Menimbang Ulang Rencana Kenaikan PPN Menjadi 12 Persen
Agenda menaikkan PPN kembali dikumandangkan sehingga membuat kondisi ekonomi terkesan berat dan suram.
Beberapa indikator perekonomian menunjukkan adanya kemungkinan pelemahan daya beli masyarakat. Optimisme konsumen tampak menurun dalam memandang prospek keadaan beberapa waktu mendatang. Pada saat bersamaan, agenda menaikkan PPN kembali dikumandangkan sehingga membuat kondisi ekonomi terkesan suram.
Berdasarkan pengumuman KPU pada Rabu (20/3/2024) malam, pasangan capres cawapres, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sah memenangi Pemilu 2024. Di tengah euforia sekitar 96 juta orang yang telah memilih pasangan tersebut, muncul pertanyaan apakan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan diberlakukan?
Pasalnya, sejak sebelum pengumuman KPU, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang juga ketua partai pengusung paslon tersebut, Airlangga Hartarto, mengatakan tentang agenda kebijakan terkait pajak itu. Hal ini tak lepas dari semangat keberlanjutan yang diusung oleh paslon nomor urut 2 bersama Koalisi Indonesia Maju. Airlangga mengatakan bahwa rakyat telah menjatuhkan pilihan pada keberlanjutan sehingga berbagai program yang telah dicanangkan pemerintah akan diteruskan.
Sebelumnya, wacana kenaikan PPN menjadi 12 persen telah ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam beleid tersebut dijelaskan bahwa PPN 12 persen akan diberlakukan paling lambat pada Januari 2025. Melanjutkan tarif PPN 11 persen yang sudah berlaku sejak April 2022.
Kendati telah diundangkan dan semangat keberlanjutan telah dipastikan akan diteruskan, para pemangku kebijakan baiknya perlu menimbang ulang dan mengkaji lagi lebih dalam terkait rencana tersebut. Alih-alih akan meningkatkan kamajuan ekonomi secara signifikan, kenaikan PPN dalam waktu dekat justru berpotensi akan menimbulkan efek domino yang dapat merugikan negara dan membebani masyarakat.
Baca juga: Kenaikan Tarif PPN Bisa Jadi Bumerang
Menekan konsumen
Secara teori, PPN adalah pemungutan pajak atas konsumsi barang dan jasa. Dengan kata lain, masyarakatlah yang pada akhirnya akan membayar pajak tersebut terhadap konsumi yang mereka lakukan. Memang tidak semua barang dan jasa yang dikonsumsi merupakan obyek PPN. Pengecualian berlaku bagi sejumlah kebutuhan dasar, seperti bahan pangan pokok, pendidikan, kesehatan, hingga sejumlah transaksi keuangan. Namun, wacana kenaikan PPN ini muncul di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sedang tertekan.
Polemik harga beras masih belum berujung hingga saat ini, bahkan terus merangkak naik bersamaan dengan tingginya permintaan saat Ramadhan dan jelang Lebaran. Merujuk Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional oleh Bank Indonesia, rata-rata harga beras pada 20 Maret 2024 mencapai Rp 16.050 per kilogram. Tertinggi sepanjang tahun ini.
Kenaikan harga yang tinggi juga terjadi pada sejumlah komoditas hortikultura, seperti cabai yang berada di kisaran Rp 50.000-Rp 70.000 per kg sepanjang Januari-Maret 2024. Lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu yang masih di kisaran Rp 40.000-Rp 50.000 per kilogram. Begitu pula dengan telur ayam yang menembus kisaran harga Rp 33.000 per kilogram. Padahal, periode yang sama tahun lalu, harga tertingginya masih sekitar Rp 30.800 per kilogram. Kenaikan harga sejumlah komoditas pangan ini juga diikuti sejumlah kebutuhan pokok lainnya yang harganya juga turut meningkat.
Kenaikan harga-harga secara serentak itu pada akhirnya mendorong inflasi yang cukup tinggi. Tingkat inflasi per Februari 2024 mencapai 2,75 persen. Besaran ini masih dalam target pemerintah, yakni sebesar 3±1 persen. Meskipun demikian, capain inflasi Februari itu patut menjadi perhatian serius karena komponen utama pendorong inflasi bulan lalu itu berasal dari kelompok bahan makanan yang bergejolak (volatile food). Bahan makanan pada Februari 2024 mengalami inflasi year on year sebesar 7,01 persen atau terjadi kenaikan indeks dari 102,71 pada Februari 2023 menjadi 109,91 pada Februari 2024.
