Modal di Balik Keunggulan Perempuan Sulut
Perempuan di Sulawesi Utara tak hanya diidentikkan dengan kasur, sumur, dan dapur, tapi bisa juga jadi pemimpin.
Keberhasilan politikus perempuan Sulawesi Utara dalam menguasai arena politik pemilu tidak lepas dari kelengkapan dan kepiawaian memberdayakan modal politik yang dimiliki selama ini.
Perjalanan lima jam menelusuri ruas Trans-Sulawesi dari Kotamobagu menuju Kota Manado, yang berjarak sekitar 180 kilometer itu, terasa tidak melelahkan. Paduan antara kualitas jalan yang terbilang mulus dan pemandangan masih rimbunnya pepohonan setempat menjaminkan kualitas lingkungan provinsi ”Bumi Nyiur Melambai” ini yang relatif memanjakan mata.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Seminggu menjelang pemilihan umum, perjalanan menyusur daratan menjadi lebih menggairahkan lagi. Saat itu, beribu baliho kampanye terpampang di sepanjang jalan. Setiap sosok politik, baik mereka yang akan berlaga dalam panggung politik nasional semacam DPR dan DPD, maupun dalam arena persaingan politik lokal setingkat DPRD, saling unjuk rupa, seolah melambai, menyapa siapa pun yang melintas.
Di antara serbuan baliho alat peraga kampanye, ada yang paling menarik perhatian. Tampilnya sosok-sosok politikus perempuan Sulut tampak lebih mencolok, di sela baliho sosok-sosok politikus lawan jenisnya.
Dari sisi jumlah baliho pun tidak kurang banyak dijumpai. Gambar diri mereka membanjiri, sekaligus merebut ruang pandang. Saat pemilu, inilah salah satu keistimewaan Sulut. Bisa jadi, pemandangan itu tidak banyak dijumpai di wilayah mana pun.
”Di sini, banyak perempuan berpolitik. Ini, Vanda Sarundajang, anggota DPR, anak almarhum Sarundajang, mantan gubernur. Kalau yang itu, lagi populer, Hillary Brigita Lasut. Bapak dan ibunya itu bupati,” tunjuk Jefry, sopir travel yang memandu perjalanan.
Faktanya, tidak sedikit sosok politikus perempuan di Sulut. Jika merujuk pada data calon anggota legislatif yang ditetapkan KPU, di Sulut terdapat 42 dari 107 politikus (39,3 persen) yang tersebar di 18 partai politik peserta pemilu berjenis kelamin perempuan. Proporsi tersebut sudah di atas rata-rata keterwakilan perempuan minimal 30 persen yang digariskan Undang-Undang Pemilu ataupun Partai Politik.
”Kehadiran mereka sejak sistem proporsional terbuka diterapkan,” ungkap Ferry Liando, akademisi sekaligus pengamat politik Universitas Sam Ratulangi, Manado. Dengan mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2003, artinya sejak Pemilu 2004, kehadiran politikus perempuan secara kuantitas lebih besar.
Garis politik perempuan Sulawesi Utara
Bagi Sulut, tidak sia-sia garis kebijakan keterwakilan perempuan dalam politik dibuat. Malah menariknya, di wilayah ini ekspektasi keterwakilan perempuan justru terjawab tidak hanya dalam jumlah ataupun proporsi caleg yang bertarung. Sejarah pemilu menunjukkan bukti keberhasilan kaum perempuan Sulut merebut bagian terbesar jabatan politik. Jelas, ini menjadi penanda keistimewaan perempuan Sulut.
Pemilu Legislatif 2024 kembali melegitimasikan kejayaan perempuan Sulut. Hasil pleno rekapitulasi penghitungan suara DPR dan DPD menunjukkan, dari enam kursi DPR nasional yang diperebutkan oleh 107 calon legislator, setidaknya empat kursi direbut politikus perempuan. Hanya tersisa dua kursi yang dikuasai politikus laki-laki Sulut.
