Tantangan Ekonomi Jelang Transisi Pemerintahan Pascapilpres 2024
Transisi pemerintahan Pascapemilu 2024 penuh dengan optimisme dan juga tantangan menghadapi berbagai risiko global.
Perhelatan Pemilihan Umum 2024 telah usai dilaksanakan pada 14 Februari lalu dan mengantarkan Indonesia pada babak baru kepemimpinan. Kini, jelang transisi pemerintahan pascapilpres, perhatian tertuju pada arah dan tantangan ekonomi ke depan di tengah optimisme dan risiko global yang masih menghadang.
Pemilu 2024 yang terlaksana secara lancar merupakan harapan masyarakat Indonesia. Harapan berikutnya berupa kualitas dan legitimasi pemilu yang terjaga. Kini, seluruh bangsa Indonesia tinggal menunggu hasil perhitungan manual yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Tiga kandidat pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden maju dalam gelaran Pemilihan Presiden 2024, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Dari hasil hitung cepat, pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, unggul lebih dari 50 persen oleh sejumlah lembaga survei. Hasil hitung cepat Litbang Kompas, misalnya, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul 58,47 persen. Sementara itu, pasangan nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, mendapat 25,23 persen. Kemudian pasangan nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, mendapatkan 16,30 persen.
Kendati masih menunggu hasil resmi dari KPU, keunggulan pasangan nomor urut 2 yang diprediksi sejumlah lembaga survei lewat perhitungan cepat itu disambut beragam oleh berbagai kalangan.
Sebagian kalangan menganggap kemenangan satu putaran pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan berdampak positif bagi perekonomian. Hal ini memberikan kepastian lebih dini kepada pelaku ekonomi dan investor untuk berinvestasi.
Baca juga: Pemilu: Kebijakan Ekonomi, Politisi, dan Teknokrat
Pasalnya, pasar secara umum mendambakan kepastian yang cepat. Dalam konteks ini, pemilihan presiden satu putaran diharapkan memberikan kepastian kepada pelaku pasar untuk membuat keputusan investasi sesegera mungkin.
Namun, di sisi lain, masih ada ketidakpastian yang muncul seiring dinamika politik yang mengindikasikan adanya potensi kecurangan dan ancaman terhadap demokrasi. Misalnya, dugaan kecurangan sistematis—yang telah menjadi sorotan sejak Oktober 2023 lalu setelah putusan Nomor 90 Mahkamah Konstitusi, seperti dipaparkan dalam dokumenter Dirty Vote—berpotensi menurunkan legitimasi hasil pemilu.
Dampak Pemilu 2024
Meski demikian, pascapemungutan suara 14 Februari lalu, pasar cenderung bereaksi positif terhadap jalannya pemilu yang dinilai berjalan lancar dan stabil. Kondisi ini tecermin dari kinerja rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menguat.
Nilai tukar rupiah tercatat mengalami penguatan 0,58 persen terhadap dollar AS dalam sepekan terakhir di tengah pesta demokrasi lima tahunan ini. Menurut data Trading View, Kamis (15/2/2024), rupiah cenderung melemah berada di kisaran Rp 15.595 per dollar AS, dari sebelumnya di level Rp 15.589 per dollar AS.
Padahal, pada perdagangan awal pekan, Senin (12/2/2024), rupiah sempat menguat di level Rp 15.635. Meski sempat melemah, kini rupiah kembali kokoh di kisaran Rp 15.500. Penguatan rupiah ini tidak terlepas dari optimisme pelaku pasar yang menganggap pilpres dapat berjalan dengan aman, damai, lancar, dan terkendali.
Sementara itu, di pasar saham, investor asing diproyeksikan masih akan meramaikan transaksi pasar modal Indonesia setelah Pilpres 2024. Berkurangnya ketidakpastian hasil pemilu menjadi katalis positif.
Baca juga: Tantangan Investasi Asing dan Komitmen Calon Pemimpin Negeri
Berdasarkan laporan statistik Bursa Efek Indonesia (BEI), investor asing mencatatkan buy sebesar Rp 5,54 triliun dengan sell senilai Rp 4,12 triliun sepanjang sesi perdagangan Selasa (20/2/2024). Dengan jumlah tersebut didapati net buy dari investor asing sebesar Rp 1,40 triliun. Adapun secara year to date, net buy investor asing tercatat sebesar Rp 22,30 triliun.
Seiring dengan meredanya ketidakpastian hasil pemilu, investor khususnya global akan kembali memperhatikan aspek fundamental. Hingga saat ini, saham-saham yang menjadi primadona asing adalah sektor bank dan telekomunikasi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) optimistis kinerja pasar modal akan tetap moncer setelah pergelaran Pemilu 2024. Seiring dengan hal itu, OJK menargetkan nilai penggalangan dana sepanjang 2024 sekitar Rp 175 triliun hingga Rp 200 triliun.
Selain kurs dan investasi, aspek positif lainnya juga tampak dari sisi konsumen, di mana Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) tercatat tinggi mencapai 121,8. Bank Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 akan berada di kisaran 5,1-5,5 persen.
Tantangan ke depan
Namun, di balik optimisme tersebut, masih terdapat tantangan yang tak boleh diabaikan. Jelang transisi pemerintahan pascapilpres, pemerintah kini dihadapkan pada sejumlah tantangan. Salah satunya berupa ketidakpastian global dan domestik.
