Beragam Wajah Perayaan Tahun Baru di Dunia
Kesamaan Tahun Baru di dunia adalah bersyukur atas waktu lewat dan berharap yang terbaik bagi waktu yang akan datang.
Setiap bangsa memiliki kebudayaan dan tradisi yang beragam dalam merayakan pergantian tahun. Sekalipun berbeda-beda, semua perayaan Tahun Baru itu memiliki satu benang merah yang sama, yakni bersyukur atas waktu yang telah lewat dan berharap yang terbaik bagi waktu yang akan datang.
Umat manusia telah merayakan pergantian tahun selama berabad-abad silam. Bangsa Babilonia, sebagai salah satu peradaban paling awal manusia, tercatat telah merayakan Tahun Baru sejak sekitar tahun 2.000 sebelum Masehi. Pada kala itu, pesta tahun baru yang disebut sebagai Akitu itu dilakukan pada akhir Maret dan dilakukan selama 11 hari.
Catatan sejarah kemudian merekam bahwa umat manusia memiliki seribu satu ragam perayaan Tahun Baru. Variasi perayaan pergantian tahun paling pertama adalah dari segi waktu perayaan. Pasalnya, waktu perayaan Tahun Baru akan selalu mengikuti sistem kalender yang digunakan oleh suatu masyarakat.
Sementara itu, penentuan waktu dimulainya masa satu tahun dalam setiap kalender berbeda satu sama lain. Hal ini disebabkan terdapat perbedaan acuan penghitungan kalender. Pada umumnya, kalender-kalender di dunia dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yakni kalender berdasarkan pergerakan Matahari (solar), Bulan (lunar), atau gabungan antara pergerakan Matahari dan Bulan (lunisolar).
Pada masa sekarang hampir seluruh umat manusia merayakan Tahun Baru pada 1 Januari 2024. Pasalnya, hampir seluruh negara di dunia mengadopsi kalender Gregorian sebagai kalender utama mereka. Kalender yang dimulai pada 1 Januari dan berakhir pada 31 Desember tersebut memiliki jumlah hari rata-rata sebanyak 365,2425 setiap tahunnya.
Baca juga: 2024 Berharap Lebih Baik
Kalender Gregorian merupakan kalender Matahari yang diciptakan oleh Paus Gregorius XIII pada tahun 1582. Pada awalnya, kalender yang merupakan perbaikan dari kalender Julian ini digunakan hanya oleh Gereja Katolik di Eropa. Namun, kolonialisme yang dilakukan oleh negara-negara Eropa terhadap bangsa-bangsa lain akhirnya berperan dalam menyebarkan penggunaan kalender ini ke seluruh penjuru Bumi. Kini hanya ada empat negara yang belum mengadopsi kalender Gregorian, yakni Etiopia, Nepal, Iran, dan Afghanistan.
Namun, sekalipun kalender Gregorian telah mendominasi, sejumlah kebudayaan tetap berpegang teguh pada kalender tradisional mereka dalam menentukan kapan merayakan Tahun Baru. Bahkan, sering kali satu kebudayaan merayakan Tahun Baru lebih dari sekali karena menggunakan lebih dari satu jenis kalender.
China contohnya, meskipun secara resmi telah mengadopsi kalender Gregorian, masih banyak masyarakat yang hingga kini menggunakan kalender tradisional China yang berjenis lunisolar. Alhasil, mereka secara semarak merayakan Tahun Baru sekitar tanggal 21 Januari-20 Februari, yakni pada momentum Bulan Baru (New Moon) kedua setelah titik balik Matahari musim dingin. Momentum ini juga sekaligus menandai berakhirnya musim dingin dan dimulainya musim semi. Di Indonesia, perayaan Tahun Baru China ini dikenal sebagai Imlek.
Sementara itu, Iran dan sejumlah negara di Asia Tengah hingga Balkan merayakan Tahun Baru pada sekitar 21 Maret. Dilansir dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perayaan Tahun Baru yang disebut sebagai Nowruz ini dirayakan oleh sedikitnya 300 juta orang di berbagai negara selama sekitar 3.000 tahun. Mereka menggunakan sistem penanggalan kuno Persia yang mengacu pada Ekuinoks Utara, yakni peristiwa ketika Matahari melintas tepat di atas garis khatulistiwa Bumi di sekitar bulan Maret.
