Mampukah Strategi Israel Taklukkan Hamas? (2)
Jumat (24/11/2023) menjadi hari terpenting dalam perang Israel-Hamas. Pada hari itu terlaksana pembebasan sandera Hamas tahap pertama dari empat hari jeda kemanusiaan. Setelah itu, apakah keduanya kembali berperang?
Sebulan sebelum pelaksanaan gencatan senjata, desakan gencatan senjata telah digaungkan para pemimpin Barat yang khawatir pertempuran Israel-Hamas bakal meluas dan mendestabilisasi kawasan Timur Tengah. Negara-negara Barat memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap stabilitas kawasan produsen sepertiga (31,1 persen) minyak dunia ini.
Perang juga telah banyak memakan korban rakyat sipil. Tak heran jika Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak, PM Kanada Justin Trudeau, PM Italia Giorgia Meloni, Presiden Perancis Emmanuel Macron, dan Kanselir Jerman Olaf Scholz meminta pembebasan semua sandera dan membuka jalur kemanusiaan untuk Gaza (Kompas, 22/10/2023).
Saat itu, militer Israel sedang gencar melancarkan pengeboman besar-besaran ke Gaza dan serangan darat terbatas. Strategi Israel adalah menekan Hamas secara masif secara militer agar mereka bersedia melepas sandera.
Dalam konferensi pers bersama, PM Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengatakan Hamas harus dipaksa ke meja perundingan meski hal itu sangat kompleks.
”Semakin besar tekanan militer, yakni semakin besar daya tembak dan semakin sering kita menyerang Hamas—semakin besar peluang kita untuk membawa mereka (Hamas) ke titik di mana mereka akan menyetujui solusi yang memungkinkan kembalinya orang-orang yang kita cintai,” kata Gallant sebagaimana dilaporkan laman Al Jazeera, Sabtu (28/10/2023).
Di dalam negeri Israel, strategi Angkatan Udara Israel membombardir Gaza besar-besaran sebetulnya mendapat penentangan dari keluarga para sandera yang khawatir dengan keselamatan kerabatnya yang disandera. Apalagi pada saat itu Hamas masih bersikeras meminta Israel untuk melepaskan seluruh tahanan warga Palestina yang ada di penjara-penjara Israel sebagai jaminan keamanan para sandera yang ditahan Hamas pada serangan 7 Oktober 2023.
Keluarga para sandera khawatir tekanan yang besar kepada Hamas justru mengancam keselamatan sandera. Namun, titik terang pembebasan sandera akhirnya muncul setelah negara-negara Barat pendukung Israel mulai menyerukan perlindungan kepada warga sipil Gaza, berlanjut dengan tekanan (ancaman) politik dari negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Dengan melibatkan AS dan Mesir, juru runding Qatar akhirnya mencapai kesepakatan dengan Israel dan Hamas. Perundingan itu berlangsung marathon selama 1,5 bulan dengan kesepakatan 50 sandera Hamas akan ditukar dengan 150 warga Palestina yang ditahan Israel dan imbalan gencatan senjata (serangan Israel) selama empat hari di Gaza.
Hingga Rabu (29/11/2023), paling tidak 83 orang, terdiri dari 60 warga Israel dan 23 warga negara asing, dibebaskan Hamas dari total 240 orang yang dilaporkan disandera. Dengan jumlah sisa sandera masih 159 orang, Hamas berharap masih dapat memperpanjang jeda kemanusiaan di Jalur Gaza hingga 16 hari ke depan.
Hamas bersedia memperpanjang gencatan senjata selama empat hari dan membebaskan lebih banyak sandera Israel dengan imbalan tahanan Palestina. Setiap pembebasan 10 sandera warga Israel akan diganti dengan jeda kemanusiaan selama satu hari (Kompas, 30/11/2023).
Warga Palestina tahanan Israel yang dilepas kebanyakan merupakan perempuan dan anak-anak yang terlibat kasus-kasus sepele, seperti pelemparan batu. Padahal, Hamas biasanya memiliki daya tawar ”tinggi” dalam pertukaran sandera. Bahkan, pada 18 Oktober 2011, seorang prajurit Israel bernama Gilad Shalit harus ditukar dengan pembebasan 1.000 warga Palestina yang ditahan Israel. Dengan situasi ini, apakah ini tanda-tanda Hamas sudah mulai melemah menghadapi gempuran Israel?
Bukti terowongan Hamas
Sulit dimungkiri, perjuangan bersenjata Hamas tak lepas dari dukungan moril dan politik warga berbagai negara di dunia. Dalam konteks dukungan moril, penggunaan fasilitas sipil sebagai sarana peperangan tentu sulit diterima.
