Mengenal Wajah Kelas Menengah Indonesia
Sebagian besar golongan kelas menengah Indonesia relatif masih rentan ”turun kelas” jika terjadi guncangan ekonomi.
Kelas menengah Indonesia berperan penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Jumlah kelas menengah ini cenderung akan terus bertambah seiring dengan naiknya tingkat pendapatan per kapita nasional. Sayangnya, sebagian besar golongan ini relatif masih rentan ”turun kelas” jika terjadi guncangan ekonomi.
Dalam dua dekade terakhir, kelas menengah di Tanah Air terus berkembang, bahkan mayoritas penduduk Indonesia kini masuk dalam kategori kelas menengah. Kelompok ini juga acap kali dianggap berpengaruh baik dari sisi ekonomi maupun politik.
Di sisi ekonomi, besarnya jumlah masyarakat kelas menengah dinilai sebagai potensi bagi Indonesia untuk meningkatkan skala perekonomian nasional. Kelompok ini terbukti menjadi motor penting pertumbuhan karena menyumbang separuh dari total konsumsi rumah tangga Indonesia. Walaupun jumlahnya hanya seperlima dari total jumlah penduduk, nilai konsumsi belanjanya mendominasi dalam skala rumah tangga nasional. Dengan terus memperluas kelas menengah di Indonesia, maka dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesejahteraan bangsa.
Di sisi politik, sejarah Indonesia juga memperlihatkan pentingnya kelas menengah. Mulai dari era kemerdekaan, transisi Orde Lama ke Orde Baru, hingga gerakan reformasi yang mengusung semangat demokrasi dan keterbukaan, semua terjadi atas peran kelas menengah yang memiliki kesadaran berpolitik.
Baca juga: Kelas Menengah Indonesia Sulit Kaya, Terdampak Tumbangnya Industri Manufaktur
Definisi kelas menengah
Merunut sejarahnya, pandangan klasik tentang stratifikasi kelas di masyarakat telah dimulai sejak abad ke-19 melalui teori Thorstein Veblen dan Karl Marx. Veblen dalam teori Kelas Kenyamanan atau Leisure Class membagi masyarakat dalam dua kelas, yaitu kelas pekerja yang berjuang mempertahankan hidup dan kelas yang banyak mempunyai waktu luang karena kekayaannya.
Sementara Karl Marx membedakan kelas masyarakat berdasarkan atas kontrol produksi, yaitu kelas bourgeoisie, petty bourgeoisie, dan proletarian. Kaum bourgeoisie adalah kaum yang tidak memerlukan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan karena memiliki kontrol terhadap kepemilikan kapital atau faktor produksi. Kaum ini juga memiliki kekuataan melakukan eksploitasi terhadap pekerja untuk mendapatkan penghasilan.
Pandangan mengenai pembagian kelas di masyarakat kemudian berkembang di sejumlah negara, tergantung pada penekanannya terhadap kriteria politik, ekonomi, sosial, atau budaya. Tren kelas menengah ini dimulai dari negara maju di Eropa dan Amerika, kemudian bergerak ke kawasan timur, termasuk Asia Tenggara.
Adapun definisi kelas menengah dapat ditentukan dengan berbagai pendekatan. Salah satunya adalah dengan pendekatan absolut. Pendekatan ini mendefinisikan kelas menengah didasarkan pada jumlah pendapatan atau pengeluaran rumah tangga.
Salah satunya dikemukakan oleh Kharas dan Geoffrey Gertz (2010) yang mendefinisikan kelas menengah adalah penduduk dengan pengeluaran harian antara 10 dollar AS hingga 100 dollar AS per orang dalam purchasing power parity terms atau paritas daya beli. Paritas daya beli adalah ukuran harga barang tertentu di sejumlah negara dan digunakan untuk membandingkan daya beli absolut mata uang negara berangkutan.
Abhijit V Banerjee dan Esther Duflo (2007) mengukur kelas menengah bawah dengan pengeluaran harian antara 2 dollar AS hingga 4 dollar AS per orang dan kelas menengah atas antara 6 dollar AS hingga 10 per dollar AS orang di negara berkembang.
Baca juga: Kelas Menengah Indonesia, Berusaha Tetap Keren meski Gaji Pas-pasan
Sementara itu, Sarah Boumphrey dan Eileen Bevis (2013) dalam bukunya Reaching The Emerging Middle Classes Beyond Bric, dengan menggunakan pendekatan pendapatan, mendefinisikan kelas menengah dalam beberapa definisi antara lain rumah tangga dengan penghasilan 50 persen hingga 100 persen dari rata-rata pendapatan kotor agregat, rumah tangga dengan pendapatan untuk konsumsi minimal 10.000 dollar AS per tahun (untuk negara maju), atau discretionary income lebih dari 30 persen.
