Krisis Iklim 2023 dan Masa Depan Maraton
Tahun 2023 diwarnai munculnya rekor krisis iklim. Perubahan iklim ini berdampak pula akan masa depan kejuaraan maraton. Sejumlah pelari kemudian menggalang gerakan ”The Green Runners” untuk mengurangi beban lingkungan.
Catatan krisis iklim ini dilaporkan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) yang menyebutkan rata-rata suhu permukaan Bumi pada 2023 mencapai 1,4 derajat celsius lebih tinggi dari suhu periode pra-industri (1850-1900). Suhu rata-rata pada 2023 tersebut telah melampaui rerata suhu pada 2016 yang mencapai 1,29 derajat celsius.
WMO mencatat, naiknya suhu Bumi membuat periode 2023 sebagai tahun terpanas sepanjang 174 tahun masa pengamatan. Kejadian panas ekstrem melanda beberapa tempat di dunia, terutama di daerah Eropa bagian selatan dan Afrika bagian utara. Pada paruh kedua Juli 2023 terjadi panas ekstrem di sebagian daerah.
Suhu di Tunis (Tunisia) mencapai 49 derajat celsius, wilayah Pulau Sardinia (Italia) mencatatkan suhu sebesar 48,2 derajat celsius, dan Aljazair sebesar 48,7 derajat celsius. Rekor suhu tertinggi dilaporkan WMO terjadi di wilayah Agadir (Maroko) yang mencapai 50,4 derajat celsius pada Agustus 2023.
Pemanasan global menimbulkan bencana kebakaran hutan, kekeringan, dan polusi asap. Di Kanada, kebakaran hutan telah melampaui rekor sebelumnya. Total area hutan dan lahan yang terbakar di Kanada hingga 15 Oktober 2023 mencapai 18,5 juta hektar. Jumlah tersebut enam kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan rata-rata dalam 10 tahun terakhir (2013-2022). Kebakaran hutan tersebut juga menyebabkan polusi asap hingga melintasi batas negara Amerika Serikat bagian timur laut.
Dampak pemanasan global juga merambah ke dunia olahraga termasuk ajang maraton. Pada 1 Oktober 2023, kejuaraan maraton yang menurut rencana dilaksanakan di kota kembar Minneapolis dan Saint Paul di Negara Bagian Minnesota, AS, terpaksa dibatalkan. Penyebabnya ialah suhu panas yang menembus hingga 37,2 derajat celsius dan mengancam keselamatan pelari.
Kelembaban udara yang menghangat juga membuat penyelenggara The Marine Corps Marathon di Washington DC, AS, mempercepat pelaksanaan lomba lari yang digelar pada 29 Oktober 2023. Kejuaraan ditutup 30 menit lebih awal dari yang direncanakan dan rute ke garis finis dialihkan melalui jalur yang lebih pendek.
Sebelumnya, World Athletics juga melaporkan gangguan cuaca panas telah membuat penyelenggara Mass Race Budapest di Hongaria pada Agustus 2023 mengurangi jarak lari dari 10 km menjadi 6 km untuk melindungi kesehatan para pelari.
Di Indonesia, lomba lari Borobudur Marathon 2023 Powered by Bank Jateng dihentikan lebih cepat dari jadwal. Seharusnya, lomba diselesaikan pada pukul 12.00 WIB. Namun, kondisi suhu dan kelembaban yang amat tinggi membuat lomba maraton terpaksa dihentikan pada pukul 10.30 WIB.
Baca juga: Panitia Hentikan Borobudur Marathon akibat Cuaca Panas
Iklim yang berubah perlahan-lahan juga mengubah pola kejuaraan lomba lari. Pada Kejuaraan Dunia Atletik 2019 di Doha, Qatar, atlet-atlet maraton dan jalan cepat berlomba saat malam hari. Kondisi tersebut untuk menghindari suhu panas yang melanda Doha. Suhu di Doha pada pukul 07.00 sudah mencapai 32 derajat celsius dan bisa menjadi 38 derajat pada pukul 12.00.