Begitu pula, dalam panggung persaingan anggota DPD RI. Tercatat tiga dari empat anggota DPD dinyatakan terebut oleh kaum perempuan Sulut. Kaum laki-laki hanya menguasai satu kursi DPD. Lagi-lagi, politikus perempuan berjaya.
Keberhasilan kaum perempuan Sulut dalam menguasai panggung politik pemilu kali ini terbilang prestasi yang membanggakan. Menarik dicermati, bagaimana politikus perempuan di Sulut berjaya dalam persaingan politik?
Menurut Ferry Liando, keberhasilan politikus perempuan tidak lepas dari kondisi kultural Sulut yang tidak membedakan status dan kedudukan perempuan ataupun laki-laki. ”Kebiasaan masyarakat di sini tidak menempatkan posisi laki-laki lebih berkuasa daripada perempuan,” kata Liando.
Sebagai pembanding, Liando memberi contoh. Dalam urusan domestik, khususnya perdapuran, yang bersinggungan dengan acara pesta peradatan, misalnya, di banyak daerah lain, dapur itu diserahkan kepada kaum perempuan, tapi di Sulut tidak demikian.
Justru, kaum laki-laki yang menjadi kepala koki. Lebih tegas lagi, Liando mengungkapkan, ”Perempuan di Sulut tidak hanya diidentikkan dengan kasur, sumur dan dapur, tapi bisa juga jadi pemimpin.”
Sisi kultural bisa jadi tidak menjadi entry barrier politik bagi perempuan Sulut. Akan tetapi, fakta lain juga menunjukkan bahwa tidak cukup hanya peluang yang sama yang dimiliki kaum perempuan. Masih diperlukan kehadiran modal lainnya bagi kaum perempuan untuk menjadi pemimpin. Modal politik semacam inilah yang tidak semuanya sama dimiliki para politikus, sekaligus menjadi halangan bagi kaum perempuan dalam berkarier politik.
Modal simbolik politikus perempuan Sulawesi Utara
Salah satu modal paling menonjol, faktor turunan dan status sosial menjadi modal simbolik sekaligus daya tarik politik. Kemunculan para politikus muda Sulut yang terbilang sukses menguasai persaingan politik kali ini, misalnya, tidak terlepas dari status sosial yang ia miliki. Kisah sukses politikus muda Hillary Brigita Lasut dan Rio Dondokambey meraih dukungan suara terbesar dalam pemilu kali ini jelas tidak terlepas dari latar belakang sosok orangtua mereka.
Kemunculan awal Hillary dalam Pemilu 2019 tidak lepas dari sosok sang ayah: Elly Engelbert Lasut, yang berkali-kali menjabat Bupati Kepulauan Talaud, dan Telly Tjanggulung, ibunya, yang tercatat pula sebagai Bupati Minahasa Tenggara periode 2008-2013.
Begitu pula Rio Dondokambey yang tidak lain putra sulung Gubernur Sulut Olly Dondokambey. Bahkan, relasi politik keluarga Dondokambey dalam perpolitikan Sulut tidak hanya pada kedua sosok ayah dan anak. Kakak perempuan Olly, Adriana Charlotte Dondokambey, kini sukses merebut kursi DPD setelah tercatat sebagai anggota DPR.
Bagi kalangan perempuan, garis keturunan menjadi salah satu modal status simbolik sekaligus privilese dalam menaklukkan halangan politik. Tidak mengherankan pula jika pengenalan suatu tokoh, sebagaimana yang dikenalkan Jefry, sopir travel di atas, kepada lawan bicaranya, tidak akan terlepas dari bayang penyebutan posisi ketokohan orangtua dari sosok yang dirujuk.