Di tingkat global, tantangan berat ekonomi Indonesia berasal dari ketegangan geopolitik yang kian meluas di berbagai kawasan penting ekonomi dunia. Salah satunya adalah risiko ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan perang Rusia-Ukraina yang dapat meningkatkan harga minyak bumi dan kemungkinan memburuknya kondisi iklim yang dapat mengganggu pasokan pangan dan meningkatkan volatilitas pasar keuangan. Selain itu, juga tren pelemahan ekonomi global yang terus berlanjut hingga awal tahun 2024.
Di tingkat nasional, masyarakat kini sedang dihadapkan pada kondisi tingginya harga pangan, terutama beras. Tak hanya harga yang meroket, beras juga mengalami kelangkaan di pasar ritel. Melansir data Badan Pangan Nasional (Bapanas) per Selasa (21/2/2024), harga pangan pokok strategis, seperti beras, cabai, minyak goreng, daging ayam, hingga kedelai, masih cukup tinggi.
Terpantau harga beras premium mengalami kenaikan 1,42 persen di level Rp 16.390 per kilogram dan harga beras medium di level Rp 14.250 per kg. Harga cabai rawit merah mengalami kenaikan 0,85 persen di level Rp 63.040 per kg. Harga telur ayam juga terpantau naik 2,64 persen menjadi Rp 29.970 per kg. Pun demikian minyak goreng kemasan sederhana naik 1,49 persen menjadi Rp 17.760 per liter.
Selain itu, pemerintah juga mencatat nilai impor beras Indonesia selama Januari 2024 mencapai 279,2 juta dollar AS atau Rp 4,3 triliun (kurs Rp15.624 per dolar AS). Nilai impor beras ini meningkat 135,1 persen secara tahunan (yoy) dari 118,7 juta dollar AS pada Januari 2023. Namun, turun 16,73 persen secara bulanan (mtm). Impor beras terbesar berasal dari Thailand senilai 153 juta dollar AS, disusul Pakistan senilai 79,3 juta dollar AS, dan Myanmar senilai 23,98 juta dollar AS.
Baca juga: Ironi Kemiskinan di Sentra Nikel, Pekerjaan Rumah Pemerintah Menumpuk
Selain soal pangan, kualitas pertumbuhan ekonomi ke depan juga diuji di tengah stagnasi angka 5 persen yang dicapai dalam satu dekade terakhir. Dalam riset Algo Research yang dipublikasikan pada 14 Februari 2024, seusai Presiden Joko Widodo memenangi pemilu pada 2019, terdapat banyak harapan terhadap kebijakan hilirisasi untuk meningkatkan transaksi berjalan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun, hal itu tidak terwujud karena pertumbuhan PDB masih sebesar 5 persen dan belum mencapai pertumbuhan 7 persen seperti yang dijanjikan pada masa pilpres dan kampanye 2019. Upaya hilirisasi pemerintah juga belum mendorong konsumsi yang lebih tinggi.
Di sisi investasi, banyak pelaku bisnis yang khawatir dengan kondisi politik Indonesia yang memanas menjelang pemilu sehingga mereka menahan investasinya dan menunggu Pemilu 2024 berakhir. Banyak investor yang menjadikan lancar atau tidaknya penyelenggaraan Pemilu 2024 sebagai bahan pertimbangan sebelum memutuskan berinvestasi. Padahal, tahun 2024 ini, pemerintah menargetkan investasi sebesar Rp 1.650 triliun, naik Rp 240 triliun dari target 2023 yang sejumlah Rp 1.400 triliun.
Selain itu, juga soal kemiskinan yang tercatat masih relatif tinggi secara rata-rata nasional di angka 9,36 persen atau sebanyak 25,3 juta orang. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan tingkat kemiskinan masih cukup tinggi. Di antaranya, akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang belum merata di sejumlah daerah. Selain itu, juga karena kebijakan perlindungan sosial yang tergolong rendah dibandingkan negara tetangga.
Berdasarkan data Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), porsi belanja perlindungan sosial terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia hanya mencapai 3 persen. Besaran ini cukup timpang dengan sejumlah negara di kawasan sekitarnya, seperti Malaysia yang mencapai 5,5 persen, Thailand 6,4 persen, dan Vietnam 7,6 persen. Bahkan, dibandingkan dengan Sri Lanka yang mencapai 4,4 persen saja, Indonesia masih tertinggal.
Tantangan lain adalah ketimpangan yang kian melebar jika dilihat dari sisi akumulasi kekayaan. Orang kaya di Indonesia tidak saja menguasai 46 persen total konsumsi nasional, tetapi juga secara harta kekayaan tumbuh 61,6 persen selama masa pandemi. Jadi, mode pembangunan yang ada saat ini justru menyuburkan ketimpangan. Semakin lebar ketimpangan, risiko stabilitas politik juga semakin rentan,
Di tengah tantangan tersebut, kebijakan pemerintah yang tepat dan konsisten akan sangat menentukan arah dan prospek ekonomi pascapemilu. Kemampuan pemerintah dalam mengantisipasi gejolak ekonomi global juga akan menjadi penentu penting dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas politik dan kebijakan tepat sasaran diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia. (LITBANG KOMPAS)