Banjir Dubai, Kombinasi Cuaca Ekstrem dan Lemahnya Infrastruktur Drainase
Tanpa pembenahan sistem drainase, ancaman banjir di UEA akan semakin besar seiring meningkatnya anomali iklim.
Oleh
DEBORA LAKSMI INDRASWARI
·4 menit baca
Hujan lebat yang melanda Uni Emirat Arab kembali menyebabkan banjir besar. Rekayasa cuaca dan perubahan iklim yang diduga menjadi pemicunya tidak menepiskan fakta bahwa infrastruktur sistem drainase juga tidak berfungsi optimal. Tanpa pembenahan sistem saluran air, ancaman banjir akan semakin besar seiring tingginya intensitas cuaca ekstrem akibat anomali iklim.
Hujan deras yang terjadi pada Selasa (16/4/2024) di Uni Emirat Arab (UEA) menyebabkan banjir besar di salah satu negara penguasa minyak terbesar di dunia itu. Data menyebutkan, peristiwa tersebut disebabkan oleh curah hujan tertinggi sepanjang 75 tahun terakhir.
Bahkan, catatan Badan Pusat Meteorologi UEA menyebutkan, curah hujan di daerah Al-Ain mencapai 254,8 milimeter dalam waktu kurang dari 24 jam. Pada stasiun pencatatan lain di bandara, curah hujan sebanyak 100 milimeter membasahi Dubai selama 12 jam. Catatan itu menyamai curah hujan tahunan yang berkisar 140-200 milimeter per tahun.
Hujan lebat itu membuat sejumlah daerah lumpuh. Banjir menggenang di jalan-jalan besar hingga banyak mobil terendam. Bandara Udara Internasional Dubai pun tergenang hingga bagian jalur pendaratan pesawat. Hal ini berakibat sejumlah penerbangan dibatalkan dan banyak penumpang telantar. Kegiatan belajar-mengajar juga terpaksa dilakukan secara daring hingga 19 April 2024 sembari menunggu air surut dan situasi aman.
Pemerintah UEA menyebut bencana itu sebagai an exceptional event. Selain karena besarnya curah hujan yang di luar normal, bencana banjir juga cukup jarang terjadi di negara ini. Sebagai negara yang beriklim gurun dan gersang, UEA jarang mendapatkan hujan. Jika pun ada, turunnya hujan juga tidak konsisten. Sebagai perbandingan, curah hujan di UEA yang berkisar 140-200 milimeter per tahun itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia sebagai negara tropis dengan rata-rata curah hujan setahun mencapai 2.898 milimeter.
Rendahnya curah hujan dan sedikitnya sumber air di UEA menyebabkan ketersediaan air relatif sangat langka. Ditambah lagi adanya pemanasan global yang menambah parah kelangkaan itu. Oleh sebab itu, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan air. Salah satunya menggunakan rekayasa cuaca yang dapat menimbulkan bibit-bibit awan hujan sehingga potensi terjadinya hujan semakin besar.
Tahun ini, Pemerintah UEA berencana melakukan 300 misi penyemaian awan di seluruh wilayah negara. Misi penyemaian ini diprediksi berhasil meningkatkan potensi presipitasi sebesar 25 persen dengan kondisi atmosfer bersih. Presipitasi adalah kandungan kelembapan udara yang berbentuk cairan atau bahan padat, seperti hujan, embun, dan salju. Jika lancar, program ini menjanjikan hasil signifikan yang dapat meningkatkan curah hujan tahunan.
Program tersebut merupakan kelanjutan dari misi penyemaian awan yang sudah diinisiasi UEA sejak 1990. Krisis air dan kekeringan di UEA membuat pemerintah berpacu untuk meningkatkan teknologi dalam meningkatkan curah hujan. Lembaga UEA Research Program for Rain Enhancement Science–National Center of Meteorology (UAEREP-NCM) pun dibentuk untuk mengoordinasi program itu sekaligus membuka peluang bagi para peneliti untuk berlomba mencari teknologi mumpuni guna meningkatkan curah hujan.
