Tragedi PPP Tergerus Ambang Batas
Partai Persatuan Pembangunan tidak lolos ambang batas parlemen nasional pada Pemilu 2024.
Partai Persatuan Pembangunan menjadi salah satu partai politik yang tidak lolos ambang batas parlemen nasional di Pemilu 2024 ini. Partai politik berusia lebih dari setengah abad ini pun harus keluar dari DPR yang sudah didudukinya sejak partai ini berdiri.
Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan hasil Pemilu 2024, Rabu malam (20/3/2024), dan menyebutkan hanya ada delapan partai politik yang lolos masuk Senayan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Delapan partai politik tersebut adalah petahana yang ada di DPR saat ini, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional.
Dari sembilan partai politik yang saat ini ada di DPR, hanya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang gagal mempertahankan posisinya berada di DPR.
KPU mengumumkan, total suara yang diraih PPP pada Pemilu 2024 ini mencapai 5.878.777 suara atau setara 3,87 persen suara nasional. Perolehan suara ini belum mampu membuat partai ini memenuhi syarat untuk mengonversi suaranya menjadi kursi di DPR karena belum mencapai angka 4 persen sebagai ambang batas parlemen.
Tentu, apa yang dicapai PPP pada Pemilu 2024 ini mengejutkan banyak pihak, meskipun jika dilihat dari tren tingkat keterpilihan partai ini di sejumlah survei memang masuk dalam kategori papan bawah alias tidak aman.
Mengejutkan karena jika mengacu hasil hitung cepat Litbang Kompas dan sejumlah lembaga lain saat pemungutan suara 14 Februari 2024 lalu, suara PPP cenderung tipis untuk mencapai angka 4 persen ambang batas tersebut.
Di hitung cepat Litbang Kompas, elektabilitas PPP sebesar 3,86 persen. Jika mengacu angka ini, praktis hasil suara PPP berdasarkan pengumuman KPU semalam, yang kemudian dituangkan dalam Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024, sebesar 3,87 persen hanya berselisih 0,01 persen dengan hasil hitung cepat Litbang Kompas. Artinya, perolehan suara PPP berada pada batas tengah dari simpangan 1 persen dalam hitung cepat Litbang Kompas.
Peluang PPP untuk mendapatkan batas atas simpangan plus 1 persen dari hitung cepat sebenarnya cenderung terlihat pada awal rekapitulasi, terutama melalui pengumuman Sirekap. Saat itu, perolehan suara PPP sudah memasuki angka 4 persen meskipun terus mengalami dinamika naik turun dari angka tersebut.
Namun, hasil pengumuman KPU sudah memastikan partai ini memang belum mampu mencapai angka 4 persen sebagai syarat ambang batas parlemen nasional.
Baca juga: Hasil Pemilu 2024: PDI-P Menang, Ambisi "Hattrick" Terpenuhi
Suara PPP mengalami tren penurunan
Di sisi yang lain, perolehan suara PPP yang dipastikan tidak lolos ambang batas parlemen 4 persen ini sebenarnya sudah bisa dibaca dari hasil survei sebelum pemilu digelar. Rata-rata tingkat elektabilitas PPP di survei Litbang Kompas cenderung selalu berada jauh di bawah angka 3 persen, bahkan dalam survei Agustus 2023 hanya 1,6 persen.
Tren elektabilitas ini juga mengikuti tren suara PPP yang cenderung menurun dari pemilu ke pemilu. Jika dihitung sejak pemilu era Reformasi, misalnya, PPP sudah kehilangan banyak suara di pemilu.
Pada pemilu pertama era Reformasi tahun 1999, partai ini meraih suara tertingginya, yakni 11,3 juta suara atau 10,7 persen suara nasional. Pada Pemilu 1999, saat ambang batas parlemen belum diterapkan, PPP berhasil merebut 58 kursi DPR.
Pada Pemilu 2004, suara PPP menurun tipis meskipun tetap mampu mempertahankan 58 kursinya di DPR. Pada pemilu ini suara PPP mencapai 9,2 juta. Penurunan lebih terasa pada Pemilu 2009 karena PPP kehilangan 4 juta lebih suaranya sehingga hanya mampu mendulang 5,5 juta suara.
