Relasi Hitung Cepat dan Partisipasi Politik
Merunut sejarahnya, hitung cepat dapat mendorong partisipasi politik.
Pada Pemilu 2024, Litbang Kompas melakukan hitung cepat (quickcount). Sampel hitung cepat ini berbasis jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) di 2.000 tempat pemungutan suara (TPS) yang tersebar di 38 provinsi. Selain perolehan suara setiap capres-cawapres, hitung cepat Kompas ini juga dapat merekam tingkat partisipasi pemilih dalam memberikan suaranya pada pemilu tahun ini.
Data hasil hitung cepat dari TPS sampel yang masuk hingga pukul 10.00 WIB mencapai 88,55 persen. Data suara sah DPT sampel yang sudah masuk tersebut dapat menjadi indikator partisipasi pemilih pada pemungutan suara yang dilakukan 14 Februari 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Hasil sementara hitung cepat memperlihatkan tingkat partisipasi pemilih pada pilpres mencapai 85,02 persen. Adapun tingkat partisipasi pemilih pada pemilu legislatif mencapai 83,55 persen.
Tingkat partisipasi ini masih dinamis seiring dengan proses penghitungan cepat yang terus dilakukan. Namun, melihat reliabilitas data atau konsistensi dan kestabilan data dari waktu ke waktu, tingkat partisipasi pemilih ini sudah dapat menjadi gambaran antusiasme warga dalam mengikuti pemungutan suara. Capaian angka partisipasi ini menunjukkan tren peningkatan jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
Pada Pemilu 2014, tingkat partisipasi pemilih pada pilpres tercatat 69,58 persen dan pemilu legislatif (pileg) mencapai 75,11 persen. Adapun partisipasi pemilih pada Pilpres 2019 mencapai 81,97 persen dan untuk pemilihan legislatif sebesar 81,69 persen.
Melihat data partisipasi ini, gambaran awal hasil hitung cepat memperlihatkan meningkatnya partisipasi pemilih pada Pemilu 2024. Tren peningkatan ini juga terekam dari data survei Kompas Desember 2023. Saat itu, sebanyak 89,2 persen responden survei menyatakan akan menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2024.
Tingginya tingkat partisipasi pemilih ini tidak dapat dilepaskan dari berbagai bentuk sosialisasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Salah satunya ialah pelaksanaan Kirab Pemilu 2024 yang dimulai sejak 14 Februari 2023, atau satu tahun sebelum pelaksanaan Pemilu 2024.
Baca juga: Tingkatkan Partisipasi Pemilu Lewat #MudaMemilih
Namun, bukan hanya itu. Sejumlah faktor juga turut membangun partisipasi pemilih, mulai dari jaminan keamanan dari aparat negara, kemudahan akses publik dalam pelayanan hak pemilih, hingga upaya peserta pemilu, baik caleg, partai politik, maupun capres-cawapres, dalam membangkitkan semangat antusiasme masyarakat untuk mengikuti pemungutan suara.
Kondisi ini menggambarkan ragam kontribusi dapat dilakukan berbagai pihak untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Di luar pemangku kepentingan lembaga-lembaga politik, berbagai elemen masyarakat juga dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan partisipasi politik. Salah satunya ialah lembaga pemantau pemilu dan lembaga penyelenggara hitung cepat pemilu.
Dampak hitung cepat pada partisipasi pemilih
Salah satu dampak hitung cepat dan pemantauan pemilu pada partisipasi pemilih ini, antara lain, terlihat dari riset yang dilakukan National Democratic Institute for International Affairs (NDI). Dalam publikasi ”Penghitungan Suara Cepat dan Pemantauan Pemilu (2002)”, NDI menyebutkan sejumlah dampak hitung cepat bagi kualitas demokrasi rakyat.
Dari awal sejarahnya, pelaksanaan hitung cepat yang dimulai sejak 1986 ini dilakukan untuk mencegah praktik kecurangan pemilu di sejumlah negara. Selain mencegah kecurangan pemilu, hitung cepat juga memiliki beberapa benefit politik.
Manfaat lain kegiatan hitung cepat ialah memperluas keahlian dan partisipasi politik warga. Studi yang dilakukan NDI menemukan kapasitas kelompok masyarakat sipil dan partai politik di Kenya yang meningkat dengan adanya hitung cepat pada 1997.
