Dunia Mendesak Terciptanya Gencatan Senjata bagi Gaza
Gelombang tekanan dari sejumlah negara untuk mendorong gencatan senjata Israel-Palestina semakin menguat.
Konflik bersenjata di Gaza masih terus berlanjut hingga detik ini. Gelombang tekanan dari sejumlah negara untuk mendorong gencatan senjata di area konflik tampak semakin menguat. Dibutuhkan upaya diplomasi yang intensif dari sejumlah negara agar usulan itu dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berseteru.
Parlemen Inggris dilanda kekacauan pada Rabu (21/2/2024). Anggota majelis rendah atau House of Commons Inggris bersitegang dengan sesama anggotanya dalam debat terkait mosi gencatan senjata di Gaza. Mosi yang diajukan oleh Partai Nasional Skotlandia (SNP) tersebut mendesak untuk diciptakannya gencatan senjata segera, pelepasan semua sandera Israel dari tangan Hamas, dan ”mengakhiri hukuman kolektif terhadap semua orang Palestina”.
Sebelumnya, mosi serupa sudah pernah diajukan oleh SNP pada 15 November 2023 atau sebulan setelah perang Hamas-Israel meletus. Namun, mosi tersebut gagal disepakati parlemen karena hanya mendapat dukungan 125 suara dari anggota parlemen, sedangkan 293 lainnya menolak.
Kericuhan pecah ketika Ketua Parlemen Lindsay Hoyle mengizinkan voting terhadap dua amendemen mosi, masing-masing dari kubu Partai Buruh sebagai oposisi dan Partai Konservatif sebagai partai penguasa. Melansir Reuters, tindakan Hoyle ini melanggar kebiasaan parlemen hanya memilih amendemen dari partai penguasa. Adapun amendemen tersebut salah satunya menghendaki pengubahan redaksional mosi, dari gencatan senjata menjadi ”jeda kemanusiaan”.
Kekecewaan anggota parlemen dari SNP dan Konservatif lantas diwujudkan dengan meninggalkan ruangan debat (walkout) saat pengambilan voting. Akhirnya, mosi disepakati secara verbal alih-alih formal. Meski tetap menyerukan dihentikannya sementara konflik bersenjata di Gaza, mosi ini tidak bersifat mengikat pemerintah dan lebih bersifat simbolik semata.
Baca juga: Israel Tembaki Warga Gaza yang Menanti Bantuan, 104 Orang Tewas
Mosi dari parlemen Inggris itu merupakan salah satu dari sejumlah upaya diplomatik negara-negara di dunia untuk segera menghentikan kekerasan brutal di Palestina. Pada Senin (19/2/2024), sebanyak 26 dari 27 negara anggota Uni Eropa menyetujui seruan gencatan senjata di Gaza. Hongaria menjadi satu-satunya negara anggota yang menolak seruan itu. Selain gencatan senjata, negara-negara tersebut juga mendesak Israel membatalkan rencana serbuan ke Rafah.
Dukungan atas terciptanya perdamaian di Gaza juga datang dari negara-negara Persemakmuran, yaitu Australia, Kanada, dan Selandia Baru. Hal ini tertuang dalam pernyataan bersama tertanggal 15 Februari 2024 oleh ketiga perdana menteri, yakni Anthony Albanese (Australia), Justin Trudeau (Kanada), dan Christopher Luxon (Selandia Baru).
Mereka menyatakan kekhawatiran mendalam terhadap rencana Israel mengeskalasi peperangan dengan menyerbu Rafah. Para perdana menteri tersebut juga mendesak Israel supaya mendengarkan ”teman-temannya dan komunitas internasional” untuk mengutamakan perlindungan warga sipil.
Pandangan negatif
Sejumlah aksi diplomatik tersebut memberikan kekuatan baru terhadap terciptanya perdamaian di Gaza. Pasalnya, seruan-seruan ini dinyatakan oleh negara-negara ”sahabat” Israel. Hal ini mengindikasikan, negara-negara sekutunya pun sepertinya mulai gerah dengan kedegilan Israel yang selalu mengabaikan tekanan internasional.
Apalagi, sentimen negatif terhadap Israel semakin meluas di tengah masyarakat dunia. Menyadur dari Time, survei dari Morning Consult menunjukkan setidaknya sentimen terhadap Israel di 42 negara telah merosot tajam pada akhir tahun 2023. Beberapa negara yang sebelumnya memiliki persepsi positif terhadap Israel, seperti China, Afrika Selatan, dan Brasil, bahkan telah berbalik memandang negatif Israel.
Agresi militer Israel yang mengabaikan nilai kemanusiaan juga semakin memperdalam pandangan negatif terhadap Israel di Jepang, Korea Selatan, dan Inggris. Hanya Amerika Serikat satu-satunya negara dunia pertama yang masih memiliki persepsi positif terhadap Israel.
Pandangan negatif tersebut bisa jadi karena melihat Israel sama sekali tidak menunjukkan intensi untuk meredakan konflik, tetapi justru memperparahnya. Padahal, hingga 28 Februari 2024, serangan militer Israel telah menimbulkan 29.954 korban jiwa dan 70.325 korban luka di sisi Palestina. Jika dirata-rata, selama 144 hari perang berlangsung, terdapat 208 penduduk Palestina di Gaza yang meninggal dan 488 terluka setiap hari.