Selain dari segi waktu, perayaan Tahun Baru di sejumlah negara juga bervariasi dari cara melakukan perayaan itu sendiri. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh tradisi nenek moyang, jenis makanan favorit, hingga kepercayaan religius. Secara umum, cara umat manusia merayakan Tahun Baru antara lain dengan berpesta, makan bersama keluarga, atau menyepi dan berdoa.
Saat ini, cara yang paling jamak merayakan pergantian tahun di dunia mungkin adalah dengan berpesta. Salah satu momen pesta Tahun Baru yang cukup ikonik adalah New Year’s Eve di Times Square, New York, Amerika Serikat.
Baca juga: Tahun Baru Tiba, Warga Berpesta Seraya Berharap
Di sana, ribuan orang akan berkumpul untuk menyaksikan New Year’s Eve Ball, sebuah bola raksasa berdiameter sekitar tiga meter, turun perlahan-lahan dari pucuk tiang besi seiring dengan mendekatnya pergantian baru. Ketika bola mencapai dasar tiang, gelegar kembang api akan memenuhi langit Times Square disertai dengan hujan konfeti berwarna-warni.
Setelah itu, berbagai venue pesta, seperti bar dan hotel, menawarkan pengalaman pesta Tahun Baru yang spektakuler. Dilansir dari laman resmi Times Square, tiket masuk ke pergelaran pesta Tahun Baru di Times Square bisa mencapai 1.395 dollar AS atau Rp 21,6 juta per orang.
Selain lewat ingar bingar pesta, perayaan Tahun Baru di sejumlah negara juga dilalui dengan menyantap hidangan istimewa. Di Spanyol, orang akan memakan 12 butir anggur sebagai simbol mengharapkan kebaikan untuk 12 bulan ke depan. Dilansir dari npr.org, tradisi yang sudah berjalan lebih dari satu abad ini memiliki kaitan erat dengan konteks Spanyol sebagai salah satu negara penghasil anggur terbaik di dunia.
Selanjutnya, di Jerman, orang akan memakan donat isi atau Pfannkuchen. Biasanya donat tersebut berisi semacam jeli. Namun, ada tradisi untuk secara acak mengisi donat tersebut dengan mustard. Orang yang kebetulan memakan donat berisi mustard itu dianggap akan mengalami tahun yang buruk. Selain donat, orang Jerman juga akan menenggak Feuerzangenbowle, yakni semacam minuman keras tradisional yang biasanya hanya disajikan saat Natal atau Tahun Baru.
Kontemplasi
Di samping menikmati makanan atau berdansa di lantai pesta, sebagian orang memilih merayakan Tahun Baru dalam hening yang penuh kontemplasi. Di Jepang, malam Tahun Baru ditandai dengan 108 kali dentangan lonceng di kuil-kuil Buddha-Shinto. Pembunyian lonceng ini dilakukan dengan harapan mengusir 108 hasrat duniawi dari hati setiap orang yang mendengarnya. Selain Jepang, Korea juga melakukan pemukulan lonceng di malam Tahun Baru. Perbedaannya, lonceng di Korea hanya dibunyikan sebanyak 33 kali.
Baca juga: Penuh Harapan dalam Tradisi dan Resolusi Tahun Baru
Sementara itu, masyarakat Hindu di Bali, Indonesia, akan menutup pintu dan jendela rumah mereka pada perayaan Tahun Baru Saka agar keheningan memasuki relung hati mereka. Perayaan Tahun Baru yang biasa disebut sebagai Nyepi ini dilakukan sebagai upaya penyucian serta evaluasi diri. Seluruh upacara dan laku-tapa ini dilakukan oleh mereka dengan harapan dapat menyambut tahun yang baru dengan pribadi yang bersih dan murni.
Tahun Baru telah menjadi momentum spesial bagi setiap kebudayaan dan umat manusia di dunia. Momentum pergantian tahun seakan mengingatkan bahwa dunia ini berjalan dalam suatu siklus yang sama. Hal ini dapat dimaknai bahwa manusia selalu memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan kembali mengulang ke titik awal.
Namun, Tahun Baru juga menjadi penanda bahwa waktu akan terus berjalan maju, tidak mundur serta tidak diam di tempat. Manusia didorong supaya dapat belajar dari kesalahan di masa lampau dan siap melangkah menuju hari esok lebih baik di tahun yang baru. Selamat Tahun Baru 2024. (LITBANG KOMPAS)