Hitung cepat yang dilakukan saat itu berhasil memobilisasi 28.000 sukarelawan di Kenya untuk memantau rangkaian tahapan pemilu dari sebelum pemungutan suara sampai hari pencoblosan. Kemampuan perencanaan, pengoperasian, dan penghitungan cepat ini dapat digunakan pada pemilu-pemilu mendatang.
Baca juga: Variabel Partisipasi Pemilih Ikut Tentukan Hasil Pilpres
Manfaat lain dari hitung cepat ialah mendorong partisipasi warga negara dalam pemilu. Kegiatan hitung cepat memiliki kemampuan memobilisasi hingga ratusan ribu warga negara. Mobilisasi warga ini secara tidak langsung merupakan bentuk partisipasi politik secara aktif warga negara. Dengan berbagai peran, mulai dari pencatat penghitungan cepat, pemantau, pengolah data, hingga pengawas, kegiatan hitung cepat membuat warga negara mengetahui proses pemilihan umum.
Mobilitas keterlibatan politik ini antara lain terlihat pada Pemilu 1999 di Ukraina. Pemilu saat itu merupakan pemilihan parlemen perdana setelah Ukraina merdeka. Komite Pemilih Ukraina (CVU) menggunakan penghitungan cepat dan pemantauan pemilu.
Untuk mendorong hal itu, Komite Pemilih Ukraina mendirikan pusat konsultasi publik di seluruh negeri untuk memperluas aktivitas pendidikan politik dan pemantauan pemilu. Kegiatan-kegiatan tersebut berhasil mendorong keterlibatan warga negara dalam berbagai kebijakan publik.
Dampak hitung cepat di Indonesia
Ragam manfaat hitung cepat, terutama meningkatkan partisipasi politik, dapat digunakan untuk terus meningkatkan kualitas demokrasi di semua negara, termasuk di Indonesia. Benefit politik yang didapatkan dari hitung cepat ini di Indonesia ialah memprediksi hasil yang tepat waktu. NDI mencatat, salah satu hitung cepat perdana di Indonesia dilakukan pada Pemilu 1999 oleh Forum Rektor.
Hasil hitung cepat ini dapat membantu memberikan prediksi dari sisi waktu mengingat posisi geografis Indonesia yang luas dan tersebar, serta dukungan infrastruktur yang belum memadai. Pada saat bersamaan, tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 saat itu mencapai 92,74 persen.
Memang, di satu sisi, fenomena itu tidak dapat dilepaskan dari euforia politik pascapemerintahan Orde Baru. Namun, tingginya partisipasi politik pada Pemilu 1999 menjadi penanda bahwa masyarakat Indonesia pernah memiliki antusiasme yang tinggi dalam pemungutan suara. Sebab, sejak saat itu, capaian tinggi partisipasi pemilih di atas angka 90 persen belum pernah terjadi lagi.
Saat ini Indonesia memiliki modal tingkat partisipasi yang baik. Pada Pemilu 2019, rerata tingkat partisipasi pemilih di Indonesia mencapai 81 persen. Karena itu, indikasi peningkatan partisipasi pemilih sebagaimana terekam dari hasil hitung cepat Kompas pada Pemilu 2024 menjadi harapan penguatan partisipasi publik dan kualitas demokrasi.
Selain itu, keberadaan lembaga-lembaga survei dan pemantau pemilu yang terus bertambah juga dapat berpotensi mendongkrak partisipasi warga. Pada Pemilu 2024 terdapat 83 lembaga survei yang mendapatkan legitimasi KPU untuk melakukan kegiatan survei, jajak pendapat, dan hitung cepat.
Jumlah lembaga yang melakukan hitung cepat ini lebih banyak dibandingkan dengan Pemilu 2014. Pada 2014 terdapat 56 lembaga survei dan hitung cepat terdaftar di KPU.
Baca juga: Pemilih di Luar Negeri Perlu Dipermudah untuk Tingkatkan Partisipasi
Di luar lembaga yang melakukan hitung cepat, ada pula lembaga independen pemantau pemilu. Hingga 24 Januari 2024 terdapat 110 lembaga pemantau pemilu yang terakreditasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Kontribusi lembaga pemantau dan lembaga penyelenggra hitung cepat ini melengkapi ikhtiar membangun keterlibatan warga dalam kegiatan-kegiatan politik bernegara.
Selain itu, untuk dapat meningkatkan partisipasi politik, sejumlah indikator demokrasi harus terus dibangun, mulai dari peran aktif lembaga-lembaga politik, penyelenggaraan pemilu yang bebas dan aktif, kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, hingga partisipasi warga dalam pengambilan keputusan publik. (LITBANG KOMPAS)