Jalan Panjang Menjamin Keselamatan Para Pahlawan Demokrasi
Ratusan ”pahlawan demokrasi” gugur dalam menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu tahun ini.
Di balik gegap gempita pesta demokrasi Indonesia, ada duka mendalam menggelayuti ratusan keluarga petugas penyelenggara Pemilu 2024 yang gugur sewaktu menjalankan tugas. Pemerintah didorong mengevaluasi sistem dan skema penyelenggaraan pemilu dengan mengedepankan keselamatan para petugas lapangannya.
Kementerian Kesehatan pada 25 Februari 2024 menyatakan, terdapat 114 petugas penyelenggara Pemilu 2024 yang wafat dalam menjalankan tugas. Selain itu, setidaknya 15.258 petugas mendapat perawatan medis karena sakit.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sebagian besar dari mereka adalah para anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang bertugas di tempat pemungutan suara. Sebanyak 59 orang atau separuh lebih korban meninggal merupakan anggota KPPS.
Petugas penyelenggara pemilu lainnya yang paling banyak gugur adalah jajaran perlindungan masyarakat (linmas) sejumlah 25 orang, disusul petugas lain 11 orang, saksi 10 orang, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) 6 orang, dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) 2 orang. Jumlah ini masih dapat bertambah seiring terus mengalirnya laporan kasus yang masuk dari sejumlah daerah.
Baca juga: Petugas Pemungutan Suara, Kelelahan hingga Kehilangan Nyawa demi Mengawal Suara
Dilihat dari jenis penyakit yang memicu kematian, sebagian besar disebabkan oleh penyakit jantung dengan 29 kasus atau 25,4 persen. Selanjutnya, penyakit-penyakit komorbid dan bawaan, seperti syok septik, hipertensi, serebrovaskular, sindrom gangguan, pernapasan akut, diabetes melitus, penyakit ginjal kronik, tuberkulosis, dan asma.
Kematian petugas garda terdepan pesta demokrasi itu seakan menambah panjang deretan nama ”pahlawan demokrasi” yang gugur sewaktu menjalankan tugas. Pada Pemilu 2019 silam, tak kurang dari 894 petugas penyelenggara pemilu meninggal dan 11.239 lainnya sakit seusai menjalankan tugas. Sebelumnya, pada Pemilu 2014, setidaknya terdapat 144 petugas pemilu yang wafat. Dengan demikian, sudah ada 1.152 petugas pemilu yang gugur dalam tiga kali perhelatan pemilu dalam 10 tahun terakhir.
Kelelahan
Kelelahan dituding menjadi faktor utama pemicu komplikasi penyakit yang menyebabkan gugurnya para petugas pemilu di lapangan. Pasalnya, para petugas pemilu di tempat pemungutan suara bekerja selama 10 hingga lebih dari 24 jam tanpa henti (Kompas.id, 16/2/2024).
Dari sejumlah tanggung jawab yang diemban, beban kerja yang paling berat bagi petugas lapangan di TPS adalah penghitungan suara. Penelitian pada 2019 dari Febriansah dan Husnayati, periset Politeknik Kesehatan Pangkal Pinang, mengungkapkan, beban kerja semua anggota KPPS berada di level overload, dengan nilai full time equivalent (FTE) rata-rata 2,35 atau jauh di atas batas normal 1,28.
Gambaran beban kerja para petugas pemilu dalam menghitung kertas suara dapat diperoleh melalui kalkulasi sederhana. KPU mendata, terdapat 203.056.748 daftar pemilih tetap dalam negeri yang tersebar di 820.161 TPS. Jika dibagi rata, maka terdapat 248 pemilih untuk tiap TPS. Karena setiap pemilih mencoblos lima kertas suara, ini berarti para petugas pemilu di tiap TPS harus menghitung lebih kurang 1.240 kertas suara.
Dengan asumsi bahwa penghitungan satu kertas suara membutuhkan waktu 15-30 detik, maka total waktu yang dibutuhkan untuk menghitung kertas suara adalah 5-10 jam. Beban kerja ini masih harus ditambah dengan tanggung jawab petugas pemilu lainnya, antara lain menyiapkan TPS dan mengecek logistik.
Baca juga: KPPS, Serdadu Demokrasi
Durasi waktu itu akan semakin panjang ketika terjadi ketidaksesuaian antara jumlah kertas suara yang direkapitulasi dan jumlah pemilih, sehingga proses penghitungan harus diulang dari awal. Belum lagi sejumlah KPPS melaporkan bahwa aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang digunakan untuk mengisi formulir hasil penghitungan suara berjalan sangat lambat (Kompas.id, 16/2/2024).
