Gotong Royong Warganet Mengawal Isu Penghitungan Suara Pemilu
Warganet dengan sigap mengawal perbedaan data suara pemilu demi menjaga integritas demokrasi bangsa.
Perhelatan Pemilu 2024 tidak lepas dari isu perbedaan data suara sejumlah partai politik. Netizen atau warganet dengan sigap mengawal isu ini demi menjaga integritas demokrasi bangsa. Transparansi data dari penyelenggara KPU menjadi tumpuan masyarakat melakukan pengawalan kolektif ini.
Tiga minggu setelah hari pemungutan suara, masyarakat dihebohkan dengan adanya isu perbedaan data suara beberapa partai politik. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjadi sorotan karena diduga mendapatkan suara lebih besar daripada yang seharusnya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Gambaran kehebohan ini dapat dilihat melalui pantauan media sosial menggunakan aplikasi Talkwalker. Pemantauan dilakukan dalam kurun enam hari (28 Februari-4 Maret 2024) terhadap tiga platform media sosial (X, Tiktok, Youtube), portal berita daring, dan media digital lainnya. Untuk memfokuskan hasil pantauan, kueripencarian yang digunakan menggunakan kombinasi kata dengan rumusan ”suara AND PSI”.
Hasilnya, terdapat 186.881 unggahan terkait isu ini yang mengundang sedikitnya 1.030.926 interaksi warganet dalam bentuk like, repost,share, atau komentar. Dilihat dari segi pergerakan waktu, pembicaraan mengenai PSI dan hasil rekapitulasi suara baru benar-benar melambung setelah tanggal 1 Maret pukul 22.00. Sebelumnya, pembicaraan mengenai topik ini hanya berkisar di angka 100-300 unggahan per jamnya.
Meningkatnya frekuensi percakapan ini tak bisa dilepaskan dari unggahan akun @MSMujab22 alias Muhammad Syaeful Mujab, juru bicara pasangan capres-cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD, di platform X miliknya pada pukul 20.44. Dalam postingannya, pria lulusan S-2 di London School of Economics and Political Science ini menampilkan pemantauan ”ledakan” suara PSI yang bertambah 19.000 suara hanya dari 110 tempat pemungutan suara (TPS) saja.
Baca juga: Mencermati Lonjakan Suara PSI, Mungkinkah Masuk Senayan?
Berdasarkan penghitungan tersebut, PSI secara rata-rata berhasil merebut sekitar 173 suara per TPS. Dengan asumsi jumlah maksimal daftar pemilih tetap (DPT) per TPS adalah 300 orang, PSI meraih lebih dari 50 persen suara di TPS-TPS tersebut.
Temuan yang cukup fantastis itu sontak menjadi semacam katalisator percakapan terhadap isu tersebut. Unggahan Mujab lantas segera dikomentari dan di-repost oleh ribuan akun lainnya, yang kemudian mendatangkan efek bola salju terhadap topik ini. Pada saat tulisan ini dibuat, unggahan tersebut telah menghimpun 18.200 interaksi dan dilihat 2,8 juta kali, menjadikannya konten terpopuler ke-4 di semua platform yang dipantau.
Isu perbedaan data suara
Isu perbedaan data suara kemudian mulai menguat tatkala jumlah rekapitulasi suara partai bersangkutan melampaui hasil quick count sejumlah lembaga survei. Berdasarkan penghitungan KPU hingga 5 Maret pukul 01.00, PSI telah berhasil menghimpun 2.404.708 atau 3,13 persen suara nasional. Sementara itu, hasil hitung cepat empat lembaga survei (Litbang Kompas, Indikator, Lembaga Survei Indonesia, SMRC) menghasilkan perolehan antara 2,65 dan 2,90 persen.
Maraknya pembicaraan mengenai topik itu salah satunya dipicu oleh cuitan Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, di akun X pribadinya pada 1 Maret pukul 21.04. Ia menyatakan keheranannya mengapa anomali antara hasil hitung cepat dan real count KPU hanya terjadi di PSI. Meski perolehan PSI versi KPU ini masih berada di dalam ambang margin of error sebesar 0,83-1 persen, pernyataan dari seorang pakar statistik dan ilmu politik ini memantik warganet kian menyoroti laju pertambahan perolehan suara partai yang diketuai Kaesang Pangarep itu.
Sejumlah warganet pun mulai terdorong menyelidiki dari mana asalnya kejanggalan itu. Pada 2 Maret 2024, beberapa warganet mulai memberikan sejumlah bukti bahwa terdapat selisih yang cukup besar antara data versi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU dengan penghitungan yang tercantum di formulir Model C Hasil sejumlah TPS.
Salah satu upaya ”forensik digital” tersebut dilakukan oleh @overgassedmk12. Melalui unggahannya di X, ia menjelaskan telah melakukan pencocokan raihan suara PSI di 34 TPS di DI Yogyakarta. Hasilnya, terdapat selisih hingga sekitar 500 suara, dengan rentang antara 5-30 suara per TPS-nya. Temuan serupa juga ditunjukkan oleh puluhan akun lainnya. Mereka melaporkan terjadi ketidaksesuaian antara rekapitulasi suara di kertas plano dan yang terpampang di Sirekap.
