Manfaat Menakuti Diri Sendiri dengan Film Horor
Film horor masih menjadi pilihan favorit bagi sebagian masyarakat Indonesia.
Momen Lebaran dan film horor masih menjadi kombinasi tren yang terus bergulir beberapa tahun belakangan ini. Tingginya minat terhadap film horor menyebabkan tontonan menyeramkan itu masih menjadi pilihan favorit bagi sebagian masyarakat. Hal apakah yang sesungguhnya membuat penonton menyukai film horor dan apakah ada manfaat yang mereka peroleh?
Ada sejumlah fungsi yang tersemat dalam tontonan sebuah film. Ada yang berfungsi sebagai media massa dengan peran menjadi medium penyampai informasi dan edukasi. Fungsi mendidik ini biasanya dibawakan oleh film bergenre dokumenter. Namun, secara umum, fungsi utama film-film komersial itu lebih berfokus pada ranah hiburan. Untuk tujuan menghibur ini, ada sejumlah genre film yang dipasarkan. Ada yang bergenre drama, romantis, animasi, komedi, aksi, thriller, hingga horor.
Dari berbagai genre film tersebut, horor menjadi salah satu genre yang saat ini sangat digandrungi penonton film di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya jumlah penonton film horor, terutama karya dari rumah produksi lokal.
Film horor Sewu Dino (2023), misalnya, menjadi film paling laris tahun lalu dengan membukukan 4,9 juta penonton. Kemudian, posisi film horor kedua ditempati oleh Di Ambang Kematian (2023) yang ditonton oleh 3,3 juta orang. Dari 10 film terlaris pada tahun lalu, enam di antaranya bergenre horor. Akumulasi jumlah penonton dari keenam film horor tersebut 16,4 juta orang atau mencakup 62,5 persen dari seluruh jumlah penonton 10 film terlaris di Indonesia tahun 2023.
Data tersebut mencerminkan tingginya kecintaan audiens film di Indonesia terhadap film horor. Ketika dicermati lebih jauh, sesungguhnya terdapat dua hal yang bertolak belakang pada para pencinta film seram tersebut. Mereka menonton film untuk menghibur diri, tetapi dengan totonan yang menakutkan. Dengan kata lain dapat diungkapkan sebagai menghibur diri dengan ”penderitaan”, sebab takut adalah kondisi emosi negatif, yang dekat dengan situasi derita.
Baca juga: Film Horor Indonesia Tembus Kerja Sama Perdana dengan Lionsgate
Fenomena kontradiktif itu dipaparkan oleh Katherine Brownlowe, seorang neuropsikiatris dari Ohio State University. Brownlowe menyebutkan bahwa menghadapi pengalaman menyeramkan dan munculnya perasaan risiko terdesak ketika menonton film horor dapat menimbulkan efek perasaan aman dan tenang setelahnya.
Perasaan ketakutan ketika menonton film horor menjadi suatu bentuk untuk menantang diri bahwa seseorang dapat menghadapi sesuatu yang menyeramkan. Pada kesempatan berikutnya, di kehidupan nyata tidak lagi terintimidasi dengan situasi yang sulit, berisiko, bahkan menyeramkan sekalipun. Singkat kata, menonton film horor dapat meningkatkan imunitas seseorang dalam menghadapi tantangan dan sulitnya kehidupan.
Misalnya saja, ketika dihadapkan pada situasi harus berbicara di muka publik pada suatu seminar, tantangan tersebut bisa dibayangkan oleh sebagian orang tidak semenyeramkan tayangan horor. Tingkat kepastian peserta seminar dapat terprediksi daripada kejutan tak terduga dan menyeramkan dari film horor. Manfaat menakuti diri dengan film horor dijelaskan oleh Brownlowe dari aspek fisiologi atau fisik yang berpengaruh pada aspek psikologi atau kejiwaan.
Ketakutan dan mendapat kelegaan
Dalam ketakutan, seseorang akan bereaksi secara fisik. Misalnya, detak jantung meningkat, otot menjadi tegang, muncul reaksi spontan berteriak dan bahkan melompat atau menutup wajah. Reaksi penonton ini dipicu oleh reaksi hormon di dalam otak yang bermuara pada aksi fisik dan emosi akibat tayangan yang menakutkan.
Sesungguhnya reaksi audiens ketika menonton film horor merupakan reaksi primitif manusia sebagai bagian dari kingdom Animalia. Saat mendapat stimulus ketakutan, manusia memasuki situasi fight or flight, menghadapi ancaman atau kabur menyelamatkan diri. Mekanisme ini berfungsi untuk mempertahankan diri dari bahaya.
Salah satu reaksi penonton film horor adalah berdiam diri tidak bergerak, otot menjadi tegang. Hal ini dapat terjadi pada konteks sedang menghadapi bahaya atau diincar predator, misalnya, sehingga membuat manusia menjadi tidak mudah terdeteksi karena berdiam diri, tidak ada pergerakan.
