman itu diciptakan untuk mencinta, tapi di sana tiada lagi cinta. Tak heran, taman itu selalu rindu untuk kembali menemukan cintanya.