Selain pendekatan pengeluaran dan pendapatan, pandangan berbeda dikemukakan oleh Simon Gunn (1993 dan 1997). Ia menyatakan, karakteristik kelas menengah tidak hanya ditentukan oleh kondisi ekonomi, tetapi juga pada karakteristik politik dan demokrasi.
Gunn menyimpulkan, Brunei Darussalam termasuk dalam underdeveloped civil society karena dicirikan dengan rendahnya keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam berpolitik. Pandangan ini mengindikasikan bahwa walaupun secara ekonomi penduduk Brunei termasuk sejahtera, tidak digolongkan dalam kelas menengah.
Kelas menengah Indonesia
Dawam Raharjo dalam bukunya Perekonomian Indonesia: Pertumbuhan dan Krisis (Jakarta: LP3ES, 1987) mengungkap, kemunculan kelas menengah di Indonesia terkait erat dengan peluang ekonomi yang muncul setelah kemerdekaan. Ia menegaskan bahwa sebelum masa kemerdekaan, konsep pembangunan ekonomi hampir tidak ada.
Pada masa Orde Lama, pertumbuhan ekonomi Indonesia hampir tidak mencapai tingkat yang signifikan karena suasana pascakemerdekaan yang tidak mendukung untuk pembangunan. Fokus utama pada saat itu cenderung lebih terarah pada politik untuk memperkuat konsolidasi kemerdekaan.
Namun, dinamika berubah saat memasuki era Orde Baru. Transisi rezim tidak hanya mencakup pergantian pemerintahan, tetapi juga mengindikasikan perubahan besar dalam kebijakan ekonomi. Pada periode ini, pembangunan ekonomi menjadi landasan utama. Presiden Soeharto mengarahkan pembangunan ekonomi dengan prinsip Trilogi Pembangunan, yaitu menjaga stabilitas, meningkatkan pertumbuhan, dan memperhatikan pemerataan.
Tahun 1980-an dianggap sebagai titik balik penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia karena menghasilkan perubahan signifikan dalam pola konsumsi. Indonesia mengadopsi paradigma ekonomi baru yang melibatkan deregulasi dan liberalisasi pasar, membuka diri lebih luas pada skala global.
Kebijakan deregulasi ini, dengan segala konsekuensinya, menandai perubahan dalam orientasi Indonesia terhadap globalisasi. Adaptasi ekonomi Indonesia terhadap dinamika global menciptakan pergeseran dalam pertumbuhan yang sebelumnya dipengaruhi oleh perdagangan, membuka akses yang lebih besar terhadap budaya konsumerisme global.
Baca juga: Kelas Menengah Indonesia Menguras Gaji untuk Mobil dan Rumah
Langkah-langkah liberalisasi dan deregulasi ini berdampak besar pada sektor keuangan, perbankan, dan produksi. Mereka merangsang perubahan struktural dalam lapangan kerja, menghasilkan berbagai kesempatan pekerjaan di kelas menengah. Pertumbuhan lapangan pekerjaan ini menjadi pendorong utama munculnya kelas menengah baru di Indonesia, yang sejalan dengan tujuan pembangunan ekonomi.
Memasuki era Reformasi, kelompok kelas menengah semakin berkembang dan bertambah jumlahnya hingga kini. Terakhir, hasil laporan Bank Dunia bertajuk ”Aspiring Indonesian-Expanding the Middle Class” yang dirilis Januari 2020 lalu, menyebutkan, satu dari lima masyarakat Indonesia adalah kelas menengah. Kelas menengah ini tumbuh lebih cepat dibandingkan kelompok lainnya.
Secara populasi, jumlah mereka mencapai 52 juta jiwa atau 20 persen dari total penduduk. Jumlah kelas menengah Indonesia meningkat luar biasa seiring turunnya tingkat kemiskinan dalam dua dekade terakhir.
Masih berdasarkan laporan tersebut, ada 28 juta (10,7 persen) masyarakat Indonesia yang masuk kelompok miskin. Sebanyak 61,6 juta (23,6 persen) masyarakat yang masuk kelompok rentan. Ada pula 53,6 juta (20,5 persen) masyarakat Indonesia yang masuk kelompok kelas menengah dan ada 3,1 juta (1,2 persen) yang masuk kategori kelas atas.
Bank Dunia mengidentifikasi lima kelas konsumsi yang berbeda di Indonesia. Terdiri dari kelompok miskin, rentan, menuju kelas menengah, kelas menengah, dan kelas atas.
