Sumantri terdiam. Dan melepaskan mulutnya dari buah dada ibunya. Dewi Sokawati menganggap, anaknya mengerti dan menerima semua yang telah dikatakannya. Ia tersenyum puas. Anaknya pun diangkat, dan dipersembahkannya kepada bulan. Seakan ia meminta bulan untuk menjadi saksi, bahwa anaknya akan memegang janji. Dan kesunyian malam serasa ikut bernyanyi, tak mungkinlah dua anaknya akan terpisahkan lagi. Sejenak setelah itu, bulan tinggal separuh, dan mega putih menyelimutinya. Apakah ini tanda bulan tak bersedia menjadi saksi? Dewi Sokawati tak peduli. Awan yang menyelimuti bulan bergantungan dengan untaian bunga mangli. Satu persatu bunga-bunga itu jatuh ke bumi. Di bumi, jadilah bunga-bunga itu campaka putih. Dewi Sokawati memetikinya, dan merasa, ia seperti memetiki kesedihannya lagi.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra
Kesedihannya bertumbuh, seiring dengan Sumantri yang sudah lepas susu. Dewi Sokawati merasa, ia sudah berada di ujung perjalanannya. Hari-harinya seakan hanyalah senja, yang sedang menunggu terbenamnya matahari. Lembah-lembah pertapaan Jatisrana menjadi jurang-jurang sepi. Di tepi-tepinya ia duduk menanti. Di bawah sana sungai mengalir. Entah ke mana air akan dibawanya. Yang terdengar di telinganya hanyalah gemercik kesedihannya.
“Sokawati, sungguhkah kesedihanmu tidak pernah akan berakhir?” tanya Begawan Swandagni. Ia melihat, betapa kesedihan telah memakan habis badan Dewi Sokawati. Makin hari, makin kurus badannya. Wajahnya melayu, seperti bunga wungu, yang jatuh dari pucuk candi, karena terjauh dari sapaan sinar matahari.
“Begawan, semula aku berpikir, aku sedih karena hilangnya anakku, Sukrosono. Ternyata sekarang aku tahu, aku sedih karena aku bersalah, mengapa aku mau mengandungnya, bila aku tak mau memeliharanya. Kesalahanku itu takkan termaafkan, juga jika anakku masih hidup, dan aku bisa bertemu dengannya. Aku rela, bahwa anakku sudah tiada. Tapi bagaimana aku dapat meniadakan kesalahanku? Itulah yang membuat aku sedih, Begawan. Dan kesedihan itu tak mungkin hilang,” kata Dewi Sokawati.
Mendengar kata-kata istrinya itu, Begawan Swandagni terdiam. Selama ini ia belum mau mengakui salah dan menyesal atas keputusannya untuk membuang anaknya yang buruk rupa itu. Ia adalah pendeta, bagaimana mungkin ia harus mempunyai anak berwajah raksasa? Mungkin anak itu lahir karena nafsunya. Tapi pantaskah seorang pendeta membiarkan diri dikuasai oleh nafsunya? Semuanya ini jadi pembelaan diri, yang membuat ia enggan untuk menyesal dan mengaku bersalah. Namun sejak peristiwa itu, hari demi hari ia melihat betapa merana diri istrinya karena dimakan kesedihan, akibat keputusannya di malam itu. Ia bisa saja tega dan berkeras hati terhadap keadaan istrinya itu. Namun ia tak dapat mengingkari, kesedihan istrinya diam-diam juga telah masuk ke dalam dirinya. Kesedihan itu merasukinya. Dan memakan dirinya juga. Semula ia tidak tahu, apakah sebenarnya kesedihan itu. Baru sekarang ia menyadari, kesedihan itu adalah daya luar biasa, yang memaksanya untuk menyesali diri dan mengakui kesalahannya. Karena dimakan oleh kesedihan itu, lunturlah kekerasan hati Begawan Wisrawa.