Kemudian ada juga reaksi pada detak jantung dan ritme napas meningkat yang dipicu oleh hormon kortisol dan adrenalin. Hormon kortisol menjadi bagian dari respons tubuh saat menghadapi situasi stres atau ketakutan. Fungsi dari hormon ini untuk menyediakan energi berlimpah secara seketika untuk bereaksi cepat terhadap suatu tekanan atau ancaman.
Baca juga: Menonton Film Indonesia Menjadi Hiburan di Momen Lebaran
Pengalaman meningkatnya hormon kortisol dan adrenalin dalam tubuh ketika menonton film horor merupakan fase menegangkan. Kemudian ketika sudah selesai menonton dan situasi mencekam tidak ada lagi, maka tubuh akan berangsur tenang dan rileks. Menurut Brownlowe, fase relaksasi inilah yang menjadi manfaat dari menonton film horor sebab hormon dopamin muncul dan memberi efek ketenangan setelah menonton film.
Hormon dopamin atau sering juga disebut sebagai hormon kebahagiaan dapat memberikan efek tenang, gembira, percaya diri dan efek emosi positif lainnya. Selain itu, dopamin juga membantu proses pencernaan menjadi lebih baik dan lancar.
Fungsi film horor sebagai hiburan dapat dipahami dari sudut pandang ilmu sains meskipun terdapat faktor yang bertolak belakang, antara menakutkan dan melegakan. Efek tersebut hanya bisa didapatkan apabila film horor yang ditonton relevan dengan latar belakang budaya audiens.
Film horor dan budaya lokal
Supaya film horor dapat memberikan efek yang diharapkan, yakni menakutkan dan melegakan, ada tiga elemen yang perlu ada di dalamnya. Adalah Glenn D Walters, seorang psikolog forensik dari Universitas Kutztown di Pennsylvania, Amerika Serikat, yang mengidentifikasi tiga faktor pada film horor itu.
Pertama, faktor menegangkan yang dapat dibangun melalui elemen misteri, teror, dan kejutan. Selanjutnya, faktor relevansi terhadap audiens, misalnya mengangkat mitos yang terkenal di masyarakat setempat. Sebagai contoh, misteri terkait Ratu Pantai Selatan yang cukup dikenal luas oleh masyarakat di Pulau Jawa ataupun di Indonesia. Relevansi ranah publik terkait persoalan sosial dan budaya serta keyakinan dan kepercayaan juga penting diperhatikan untuk membangun kisah yang cukup logis. Misalnya, kondisi kesulitan ekonomi yang mendesak sehingga seseorang harus mencari pesugihan.
Faktor ketiga yang diungkapkan oleh Walters adalah ketidakrealistisan. Melebih-lebihkan elemen dalam film pada aspek teaterikalnya yang tampak dari para aktor, efek visual, serta tata suara yang dibuat secara dramatis. Tanpa adanya dramatisasi, maka efek menakutkan pada suatu film horor tidak akan terasa.
Baca juga: Tiga Resep Sukses Film ”KKN di Desa Penari”
Terkait dengan poin kedua, maka film horor yang tayang di pasar Indonesia sebisa mungkin relevan dan dapat diterima oleh audiens. Simbol-simbol yang disematkan pada film merupakan bagian dari identitas dan budaya mayoritas masyarakat Indonesia secara luas. Salah satu yang paling sering dimunculkan dalam film horor lokal adalah identitas keagamaan.
Nuansa Islam dalam film horor Indonesia memang sudah lekat sejak lama. Misalnya, ketika ada aktor yang memerankan tokoh pemuka agama di dalamnya. Kemudian ada pula dialog berupa sapaan dalam bahasa Arab yang pada konteks budaya Indonesia diidentifikasi sebagai ekspersi pemeluk agama Islam.
Namun, hal tersebut tetap harus terukur secara proporsional dan tidak terkesan serampangan. Pasalnya, hal itu dapat berpotensi menimbulkan persoalan ketika sejumlah hal tidak sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Beberapa judul film horor tahun ini yang menjadi perbincangan dan dipersoalkan adalah Kiblat (2024) besutan rumah produksi Leo Pictures, kemudian ada pula Pemandi Jenazah (2024) rilisan VMS Studio serta Munkar (2024) rilisan dari MD Picture.
Film tersebut dipersoalkan karena secara visual posternya menampilkan model dalam pose sedang beribadah, tetapi didesain bernuansa horor. Gambaran ini dapat ditemui pada poster film Kiblat dan Munkar. Sementara itu, ada pula elemen visual pocong mengelilingi perempuan berhijab yang tentu mengarah pada identitas Islam yang dirasa kurang pas.
Fenomena tersebut memang menjadi polemik di masyarakat. Polemik akan terjawab nanti ketika masyarakat bersikap akan menonton atau tidak. Hal ini akan terbukti dari catatan jumlah penonton kelak.
Namun, terlepas dari itu semua, film horor yang menyeramkan dan menakutkan itu ternyata memiliki sejumlah efek positif bagi penontonnya. (LITBANG KOMPAS)