Pada sisi lain, kecenderungan masih signifikannya bekerja faktor primordial dalam beragam ajang kontestasi politik di negeri ini, termasuk Sulut, dapat dilihat sebagai determinan peningkatan dukungan. Faktor primordial semacam kedaerahan dan keyakinan yang disandang para politikus, misalnya, menjadi faktor berpengaruh yang diberdayakan sebagai modal politik.
Dengan mencermati akumulasi dukungan pemilih pada setiap tokoh yang berkontestasi di Sulut, terlihat jelas bahwa basis dukungan terbesar pada sosok masing-masing berasal dari wilayah kelahiran ataupun keturunannya berasal. Dalam perebutan kursi DPD dan DPR di Sulut, besaran dukungan terhadap setiap sosok seolah terbagi dalam keterpilahan wilayah.
Keterpilahan wilayah ini seperti kantong politik Minahasa, baik Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara, Kota Manado, maupun Bitung; wilayah Kepulauan Sangihe, Talaud; serta wilayah Bolaang Mongondow, baik Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Selatan, Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow Utara, maupun Kotamobagu.
Dalam konteks persaingan politik, faktor modal turunan dan kedaerahan yang bersifat primordial ini dapat diberdayakan menjadi modal sosial jaringan politik yang kian menguatkan posisi dukungan tiap-tiap kontestan politik. Saat menguasai kursi DPR pada Pemilu 2019, misalnya, caleg PDI-P kala itu, Adriana Dondokambey, mendapatkan dukungan besar di kantong suara Minahasa dan Manado. Tidak banyak dukungan diperoleh dari wilayah Bolaang Mongondow dan sekitarnya.
Kondisi yang kurang lebih sama mengantarkan Vanda Sarundajang melenggang ke DPR. Sementara Hillary Lasut membangun basis dukungan di Kepulauan Talaud, Manado, Minahasa, dan Minahasa Tenggara. Pada pemilu kali ini, keunggulan Adriana merebut kursi DPD ataupun Hillary menguasai dukungan tertinggi DPR tidak lepas dari keunggulan di basis wilayah kemenangan yang lekat dengan identitas sosial mereka.
Kualitas individu politikus perempuan Sulawesi Utara
Persoalannya, apakah segenap keberhasilan politikus perempuan Sulut semata-mata disebabkan modal turunan yang mereka sandang? Tidak juga. Ditengarai, keberhasilan politikus perempuan Sulut tidak lepas pula dari kualitas individu yang ditampilkan dan mereka berdayakan. Beragam modal budaya yang disandang, seperti derajat pendidikan dan kualitas intelektual, turut menjadi daya tarik.
Selain itu, tidak dapat disingkirkan pula bahwa sisi tampilan fisik dan perawakan politikus perempuan menjadi nilai tambah yang menguatkan. Dalam pandangan Ferry Liando, faktor tampilan fisik terbilang cukup kuat memengaruhi preferensi politik, terlebih pada sebagian besar pemilih yang kini didominasi generasi Z dan milenial.
Di Sulut, fakta menunjukkan, selain banyak caleg perempuan yang terpilih, didapati bahwa caleg dari kategori umur generasi Z juga dominan. ”Mereka terpilih karena mayoritas pemilih cenderung dipengaruhi oleh kondisi fisik caleg,” ungkap Liando.
Baca juga: Perempuan Sulut Berlenggang dalam Politik
Dengan beragam kelengkapan dan kepiawaian politikus perempuan Sulut dalam memberdayakan modal politik yang mereka miliki selama ini, wajar jika mereka mampu menguasai arena persaingan. Terlebih, semua bersanding dengan segenap kekuatan modal ekonomi yang mereka miliki, yang sekaligus menjadi determinan keberhasilan penguasaan panggung politik pemilu kali ini.
Dengan keberhasilan ini, rasanya para pemilih tidak sabar lagi menunggu bagaimana kelanjutan keberhasilan kiprah politikus perempuan Sulut dalam panggung politik nasional yang dihadapinya kelak. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: North Sulawesi Women Take Part in Politics