Selain memindahkan pertandingan pada malam hari, penyelenggara juga melengkapi sistem pendingin udara yang kuat di stadion-stadion untuk mengurangi tekanan cuaca panas. Bahkan, sebelumnya, penyelenggara telah menggeser jadwal kejuaraan dunia tersebut dari Agustus ke akhir September-awal Oktober.
Adaptasi pemanasan global juga terjadi saat Olimpiade Tokyo 2020. Komite Olimpiade Internasional (IOC) memindahkan lokasi lomba maraton dan jalan cepat dari kota Tokyo ke Sapporo. Pemindahan ini untuk menghindari sengatan udara panas di Tokyo. Suhu di wilayah Sapporo lebih dingin 6 derajat celsius ketimbang Tokyo.
Kekhawatiran pelari
Dampak perubahan iklim yang telah mendisrupsi lomba lari membawa kekhawatiran akan masa depan maraton. Salah satu kecemasan ini ditangkap oleh World Athletics yang merangkum opini publik pelari dunia terhadap perubahan iklim. Melalui survei yang dilakukan pada 2021 dan dipublikasikan bertepatan dengan berlangsungnya Pertemuan Perubahan Iklim COP 26 Glasgow tahun 2021, sebanyak 77,4 persen responden pelari dunia menyatakan sangat prihatin terhadap krisis iklim.
Keprihatinan itu disebabkan karena krisis iklim telah berdampak nyata pada publik pelari. Selain suhu yang makin panas, responden pelari tersebut juga mengeluhkan polusi udara yang kian menyebabkan gangguan pada aktivitas mereka.
Baca juga: Bumi Bukan Lagi Memanas, melainkan Mulai Mendidih
World Athletics melakukan survei kepada 268 atlet lari dari 89 negara. Ada dua kelompok pelari yang menjadi responden survei. Kelompok pertama terdiri dari 116 atlet dari 59 negara yang ikut berlaga di Kejuaraan Atletik Dunia U20 di Nairobi pada Agustus 2021. Adapun kelompok kedua merupakan 152 atlet elite tingkat senior dari 55 negara yang dihubungi Komisi Atletik Dunia. Pesan para atlet lari dunia tersebut dapat diikuti dari akun Youtube World Athletics.
Secara umum, ada dua substansi keresahan dari suara publik pelari dunia tersebut untuk mengatasi perubahan iklim. Pertama ialah perlunya memperbaiki kualitas lingkungan bagi kota-kota di dunia. Aspek keberlanjutan yang dilakukan suatu kota diyakini para pelari memainkan peran yang besar dalam menjamin masa depan maraton dan kehidupan bumi itu sendiri.
Salah satu hal konkret yang dilihat publik pelari ialah kemampuan kota yang memiliki sistem pengelolaan sampah dan daur ulang yang ramah lingkungan. Kemampuan mendaur ulang sampah dapat berkontribusi terhadap pengurangan emisi global. Di masa depan, pemilihan kota-kota penyelenggara ajang lari perlu mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan tersebut.
Perhatian publik pelari terhadap kapabilitas tuan rumah ajang lari ini juga sejalan dengan analisis data visual yang dilakukan media Jepang, Nikkei. Melalui simulasi iklim dan tekanan panas di 193 kota di seluruh dunia, Nikkei meriset kelayakan sebuah kota untuk menjadi tuan rumah Olimpiade musim panas.
Kelayakan ini dilihat dari indeks tekanan atau stres panas yang menggunakan indikator suhu udara, kelembaban, radiasi matahari, aliran udara yang biasa digunakan International Institute for Race Medicine. Ditambahkan pula indikator efek panas pulau, populasi penduduk, dan konsumsi energi.