“Kesalahanmu juga kesalahanku, Sokawati. Malah, akulah yang paling bersalah, sampai kau menjadi sesedih ini. Bolehkah, aku mengambil kesalahan itu, agar aku juga bisa merasakan kesedihanmu, hingga akan berkuranglah kesedihanmu?” demikian akhirnya Begawan Swandagni mengakui kesalahannya di masa lalu.
“Syukurlah Begawan, akhirnya kau rela menyesal dan mengakui kesalahanmu. Tapi mana mungkin kau bisa mengambil kesalahanku dari diriku? Kita hanya bisa menanggung kesalahan itu sendiri-sendiri. Dan dalam menanggung kesalahan itu, kita akan tahu, betapa berat sebenarnya kesedihan yang menimpa diri kita masing-masing,” kata Dewi Sokawati tabah.
“Sokawati, tiadakah jalan dan kemungkinan, bagaimana kita bisa terlepas dari kesalahan yang mendatangkan kesedihan ini?” tanya Begawan Swandagni.
“Ada, Begawan,” Dewi Sokawati menjawab dengan penuh keyakinan.
“Manakah itu, Sokawati?”
“Bila anak yang kita buang, Sukrosono, bertemu dengan saudaranya, Sumantri.”
“Tak mungkin itu terjadi, Sokawati. Sukrosono, kita buang itu sudah hilang, dan mungkin dia sudah mati. Bagaimana mungkin Sukrosono bisa bertemu dengan Sumantri?” sahut Begawan Swandagni tak mengerti. Sekali lagi, ia sungguh tak bisa memahami, bagaimana mungkin istrinya bisa ditumbuhi pikiran seperti ini. Maka ia pun tak dapat menahan diri untuk membantah istrinya lagi.
“Bagaimana mungkin anak kita bisa saling bertemu? Bagaimana mungkin kau bisa memastikan Sukrosono masih ada dan hidup? Ia sudah ditelan kegelapan dan keganasan rimba raya, Sokawati.”
“Mungkin, Begawan, Sukrosono masih hidup. Dan aku bisa menjemputnya.”
“Dengan apa kau hendak menjemputnya, Sokawati?”
“Dengan kematianku.”
Suatu saat kematian itu tak mau lagi menyembunyikan dirinya dalam kesedihan
“Sokawati…!” teriak Begawan Swandagni. Ia tak percaya, istrinya akan mengatakan itu. Ia juga tak tahu, apa arti kata-kata yang diucapkan istrinya itu. Ia hanya merasakan, betapa sekarang kesedihan benar-benar menyelimutinya. Dan dari kesedihan yang dialaminya sendiri, ia tahu, dalam kesedihan itu tersimpan kematian. Mau tak mau ia harus menerima, suatu saat kematian itu tak mau lagi menyembunyikan dirinya dalam kesedihan. Dan sekaranglah tiba saatnya, kematian itu menunjukkan dirinya. Kesedihan tinggal membukakan pintu baginya, agar ia bisa keluar menunjukkan kuasanya. Pintu itu membuka, dan mempersilakan Dewi Sokawati masuk ke dalamnya. Dari langit turunlah hujan bunga tujuh warna. Bunga-bunga itu kemudian menjadi tangga. Dewi Sokawati merambati tangga bunga itu. Bau kumkuma menebar ke pelataran Jatisrana, dan Dewi Sokawati pun pergi untuk selama-lamanya.
Begitulah Dewi Sokawati berkisah tentang peristiwa setelah ia berpisah dengan anaknya yang dibuangnya di tepi hutan Jatisrana. Sepanjang Dewi Sokawati bercerita, anaknya, raksasa yang buruk rupa itu, merasa betapa besar cinta dan pengorbanan ibunya. Ia amat terharu hingga tak dapat menahan air matanya. Tak dapat ia mengungkapkan rasa terima kasihnya, kecuali dengan memeluk ibunya erat-erat.