Tidak heran, dengan semua semua tanggung jawab dan kendala-kendala yang dihadapi di lapangan, para petugas pemilu dapat bekerja hingga lebih dari 24 jam tanpa istirahat cukup. Hal ini tentu saja berisiko bagi kesehatan, terutama bagi para petugas berusia lanjut. Setidaknya 35 orang atau sepertiga korban meninggal berusia 51-60 tahun. Kemudian, 28 persen atau 33 korban wafat lainnya berusia 41-50 tahun.
Preventif
Kembali berulangnya tragedi meninggalnya petugas pemilu dalam menjalankan tugas tentu menjadi peringatan keras bagi pemerintah. Hal ini seakan mengisyaratkan, negara masih belum berhasil menjamin keselamatan para petugas lapangan yang menjadi ujung tombak keberhasilan pemilu. Padahal, pemerintah telah melakukan sejumlah upaya preventif terhadap persoalan ini.
Salah satu yang paling awal dilakukan oleh KPU adalah dengan menetapkan batas usia maksimal anggota KPPS. Langkah ini merupakan pembelajaran dari Pemilu 2019 lalu yang tidak menetapkan batas usia maksimal. Pada awalnya, KPU berencana menetapkan batas usia maksimal 50 tahun bagi petugas KPPS. Namun, aturan ini kemudian dinaikkan menjadi 55 tahun atas dasar rekomendasi Kementerian Kesehatan.
Langkah pencegahan berikutnya adalah penapisan atau screening kondisi kesehatan. Berdasarkan data dari laman BPJS Kesehatan, setidaknya terdapat 6,8 juta petugas pemilu yang telah melakukan screening kesehatan. Jumlah ini terbilang cukup tinggi karena mencapai 86,4 persen dari 7,9 juta petugas pemilu yang terdaftar.
Baca juga: Mayoritas Petugas Penyelenggara Pemilu Meninggal di Jabar Punya Komorbid
Hasil penapisan itu menunjukkan setidaknya 5,83 persen atau 398.471 petugas pemilu memiliki risiko penyakit. Sebagian besar memiliki riwayat penyakit kardiovaskular atau terkait jantung dan pembuluh darah. Sebanyak 63 persen terdeteksi memiliki hipertensi, sedangkan 26 persen mempunyai riwayat penyakit jantung.
Untuk mengoptimalkan upaya preventif pada Pemilu 2024 ini, KPU mengadakan bimbingan teknis (bimtek) secara menyeluruh bagi petugas KPPS. Hal ini berbeda dengan Pemilu 2019, saat itu hanya satu perwakilan dari tujuh anggota KPPS tiap TPS yang mengikuti bimtek. Harapannya, setiap anggota KPPS memiliki pemahaman dan kemampuan teknis yang sama sehingga dapat membantu menghadapi situasi-situasi problematik di lapangan (Kompas.id, 25/1/2024).
Semua strategi preventif tersebut layak mendapat apresiasi. Namun, fakta bahwa masih terjadi risiko kesehatan yang tinggi hingga menyebabkan kematian para petugas pemilu di lapangan mengisyaratkan masih perlu upaya ekstra dari negara.
Salah satu rekomendasi yang kerap digaungkan adalah menyederhanakan sistem pemilu, terutama pelaksanaan secara serentak. Dengan sistem serentak, beban terberat saat pelaksanaan pemilu tertumpu pada petugas KPPS di lapangan karena harus merekapitulasi ribuan kertas suara hanya dalam waktu sekitar 24 jam. Meskipun terbilang efisien dan menghemat anggaran negara, skema serentak ini rentan mengorbankan petugas lapangan sehingga perlu dievaluasi ulang.
Secara umum, Pemilu 2024 ini dapat dikatakan berlangsung relatif aman dan lancar. Bahkan, relatif lebih baik dari pelaksanaan pemilu sebelumnya. Namun, rakyat Indonesia perlu selalu mengingat bahwa gegap gempita pesta demokrasi ini masih harus dibayar oleh ratusan nyawa petugas lapangan yang berjibaku selama berhari-hari tanpa henti. Diharapkan, pemerintah segera melakukan evaluasi secara menyeluruh demi mencari solusi terbaik terhadap pelaksanaan pemilu. Harapannya, dapat tercipta pemilu yang jujur dan adil tanpa harus mengorbankan jiwa dan kesehatan para petugas di lapangan pada pemilu masa mendatang. (LITBANG KOMPAS)