Sejarah Sidang Isbat dan Penentuan 1 Syawal Hari Raya Idul Fitri
Sidang Isbat untuk memutuskan awal Ramadhan dan awal Idul Fitri dilakukan oleh Menteri Agama.
Oleh
KENDAR UMI KHULSUM
·4 menit baca
Dalam sejarahnya, penetapan 1 Syawal yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Agama setidaknya sudah dilakukan sejak 1962. Merujuk publikasi Keputusan Menteri Agama RI; 1 Ramadhan, Syawal dan Zulhijah 1381 H-1440 H/1962-2019 M, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Nomor 6 Tahun 1962 yang menyatakan bahwa 1 Syawal 1381 H jatuh pada 8 Maret 1962. Keputusan tersebut dikeluarkan setelah memperhatikan perhitungan para ahli hisab tentang posisi hilal awal Ramadhan dan Syawal 1381 H.
Hingga tahun 2023, tercatat sudah 148 penetapan awal Ramadhan dan awal Idul Fitri oleh Kementerian Agama yang dilakukan sejak 1962. Penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal (Idul Fitri) dan 10 Zulhijah (Idul Adha) oleh Kementerian Agama tidak terlepas dari tugas Kementerian Agama yang dibentuk setelah Indonesia Merdeka pada tanggal 2 Januari 1946.
Mantan Sesditjen Bimas Islam, M Fuad Nasar, dalam artikelnya di laman kemenag.go.id berjudul ”SejarahSidang Isbat Awal Ramadan/Idul Fitri di Kementerian Agama” (22/3/2023) menjelaskan kewenangan Kementerian Agama menetapkan hari raya terkait dengan ketentuan peribadatan sebagai hari libur yang diatur dalam Penetapan Pemerintah Tahun 1946 Nomor 2/Um.
Lebih lanjut dijelaskan perlu diadakan aturan tentang hari raya setelah mendengar Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, untuk seterusnya tiap-tiap tahun hari raya tersebut ditetapkan oleh Menteri Agama.
Dari arsip Kompas sepanjang 1965-1971 diberitakan Menteri Agama mengumumkan kepastian hari raya Idul Fitri. Pada tahun 1965, Menteri Agama menetapkan hari libur Idul Fitri 1385 H pada 23-24 Januari 1966.
Pada 1966, seusai menghadap Presiden Soekarno di Istana, Jakarta, Menteri Agama menjelaskan bahwa shalat Idul Fitri akan dilakukan di Masjid Baiturrahim kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Minggu, 23 Januari 1966, pukul 7.30.
Sedangkan shalat Idul Fitri pada 1968 digelar pada 1 Januari 1968 pukul 07.00 di halaman antara Istana Negara dan Istana Merdeka yang diikuti Pejabat Presiden Soeharto dengan para pejabat sipil, militer, serta rakyat dan para anggota Korps Diplomatik negara-negara Islam.
Era selanjutnya pada 1971, Menteri Agama mengumumkan kepastian hari raya Idul Fitri melalui radio dan televisi pada Kamis, 18 November 1971, sekitar pukul 20.00. Pengumuman ini diambil setelah Menteri Agama menerima laporan dari Tim Rukyat yang ditugaskan pada Pos Observasi Bulan di Pelabuhan Ratu. Selain Tim Rukyat, Menteri Agama juga menugaskan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia untuk mengamati Rukyat.
Pembentukan Badan Hisab dan Rukyat di Kementerian Agama
Pada 1972, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Nomor 76 Tahun 1972 tentang Pembentukan Badan Hisab dan Rukyat (BHR) Kementerian Agama RI yang diterbitkan pada 16 Agustus 1972. Pembentukan badan ini dilakukan setelah Menteri Agama menerima hasil musyawarah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dengan para ulama dan sarjana-sarjana Astronomi. Musyawarah tersebut diadakan pada 23 Maret 1972 di Jakarta.
Salah satu poin penting yang dipertimbangkan dalam pembentukan Badan Hisab dan Rukyat yang anggota-anggotanya terdiri dari para ahli dalam ilmu Hisab dan hukum Islam ialah untuk mempersatukan umat Islam dalam melaksanakan ibadahnya.
Sesuai namanya, Badan Hisab dan Rukyat bertugas melakukan hisab dan rukyatul hilal untuk menetapkan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah. Penentuan awal bulan tersebut dilakukan dalam sidang isbat. Secara harfiah, isbat berarti penyuguhan, penetapan, dan penentuan.
Sidang isbat dilakukan dengan melibatkan perwakilan kelompok masyarakat, yaitu organisasi masyarakat Islam, seperti NU dan Muhammadiyah, MUI, serta Kementerian Agama. Sidang tersebut diawali dengan penjelasan hasil hisab dan rukyat tim Badan Hisab dan Rukyat. Setelah dihasilkan keputusan bersama, barulah diadakan konferensi pers untuk mengumumkan hasilnya secara terbuka.
Sidang Isbat penentuan 1 Syawal tetap dilakukan pemerintah hingga tahun ini. Hari Selasa, 9 April 2024, pemerintah melalui Kementerian Agama kembali menggelar sidang isbat penentuan 1 Syawal 1445 H. Sidang Isbat dilaksanakan setelah proses pengamatan hilal (rukyat) di 120 titik lokasi di seluruh Indonesia.
Hingga saat ini, terdapat tiga kriteria penentuan awal bulan hijriah di Indonesia (Kompas, 23/4/2020). Pertama, rukyatul hilal atau melihat hilal yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama. Kedua, wujudul hilal atau terbentuknya hilal yang dipakai Muhammadiyah.
Ketiga, imkanur rukyat, yakni terlihatnya hilal berdasarkan kriteria Kementerian Agama yang digunakan pemerintah dan NU. Model penentuan imkanur rukyat juga dilakukan sejumlah negara, yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).
Dalam kriteria MABIMS, hilal teramati jika saat Matahari tenggelam setelah konjungsi, tinggi Bulan minimal 2 derajat, sudut elongasi atau jarak sudut Bulan-Matahari minimal 3 derajat, dan umur Bulan 8 jam.
Fatwa MUI
Sejalan dengan itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan perlunya mengikuti penetapan pemerintah terkait awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah. Hal tersebut termuat dalam Fatwa Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah. Fatwa yang ditetapkan pada 24 Januari 2004 tersebut memuat dua ketetapan.
Pada ketetapan pertama termuat empat hal, yakni penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional. Berikutnya, seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah.
Kemudian, dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait. Terakhir, hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.
Sedangkan, ketetapan kedua berisi rekomendasi, yakni Agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait. (LITBANG KOMPAS)