Kursi DPR yang diraih PPP pun menurun, dari 58 kursi menjadi hanya 38 kursi. Konflik internal partai yang berujung pada dualisme kepengurusan disinyalir menjadi salah satu faktor penurunan elektoral di pemilu tersebut.
Suara PPP mengalami kenaikan pada Pemilu 2014 setelah terjadi konsolidasi pascakonflik. Suaranya terdongkrak menjadi 8,1 juta atau setara dengan 6,5 persen suara nasional. Namun, perolehan kursi PPP hanya bertambah satu kursi di DPR menjadi 39 kursi.
Penetapan tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Ketua Umum PPP Suryadharma Ali pada Mei 2014 berdampak pada konsolidasi partai. Belum selesai di situ, menjelang Pemilu 2019, Ketua Umum PPP Romahurmuziy juga ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK dan mengakibatkan konsolidasi partai juga goyah dalam menghadapi Pemilu 2019 kala itu.
Akibatnya, pada Pemilu 2019, suara dan kursi PPP kembali melorot. Suara PPP tercatat 6,3 juta dengan persentase nasional di angka 4,52 persen. Kursi DPR yang diraih juga jauh berkurang menjadi hanya 19 kursi.
Perolehan suara PPP pada Pemilu 2019 semakin membuat partai ini berada pada kelompok partai politik papan bawah karena berada tipis di atas angka ambang batas parlemen 4 persen.
Pasca-Pemilu 2019, tingkat elektabilitas PPP kembali melorot menjadi di bawah 3 persen dalam sejumlah survei, termasuk survei Litbang Kompas. Sejumlah upaya menjadikan kekuatan sosok untuk bisa mengangkat pamor partai, seperti memasukkan nama Sandiaga Uno ke dalam jajaran partai, terbukti belum mampu mendongkrak keterpilihan PPP di pemilu.
Baca juga: Hasil Pemilu 2024: Prabowo Presiden Terpilih, PDI-P Suara Terbanyak
Partai yang keluar Senayan sulit kembali lagi
Setelah resmi diumumkan tidak lolos ambang batas parlemen, PPP akan menghadapi tantangan yang tidak mudah. Rekam jejak sejumlah partai politik yang sudah mengalami hal yang sama sebelum PPP terbukti sulit menembus kembali ambang batas parlemen sehingga bisa kembali lagi berlaga di Senayan.
Sejumlah partai politik itu adalah Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Keduanya adalah partai politik yang pernah berada di parlemen nasional. PBB terakhir berada di parlemen nasional untuk periode 1999-2004, sedangkan Hanura terakhir pada periode 2014-2019.
Pada periode terakhirnya yang sama dengan PBB juga ada partai-partai politik lain yang pernah merasakan dinamika politik di DPR. Setelah gagal melewati ambang batas, partai-partai tersebut gagal masuk kembali ke Senayan, bahkan sebagian besar juga gagal menjadi partai politik peserta pemilu berikutnya.
Partai-partai itu adalah Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNIM), Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Keadilan dan Persatuan (PKPI), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), dan Partai Pelopor.
Dari partai-partai di atas, hanya PBB dan Hanura yang bertahan menjadi partai politik peserta pemilu sampai tahun 2024 ini, meskipun masih gagal untuk kembali ke Senayan.
Apa yang terjadi pada partai-partai tersebut kini di depan mata akan dihadapi PPP. Di sinilah tantangan bagi PPP, apakah akan bernasib sama dengan PBB dan Hanura yang sulit kembali ke Senayan atau justru memiliki peluang-peluang baru untuk menggaet pemilih yang porsinya cenderung lebih banyak diisi oleh pemilih generasi muda dan baru, yang selama ini sangat jauh dengan PPP yang cenderung dilekatkan sebagai partai politik lama dan bahkan tua.
Namun, setidaknya peluang itu masih terbuka jika PPP mengajukan sengketa perselisihan hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi tiga hari ke depan. Jika nanti putusan MK belum berpihak pada PPP, sejarah akhirnya mencatat partai ini menambah deretan partai-partai politik yang tergerus angka ambang batas parlemen. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Menang Pileg, tetapi Kalah di Pilpres, Mungkinkah PDI-P Kembali Oposisi?