Dari hasil simulasi, Nikkei menemukan 122 kota atau 60 persen cenderung kurang cocok sebagai tuan rumah Olimpiade musim panas yang biasanya digelar pada Agustus. Melihat sebarannya, ketidaklayakan menjadi tuan rumah akibat pengaruh pemanasan global ini dialami kota-kota di Asia Tenggara, Asia Timur, Timur Tengah, dan Asia Selatan. Bahkan, di wilayah Asia Tenggara, hasil simulasi iklim menunjukkan kemungkinan besar kota-kotanya tidak cocok menggelar kejuaraan Olimpiade musim panas.
Pelari peduli lingkungan
Pesan kedua yang disampaikan publik pelari ialah perlunya mengorganisasikan kampanye kesadaran dan advokasi lingkungan. Kampanye lingkungan ini perlu dilakukan di tingkat lokal dan global. Kepedulian para pelari ini juga dibuktikan dengan kiprah nyata mereka untuk membuat Bumi menjadi lebih sehat. Salah satunya melalui gerakan ”The Green Runners”. Gerakan ini diinisiasi oleh sejumlah pelari ultramaraton, seperti Damian Hall, Dan Lawson, dan Jasmin Paris. Didirikan pada 2022, grup pelari peduli lingkungan ini telah berkembang menjadi 1.000 anggota.
Ada empat hal yang menjadi tujuan gerakan ini, yaitu mobilitas pelari dalam mengikuti ajang lari, penggunaan atribut pelari, konsumsi makanan, serta cara mengajak orang lain untuk peduli lingkungan. Keempat hal ini mengarah pada perbaikan gaya hidup pelari agar lebih peduli lingkungan.
Dalam hal mobilitas pelari, gerakan pelari hijau ini berupaya membangkitkan kesadaran para pelari untuk lebih memikirkan cara menempuh perjalanan ke ajang lomba lari, seperti mengurangi dampak perjalanan saat mengikuti kejuaraan. Ribuan pelari menempuh perjalanan udara dari seluruh dunia untuk menghadiri kejuaraan maraton. Perjalanan tersebut akan menghasilkan emisi gas rumah kaca.
Demikian pula dengan atribut pelari. Pakaian olahraga, sepatu kets, dan kaus oblong akan dibuang setelah lomba usai. Begitu juga dengan kemasan minuman sekali pakai di sepanjang rute lomba lari. Gerakan pelari hijau ini menginisiasi untuk melakukan perbaikan, seperti efisien dalam membeli peralatan, mendaur ulang peralatan, serta mengonsumsi makanan yang diproduksi secara lokal dengan pengemasan yang ramah lingkungan.
Kepedulian pelari ini juga disambut hangat pihak penyelenggara kejuaraan lari. Paris Marathon, misalnya, sejak 2019 telah memulai komitmennya untuk mengurangi jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan melalui reduksi 30 persen limbah yang dihasilkan dalam ajang tersebut. Pengurangan limbah tersebut antara lain dilakukan dengan meningkatkan jumlah pakaian yang didaur ulang dan mengelola konsumsi kejuaraan dengan bekerja sama dengan bank makanan.
Penyelenggara Paris Marathon juga menggunakan kendaraan listrik pada hari perlombaan. Selain itu, mereka juga menjalin kemitraan dengan Livelihood Fund, sebuah proyek yang membantu masyarakat di Kenya untuk melestarikan ekosistem mereka.
Baca juga: Antusiasme Menjadi Penamat Maraton Utama Dunia
Hal serupa juga dilakukan penyelenggara London Marathon. Penyelenggara mulai membebankan biaya retribusi iklim kepada pelari dari luar negeri sebesar 26 euro. Hal ini mengingat perjalanan pelari internasional menjadi kontributor terbesar (90 persen) emisi karbon penyelenggaraan London Marathon.
Ragam kepedulian pelari dan penyelenggara maraton ini menjadi bukti nyata komitmen bersama untuk melindungi alam. Menyambut tahun 2024, kepedulian ini bukan hanya bertujuan untuk menyelamatkan lingkungan, melainkan sekaligus untuk menjaga masa depan maraton di tengah krisis iklim yang semakin mengancam kehidupan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Cuaca Panas dan Trek Menanjak Bakal Jadi Tantangan di Borobudur Marathon 2023