Mengenang Aloisius A Nugroho, Profesor ”Outlier” Itu Sudah Pergi
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Atma Jaya, Aloisius Agus Nugroho, mewariskan kreasi pemikiran dan sastra.
Oleh
BESTIAN NAINGGOLAN
·4 menit baca
Duka lagi-lagi melamur keluarga besar ilmu komunikasi di negeri ini. Betapa tidak, hari ini, 2 April 2024, Profesor Dr Aloisius Agus Nugroho berpulang pada Penciptanya. Dikabarkan, ia meninggal di lingkungan kampus, tempatnya beraktivitas, menyiarkan kebenaran pengetahuan kepada para mahasiswa.
Sejatinya, duka memang tak pernah berkompromi. Datang pun tak pernah dapat diduga. Padahal, sebelumnya, 20 Maret 2024, baru saja usai kami meratapi kepergian begawan ilmu komunikasi, Prof M Alwi Dahlan, PhD, di usianya yang ke-90 tahun.
Seperti juga Prof Alwi Dahlan, Profesor Aloisius Agus Nugroho, atau Prof Alois, biasa kami sapa, adalah sosok yang karismatik. Sedikit pun kami tak pernah meragukan bobot keilmuannya. Dalam pengajaran etika dan filsafat komunikasi ataupun dalam pengujian sidang-sidang disertasi, ia sangat percaya diri. Pertanyaan menukik. Gugatannya menggelegar dan mencecar. Itu yang menjadi ciri melekat. Segan dan berbaur rasa takut, kadang kami dibuatnya.
Namun, di balik sosoknya yang terkesan ”berjarak” itu, Prof Alois adalah pribadi yang hangat. Sosok guru kelahiran Solo, Jawa Tengah, 21 Juni 1954 itu mau memahami segenap persoalan yang dihadapi para mahasiswanya.
Bagi saya sendiri, Prof Alois lebih dari sekadar yang terceritakan. Ia adalah sosok outlier. Sang Pencilan. Kualitasnya jauh di atas rata-rata. Namun, ia juga tidak hanya seorang pencilan yang memilih berjarak dengan dunia pengajarannya. Dengan gaya pengajaran yang terbilang eksentrik, Prof Alois kerap membumikan pemikirannya kepada para mahasiswa.
Beruntung, di masa-masa lampau sempat merasakan didikannya. Saat menyiapkan disertasi bertajuk ”Teknokapitalisme Media: Kontradiksi dan Dilema Transformasi Kapital Industri Media Cetak”, misalnya, beberapa persoalan yang bersinggungan dengan esensi pemikiran kaum ekonomi ataupun teknologi determinis ia luruskan. Ia banyak mendebat. Namun, tidak kurang deras pula aliran pengetahuan ia bagikan.
Dialektika simbolikProf Alois
Masih terngiang jelas, satu pertanyaan yang ia ajukan saat ujian disertasi 2020 lalu. ”Dari ratusan lembar penjelasan transformasi kapital media ini, hanya satu pertanyaan yang saya tanyakan. Mengapa di Kompas, hanya Pak Jakob Oetama yang dipanggil ’Pak’, sementara yang lainnya hanya ’Mas’ saja?” tanya Prof Alois.
Sungguh, tidak terduga pertanyaan semacam ini. Prof Alois memahami benar apa yang tumbuh dalam lingkungan dan kultur industri media. Panggilan seperti ’Pak’ dan ’Mas’, bagi saya, tidak hanya sekadar sebutan pada sosok yang didasarkan pada rujukan usia ataupun standar kesopanan.
Bagi saya, dan hal ini pula yang disepakati Prof Alois, ’Pak’ dan ’Mas’ adalah representasi dari kelengkapan kapital dari sosok yang menyandangnya. Kapital yang dimaksud tidak hanya sekadar kapital ekonomi ala Marx, tetapi juga perluasan kapital-kapital lainnya seperti yang digagas Bourdieu, baik kapital simbolik, sosial, maupun budaya.
Dengan penggambaran semacam itu, sosok Pak Jakob, bagi saya, adalah pemilik kapital yang sangat lengkap. Baik kapital ekonomi, simbolik, sosial, maupun budaya. Dalam perjalanan panjang jurnalistiknya, begitu pun saat tegangan-tegangan dalam arena (field) terjadi, ia mampu memberdayakan sekaligus mempertahankan segenap kapital tersebut. Sebutan ’Pak’ teramat layak dalam kapasitas tindakannya sebagai seorang tokoh. Sementara di sisi lain, saya melihat belum ada satu pun sosok lain yang mampu menyaingi kelengkapannya.
Sekalipun beragam sosok profesional tumbuh di Kompas, kapital yang disandang tidaklah sepenuhnya lengkap. Ada yang kuat dalam kepemilikan kapital sosial, tetapi tidak dalam kapital ekonomi. Ada pula yang kuat dalam kapital simbolik. Ketidaklengkapan ini sudah cukup sekadar rujukan panggilan ’Mas’.
Saat itu, kami sepakat, bukan hanya sekadar rujukan panggilan saja, melainkan lebih krusial lagi jika esensi dari kepemilikan dan kelengkapan kapital semacam inilah yang juga kelak menjadi problem dalam upaya media bertransformasi, sebagaimana yang terjadi pada sebagian besar industri media di negeri ini.
Itulah mengapa, dalam pandangan kritisnya, Prof Alois tidak pernah memercayai lagi adanya media yang mempertahankan basis (infrastruktur) ideologisnya. ”Transformasi kapital, mempertegas orientasi basis ekonominya,” katanya.
Warisan karya dan buku Prof Alois
Mengenang sosok Prof Alois, terlalu banyak memang yang melekat. Mencermati jejak pendidikan yang ditorehnya, terbilang mengagumkan. Ia sempat menjajal bangku perkuliahan FKUI, tetapi tidak terselesaikan dan memilih menimba ilmu filsafat di Driyarkara (1982). Lulus sebagai sarjana filsafat, tidak beberapa lama kemudian melanjutkan ke tingkat master dan doktoral di Katholieke Universiteit Leuven Belgia (1989, 1991) dan lulus dengan predikat magnacumlaude.
Selain menjadi pengajar, Prof Alois juga dikenal banyak bersentuhan dengan dunia tulis-menulis, baik di surat kabar maupun perbukuan. Tidak sedikit artikelnya terpublikasikan pada harian Kompas. Beberapa buku pun berhasil ia terjemahkan dan tulis.
Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esai tentang Manusia, karya Ernst Cassirer, contoh terjemahannya dan diterbitkan Penerbit Gramedia (1987). Begitu pula hasil kreasinya sendiri, seperti Rakyatisme:dan Esai Esai Lain, yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas (2020). Selain buku-buku nonfiksi, uniknya, Prof Alois juga menulis puisi. Kuharap Kau Menemukan Bulan, salah satu kreasi kumpulan puisinya yang dibukukan Gramedia (2021).
Menjabarkan satu per satu pemikiran dan kreasi sastra dari Guru Besar Filsafat Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Komunikasi Universitas Katolik Atma Jaya ini bakal terkagum dibuatnya. Ia memang sosok outlier yang mencerahkan. Selamat jalan Prof!(LITBANG KOMPAS)