Baca juga: Dilema Kenaikan Tarif PPN, antara Penerimaan Negara dan Daya Beli Warga
Dapat dibayangkan, dalam kondisi harga-harga pangan secara umum yang cenderung naik, pemerintah akan memberlakukan kutipan PPN 12 persen dalam waktu dekat. Hal ini tentu saja akan berimbas terhadap daya beli masyarakat secara umum. Kondisi yang identik dengan tekanan finansial ini membuat tingkat keyakinan masyarakat sebagai konsumen kembali tergerus. Survei konsumen oleh Bank Indonesia (BI) menemukan, indeks keyakinan konsumen pada Februari turun menjadi 123,1 dari semula 125,0. Indeks tersebut merupakan gabungan dari kondisi saat ini dan ekspektasi enam bulan mendatang.
Surutnya optimisme tampak lebih dalam ketika konsumen ditanyakan terkait dengan kondisi ekonomi saat ini. Terpantau nilai indeks yang tersisa berada di angka 110,9 atau turun dari kondisi sebelumnya yang jauh lebih optimis di angka 115,6. Hal ini mengindikasikan bahwa ekspektasi konsumen terhadap kegiatan usaha sedikit menyusut.
Mengancam perekonomian
Kondisi perekonomian seperti itu patut diwaspadai. Pasalnya, ada potensi tekanan harga dan surutnya optimisme konsumen yang kemungkinan akan berlangsung dalam jangka waktu cukup lama. Kenaikan harga bahan pokok masih sangat mungkin mengancam di masa mendatang. Salah satunya disebabkan oleh pasokan dalam negeri masih belum optimal seiring dengan anomali cuaca yang menggangu proses produksi. Keputusan impor pun tidak mudah lantaran hampir semua negara di dunia mengalami problem serupa dalam hal produksi bahan pangan.
Pada saat yang bersamaan, ketidakpastian masih menyelimuti perekonomian global, termasuk Indonesia. Sutrisno, Perencana Perpajakan OneShildt Financial Planning, menilai, dampak pandemi Covid-19 belum berakhir. ”Jika kita amati, efek pandemi itu justru baru benar-benar terasa saat ini. Kondisi global tak kunjung pulih, tekanan ekonomi masih dirasakan sektor usaha dan masyarakat,” ujarnya seusai diskusi perpajakan di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, awal pekan ini.
Sejumlah lembaga dunia tampak cukup pesimistis melihat ekonomi di tahun ini. IMF memperkirakan ekonomi global hanya tumbuh sebesar 3,1 persen. Sementara itu, Bank Dunia lebih pesimistis lagi dengan perkiraan pertumbuhan hanya sebesar 2,4 persen. Sejumlah negara besar pun diprediksi masih akan minim pertumbuhannya. Untuk Indonesia sendiri, pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Tanah Air di kisaran 4,9-5,0 persen.
Baca juga: Defisit Fiskal dan Pasar Modal dalam Bayang Kemenangan Prabowo
Dari estimasi pertumbuhan ekonomi domestik itu, belanja konsumsi masyarakat masih menjadi tumpuan kemajuan. Oleh sebab itu, apabila PPN ”dipaksakan” untuk segera diberlakukan justru berpotensi menjadi bumerang. Sebab, hal itu akan memicu kenaikan belanja masyarakat yang potensial menurunakan daya beli konsumen. Pada gilirannya, ekonomi nasional akan dipertaruhkan karena ada kecenderungan untuk melambat.
Memang, di satu sisi dengan menaikkan tarif PPN akan turut meningkatkan penerimaan pajak dalam negeri. Saat pertama kalinya tarif PPN dinaikkan dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022 lalu berdampak pada peningkatan PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) sebesar 24,6 persen menjadi Rp 687,6 triliun. Tambahan penerimaan pajak ini terus bergulir hinga tahun berikutnya.
Meskipun berdampak positif bagi penerimaan pendapatan negara, wacana untuk kembali menaikkan PPN hingga 12 persen perlu dipertimbangkan ulang. Semangat keberlanjutan memang tidak salah untuk diperjuangkan demi mengakselerasi kemajuan negeri. Sebagaimana tercatat dalam dokumentasi visi-misi paslon nomor urut 2 untuk meningkatkan rasio pajak terhadap PDB hingga 23 persen. Lebih lanjut, ke depan akan dibentuk Badan Penerimaan Negara sebagai salah satu wujud pondasi menyambut Indonesia Emas 2045.
Namun, perlu kembali diingat bahwa semua hal yang diupayakan tersebut sejatinya untuk kemaslahatan seluruh masyarakat. Setiap kebijakan yang diambil pun perlu disesuaikan dengan kondisi yang tengah dihadapi publik saat ini. Apalagi, dalam undang-undang disebutkan bahwa pemberlakukaan kenaikan tarif dapat disesuaikan dengan kondisi perekonomian yang tengah terjadi. Jadi, kebijakan yang akan diterapkan juga harus mengedepankan rasa empati pada kondisi masyarakat secara umum saat ini. (Litbang Kompas)