Baca juga: Lonjakan Suara PSI Dinilai Tidak Masuk Akal
Penemuan bukti yang valid tersebut tak pelak mendorong pembicaraan mengenai isu perbedaan data suara sehingga topik ini pun menjadi obrolan yang menarik interaksi warganet yang relatif sangat tinggi. Pada 3 Maret 2024, pembicaraan ini menjadi isu tertinggi yang dibicarakan warganet. Total terdapat 71.400 percakapan terjadi di hari itu yang didominasi topik mengenai kejanggalan perbedaan suara antara versi Sirekap KPU dan formulir Model C Hasil.
Merespons persoalan pelik itu, KPU beralasan bahwa semua ketidaksesuaian penghitungan yang ada merupakan kesalahan teknis aplikasi Sirekap. Mereka juga mengingatkan, Sirekap pada dasarnya hanya alat bantu dan data yang tersaji di aplikasi itu bukanlah rekapitulasi suara akhir. Dengan demikian, masyarakat diminta tetap menggunakan formulir Model C Hasil yang terlampir sebagai sumber utama penghitungan suara (Kompas.id, 3/3/2024).
Warganet waspada
Meski demikian, warganet sudah telanjur curiga dengan dugaan penggelembungan suara dari perbedaan data tersebut. Terlebih lagi, partai yang banyak mendapatkan lonjakan suara akibat kesalahan sistem tersebut adalah partai yang diketuai oleh anak Presiden Joko Widodo.
Kecurigaan itu diindikasi terkait dengan dugaan membangun dinasti politik yang kembali merebak di tengah masyarakat. Kekhawatiran mengenai hal ini bahkan disampaikan oleh Ketua Dewan Pertimbangan PPP Romahurmuziy. Ia menyoroti bahwa fenomena ini adalah upaya penggelembungan suara lewat operasi ”sayang anak” (Kompas.id, 3/3/2024).
Sementara itu, sebagai pihak yang tengah disorot, Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie meminta supaya anomali yang terjadi tidak direspons secara tendensius. Ia menginginkan supaya setiap pihak tetap bersikap adil dan proporsional sembari menunggu penghitungan akhir dari KPU (Kompas.id, 2/3/2024).
Isu perbedaan data suara seperti itu memang berpotensi menjadi persoalan pelik karena mencederai prinsip kejujuran dan keadilan dalam pemilu. Sayangnya, isu ”mendongkrak” suara secara tidak wajar tersebut selalu menghiasi sejarah pemilu republik ini.
Permasalahan manipulasi suara tercatat telah terjadi selama 32 tahun sepanjang Orde Baru berkuasa. Salah satu wujud kecurangan sistemik itu adalah ketika suara Partai Persatuan Pembangunan pada Pemilu 1997 di Desa Ganting Mutiara Putih, Padang, berkurang dari 188 menjadi 18 suara dan selebihnya dimasukkan ke dalam perolehan Golkar (Kompas, 16/2/1999).
Baca juga: PSI Tak Kecewa Putusan MK soal Ambang Batas Parlemen Baru Berlaku di Pemilu 2029
Pun demikian saat masa Reformasi, yang pada awal periode itu menjanjikan perubahan. Namun, rupanya masih belum mampu menjamin bersihnya pemilu dari guratan kecurangan dan manipulasi. Pemilu 1999 sebagai pemilu pertama setelah Orde Baru tumbang diwarnai dengan pencoblosan ulang di hampir seluruh TPS di Sulawesi Tenggara karena adanya kecurangan. Salah satunya adalah penambahan 10.000 suara fiktif terhadap Partai Golkar di delapan TPS di Kota Kendari (Kompas, 1/7/1999).
Pada Pemilu 2004, isu kecurangan kembali berulang. Bahkan, praktik penggelembungan suara berhasil memuluskan jalan calon anggota DPR dari Partai Damai Sejahtera (PDS), Pastor Saut M Hasibuan, dan Partai Amanat Nasional (PAN), Nurhadi M Musawir. Keduanya tetap dilantik sekalipun pengadilan negeri telah membuktikan adanya kasus penggelembungan suara terhadap partai mereka di dapil masing-masing (Kompas, 30/8/2004).
Isu perbedaan data suara yang pernah terjadi dan yang saat ini tengah berembus tentu saja merupakan bahaya terhadap kelangsungan sistem demokrasi di republik ini. Kepercayaan rakyat terhadap integritas dan independensi KPU dalam menyelenggarakan pemilu bisa runtuh. Hal ini dapat berimbas pada stabilitas politik bangsa di hari depan, terutama saat transisi pemerintahan yang baru.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang telah memiliki pengalaman sekitar 25 tahun menggelar pemungutan suara di negeri ini nyatanya masih memiliki pekerjaan rumah yang besar dalam mengantisipasi isu kecurangan dan manipulasi suara dalam pemilu. Terobosan menggunakan teknologi informasi untuk meningkatkan transparansi rupanya belum dibarengi dengan keakuratan yang menjadi fondasi dari keabsahan proses penghitungan suara.
Namun, beruntung KPU tidak berjalan sendiri, masih banyak masyarakat yang peduli dengan jalannya proses demokrasi yang bersih. Gotong royong masyarakat dalam memantau, mencatat, dan menelusuri perolehan suara dengan sangat cermat dapat menjadi petunjuk bahwa demokrasi sejatinya masih dikehendaki hidup dan tumbuh di tengah bangsa ini. Semoga semangat yang sama dimiliki pula oleh segenap institusi penyelenggara pemilu sehingga marwah demokrasi dapat terus tegak terjaga di republik ini. (LITBANG KOMPAS)