Kelompok miskin terdiri dari masyarakat dengan pengeluaran bulanan di bawah garis kemiskinan atau kurang dari Rp 354.000 per orang per bulan. Kelompok rentan terdiri dari masyarakat yang hidup di atas garis kemiskinan, tetapi berisiko miskin atau setara dengan pengeluaran Rp 354.000- Rp 532.000 per orang per bulan.
Kemudian kelompok menuju kelas menengah (aspiring middle class/AMC) terdiri dari masyarakat yang dinilai tak berisiko miskin, tetapi tak aman secara ekonomi. Rentang pengeluaran kelompok ini Rp 532.000- Rp 1,2 juta per orang per bulan.
Kelompok lebih tinggi lagi adalah kelas menengah, di mana mereka aman secara ekonomi dengan tingkat pengeluaran Rp 1,2 juta-Rp 6 juta per orang per bulan. Peluang golongan ini menjadi miskin relatif sangat kecil.
Kelompok tertinggi adalah golongan kelas atas di mana kelompok mereka adalah yang paling sejahtera secara ekonomi. Tingkat pengeluaran per kapita relatif sangat tinggi, yakni lebih dari Rp 6 juta per orang per bulan.
Hasil laporan Bank Dunia itu juga menyebutkan bahwa kelas menengah Indonesia didominasi oleh penduduk berusia produktif serta lebih banyak tinggal di perkotaan. Sebagian besar kepala rumah tangga kelas menengah masih berpendidikan relatif rendah dengan mayoritas melakukan pekerjaan nonformal. Kelas menengah Indonesia diramalkan masih akan bertumbuh seiring dengan perbaikan pendapatan, pendidikan, dan pekerjaan.
Sementara itu, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021 menunjukkan, 69 dari 100 penduduk Indonesia adalah penduduk berpendapatan menengah bawah. Sementara itu, 22 dari 100 masuk kelompok kelas menengah. Sisanya adalah golongan atas.
Kategorisasi kelas menengah berdasarkan data pengeluaran keluarga per bulan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, kelas menengah ke bawah (emerging middle) apabila pengeluaran keluarga per bulan sebesar Rp 1,5 juta-Rp 2 juta. Untuk kelas menengah (middle), rentang pengeluaran keluarga per bulan Rp 2 juta-Rp 3 juta per bulan. Kelas menengah atas (upper middle) apabila pengeluaran keluarga per bulan berkisar Rp 3 juta-Rp 5 juta.
Besarnya populasi penduduk kelas menengah di Indonesia itu, salah satunya didorong oleh pesatnya proses transformasi struktural, yakni proses perubahan ekonomi dari sektor pertanian yang bersifat labor intensive ke sektor industri maupun jasa yang lebih skill-intensive.
Tantangan
Kendati jumlah kelas menengah di Indonesia terus meningkat dalam 20 tahun terakhir, di sisi lain penduduk mayoritas ini belum seluruhnya menikmati hak kebutuhan dasar pembangunan manusia. Mereka juga masih menghadapi kemungkinan untuk turun kelas.
Dalam laporan BPS berjudul ”Pendidikan dan Kesehatan, Jembatan Keluar dari Jerat Kelas Menengah”, disebutkan sejumlah perbedaan kelompok atau kelas sosial-ekonomi penduduk di Indonesia. Khusus penduduk berpendapatan menengah bawah, yang kepala rumah tangganya menamatkan pendidikan tinggi relatif masih sedikit, yakni sekitar 30 persen dan yang mengakses internet sebesar 45,67 persen. Lebih lanjut, hanya 4,67 persen kepala rumah tangga pada kelompok ini yang memanfaatkan teknologi seperti komputer, laptop, dan tablet.
Baca juga: Kelas Menengah Indonesia Sulit Menjadi Orang Kaya
Kesenjangan selanjutnya adalah akses pada perlindungan sosial. Memang secara umum program jaminan kesehatan dari pemerintah (BPJS) telah menjangkau lebih dari 60 persen rumah tangga di semua kelompok pendapatan. Namun, belum semuanya memiliki jaminan yang relatif aman untuk masa tua dan keamanan jiwanya. Hanya 7,9 persen rumah tangga di kelompok berpendapatan menengah bawah yang mendapatkan jaminan terkait pekerjaannya seperti jaminan hari tua, jaminan pensiun, pesangon, jaminan kecelakan, dan asuransi kantor. Selebihnya, harus berkutat dengan ketidakpastian.
Oleh sebab itu, untuk mendorong peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia, perlu ada upaya dari pemerintah untuk mendorong kemajuan ekonomi sehingga berimbas pada semakin besarnya jumlah golongan menengah. Tentu saja, agar golongan menengah kian bertambah banyak dan sejahtera, pemerintah harus menjaga dinamisnya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. (LITBANG KOMPAS)