Potensi banjir di Dubai dan UEA
Program itulah yang kini menjadi perdebatan di media sosial dan juga masyarakat ketika banjir terjadi di UEA, termasuk Dubai. Proyek penyemaian awan disalahkan sebagai penyebab dari curah hujan tinggi dan tidak terkontrol. Namun, badan meteorologi UEA menangkis hal itu karena tidak ada operasionalisasi penyemaian awan sebelum bencana itu terjadi.
Tudingan itu menyiratkan ketidakpercayaan warganet akan terjadinya bencana banjir besar di UEA, termasuk Dubai. Dengan iklim kering, suhu tinggi, dan rendahnya curah hujan, bencana banjir bukan menjadi bencana yang paling mengancam di sana. Bencana kekeringan dan suhu tinggi lebih besar ancamannya dibandingkan banjir.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, potensi banjir di UEA memang lebih kecil. Data Aqueduct Global Flood Risk Country Rankings yang dikeluarkan World Resources Institute menyebutkan, UEA berada pada peringkat ke-144 secara global.
Pemeringkatan ini berdasarkan banyaknya populasi yang berpotensi terdampak banjir sungai. Berdasarkan pemeringkatan itu, UEA termasuk negara yang rendah risiko banjir, dilihat dari sisi dampak pada masyarakatnya dan sumber aliran banjir, yaitu dari sungai.
Meski demikian, bukan berarti UEA aman dari bencana banjir. Walaupun terpapar iklim gurun yang kering, hujan lebat yang tiba-tiba turun beberapa kali menyebabkan banjir bandang di sejumlah lokasi seperti yang terjadi pada Februari dan Maret 2016.
Pada 2020, banjir bandang juga melanda negara ini. Saat itu, pada rentang 9-12 Januari 2020, terjadi hujan lebat dengan tingkat curah hujan tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Serupa dengan situasi saat ini, jalanan hingga bandara terendam air dan mengakibatkan kota Dubai lumpuh.
Ancaman perubahan iklim dan bencana di Dubai
Hal yang menjadi kekhawatiran para ahli saat ini adalah dampak perubahan iklim di UEA. Penelitian berjudul ”Future Changes in the Precipitation Regime Over the Arabian Peninsula with Special Emphasis on UAE: Insights from NEX-GDDP CMIP6 Model Simulations” menyebutkan, curah hujan di UEA dapat meningkat hingga 30 persen pada akhir abad ini seiring dengan pemanasan global yang semakin parah.
Bencana banjir di Dubai dan daerah lain di UEA beberapa hari lalu diperkirakan juga dipicu oleh cuaca ekstrem akibat perubahan iklim. Cuaca ekstrem itu membuat curah hujan begitu lebat, lebih dari rata-rata biasanya. Ditambah lagi, Dubai belum mempersiapkan daerahnya untuk bencana hidrometeorologis yang terindikasi dari lemahnya sistem drainase.
Hal tersebut menjadi ironi mengingat Dubai menjadi salah satu kota modern dan termaju di UEA. Pembangunan besar-besaran setelah ditemukannya sumber minyak di UEA pada 1960-an tidak disertai mitigasi bencana banjir meskipun bencana ini bukan menjadi ancaman utama daerah tersebut.
Evaluasi dan pembenahan infrastruktur kini menjadi langkah Pemerintah UEA setelah banjir di Dubai dan sekitarnya mereda. Bencana banjir di Dubai itu diharapkan menjadi pengingat bagi Pemerintah UEA dan juga negara-negara lain bahwa dampak dari cuaca ekstrem semakin nyata dan terus memakan korban. Aksi nyata dari mitigasi hingga adaptasi perubahan iklim perlu terus diwujudkan mengingat semakin minimnya waktu untuk menghadapi cuaca ekstrem dan pemanasan global. (LITBANG KOMPAS)