Baca juga: Israel Khawatir dengan Penyelidikan Jurnalis ”The New York Times”
Salah satu tindakan Israel yang tengah disorot adalah rencana melancarkan serangan darat ke Rafah, ujung selatan Jalur Gaza. Serangan itu paling lambat akan dilakukan pada awal bulan Ramadhan. Tel Aviv berdalih, serangan tersebut harus dilakukan untuk menggempur basis terakhir Hamas dan membebaskan sandera yang masih ditahan.
Rencana serbuan itu sontak mendapat kecaman keras dari sejumlah negara karena dikhawatirkan akan membawa malapetaka kemanusiaan hebat. Pasalnya, diperkirakan terdapat 1,4 juta-1,5 juta pengungsi di Rafah atau lebih dari separuh populasi Gaza yang berjumlah 2,3 juta jiwa. Mayoritas dari mereka adalah warga sipil Gaza bagian utara yang sudah luluh lantak dihantam Israel sejak akhir Oktober 2023.
Intensi Israel menyerang Rafah bahkan sudah mulai diwujudnyatakan melalui serangan udara masif sejak 12 Februari 2024. Melansir dari The New York Times, serangan udara pada hari itu saja telah menimbulkan 67 korban jiwa di Rafah. Jumlah tersebut adalah separuh dari korban fatal di seluruh Gaza pada hari yang sama.
Melihat eskalasi peperangan terbaru itu, dunia tidak tinggal diam. Amerika Serikat, sekutu paling dekat Israel, bahkan segera memberikan peringatan keras kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Washington tak ingin Israel melancarkan serangan tanpa ada perencanaan yang mengutamakan keselamatan warga sipil.
Namun, Israel tetap bergeming. Netanyahu bahkan berujar bahwa permintaan Amerika Serikat dan komunitas internasional lainnya adalah permintaan supaya Israel kalah perang (Kompas.id, 18//2/2024). Mereka bahkan dengan percaya diri menyampaikan skenario pascaperang versi mereka. Isi skenario tersebut menyiratkan, Israel ingin kembali menguasai Gaza sebagaimana kondisi sebelum tahun 2005.
Ujian kemanusiaan
Perang yang sudah berlangsung lebih dari 140 hari itu seakan menjadi ujian terberat dunia dalam menjunjung kemanusiaan di atas segalanya. Sistem internasional untuk menjaga stabilitas keamanan dunia terbukti tidak efektif karena ”dilumpuhkan” negara-negara besar.
Amerika Serikat, sekalipun menyatakan dukungan akan perdamaian, selalu menggunakan hak vetonya untuk menentang resolusi Dewan Keamanan PBB atas gencatan senjata di Gaza. Tercatat AS sudah tiga kali memveto resolusi DK PBB, yakni pada 18 Oktober 2023, 8 Desember 2023, dan terakhir 20 Februari 2024.
Sementara itu, meski sejumlah negara juga menyampaikan keprihatinan terhadap besarnya korban jiwa, mereka menghentikan aliran bantuan terhadap Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Melansir Al Jazeera, tercatat 18 negara telah menghentikan keran bantuan ke UNRWA, seperti AS, Jerman, Inggris, dan Jepang.
Akibatnya ”boikot” ini, UNRWA terancam kekurangan dana kemanusiaan hingga 440 juta dollar AS. Padahal, UNRWA telah menjadi badan utama PBB selama 75 tahun dalam menyediakan perlindungan dan layanan sosial bagi pengungsi Palestina.
Baca juga: PM Palestina Mundur untuk Buka Jalan Pemerintahan Bersatu
Penghentian dana bantuan ini merupakan imbas tuduhan sepihak Israel bahwa 12 anggota UNRWA terlibat dalam serangan 7 Oktober. Aksi negara-negara tersebut dipandang sebagai bentuk dukungan terhadap klaim Israel tanpa mempertimbangkan secara saksama efek samping terhadap 5,9 juta pengungsi Palestina yang bergantung pada UNRWA.
Kontradiksi-kontradiksi diplomatik tersebut lantas memberikan gambaran bahwa sistem penjaga stabilitas keamanan yang dimiliki dunia masih sangat rapuh dan mudah lumpuh. Negara-negara besar terbukti masih sangat berkuasa dalam menentukan arah kebijakan komunitas internasional dalam menyikapi konflik-konflik di berbagai belahan dunia. Israel melihat celah ini dan berhasil memanfaatkannya dengan penuh sehingga seolah mendapat impunitas terhadap aksi militernya yang brutal di Gaza.
Sekalipun demikian, ini bukan berarti dunia telah kehilangan harapan terhadap kemanusiaan. Afrika Selatan telah mengajak dunia memanfaatkan berbagai saluran diplomatik yang ada untuk mewujudkan perdamaian di Gaza. Hal itu diwujudkannya dengan menuntut Israel atas dugaan kejahatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ).
Selaras dengan itu, jutaan warga dunia mencoba melakukan aksi langsung dengan cara memboikot semua produk pro-Israel yang hingga saat ini masih terus dikampanyekan. Ada pula aksi bakar diri Aaron Bushnell, anggota aktif Angkatan Udara AS, di depan Kedutaan Besar Israel di Washington DC, AS, pada Senin (26/2/2024) lalu yang seakan mencerminkan rasa frustrasinya terhadap kebuntuan diplomatik dalam menciptakan perdamaian di Gaza.
Semoga, dalam waktu dekat, dunia dan juga negara-negara ”kuat” akhirnya menyepakati bahwa kemanusiaan harus diutamakan di atas segalanya. Konflik antara Israel dan Palestina harus dihentikan segera. (LITBANG KOMPAS)