Terungkapnya jaringan terowongan bawah tanah di sekitar Rumah Sakit Al-Shifa sebagaimana klaim Israel, tampaknya menjadi pukulan paling telak yang secara politis-sosiologis menyudutkan posisi Hamas. Hal ini karena selama ini Hamas menyangkal menggunakan sarana sipil warga Gaza sebagai tameng dari serangan udara Israel.
Pada Minggu (19/11/2023), militer Israel mengeluarkan pernyataan bahwa mereka telah menemukan terowongan Hamas di bawah RS Al-Shifa di Gaza. Mereka juga merilis rekaman video terowongan yang diambil pada 17 November 2023. Dua wartawan New York Times, seorang wartawan Associated Press, dan beberapa jurnalis media Barat lainnya diajak masuk untuk membuktikan kebenaran klaim Israel tersebut.
Baca juga: Mampukah Strategi Israel Taklukkan Hamas? (1)
Meski masih banyak pro-kontra dan penyangkalan terhadap validitas terowongan di bawah RS Al-Shifa, termasuk tuduhan adanya editing yang dilakukan Israel terhadap rekaman video itu, secara faktual video itu membuktikan sejumlah mulut terowongan bawah tanah yang berjarak hanya beberapa puluh meter dari dinding RS Al-Shifa dan beredar luas di media sosial.
Kegigihan Israel memburu bukti ruangan bawah tanah itu tak ayal membuat narasi perang Israel-Hamas bergeser lebih condong kepada klaim Israel karena tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Hamas sebagian mulai terbukti. Bagaimanapun segi publikasi peperangan ini sarat dengan perang narasi di mana satu pihak mencitrakan pihak lain lebih ”buruk/jahat” sebagai upaya meraih dukungan publik dunia.
Bukti CCTV
Momentum bagi strategi Israel akhirnya terjadi ketika pasukan Israel mendapatkan rekaman CCTV Rumah Sakit Al-Shifa yang menunjukkan bahwa pada hari terjadinya serangan Hamas, RS itu menjadi jalur bagi tentara Hamas membawa sejumlah sandera.
Dalam rekaman video itu sebagaimana ditayangkan di kanal Kementerian Pertahanan Israel, Kamis (23/11/2023), menunjukkan seorang warga Nepal dan seorang warga Thailand ditarik oleh beberapa orang pasukan bersenjata Hamas di pintu masuk utama RS Al-Shifa. Ada pula tayangan video seorang sandera warga non-Israel yang diangkut di atas tempat tidur karena luka-luka.
Di sisi lain, keberadaan terowongan rahasia yang berdekatan dengan fasilitas sipil itu sebenarnya ”dimaklumi” para pendukung Palestina sebagai taktik perjuangan Palestina melawan Israel yang superpower dari segi apa pun. Hal ini karena Gaza yang hanya berukuran luas sekitar 365 kilometer persegi atau separuh luas DKI Jakarta adalah wilayah yang teramat kecil untuk dipetakan dan diawasi oleh sarana pengintaian Israel.
Dengan sempitnya wilayah jalur Gaza, secara jarak/spasial pun sulit membuat jaringan terowongan rahasia yang benar-benar jauh dari permukiman sipil karena lebar wilayah Gaza hanya 6-12 kilometer dan panjang 41 kilometer.
Terlebih lagi jika merunut ke masa awal digagasnya pembuatan terowongan bawah tanah di Gaza yang konon sudah dibangun sejak 1983 atau 40 tahun lalu, memang sejak awal didesain untuk menyelundupkan bahan makanan, bahan bakar, dan berbagai keperluan hidup warga Palestina di Gaza. Oleh karena itu, wajar jika mulut terowongan berada di dekat permukiman atau bangunan sipil.
Ketika Hamas memenangi Pemilu Parlemen Palestina tahun 2006 dan tak mengikuti jalan perdamaian berdasar kesepakatan damai Israel-Palestina, serta menyerukan perlawanan bersenjata, maka fungsi terowongan rahasia itu beralih fungsi menjadi sarana utama perlawanan bersenjata terhadap Israel.
Berbeda dengan konsep terowongan untuk fungsi penyelundupan barang, di masa Hamas terowongan bawah tanah telah berubah menjadi sebuah struktur pertahanan militer dan tempat bersembunyi dari kejaran musuh. Oleh karena itu, meski jauh di bawah tanah, Hamas membangun terowongan lengkap dengan ruangan untuk kemampuan bertahan hidup sekaligus kemampuan tempur.
Untuk bertahan hidup, di dalam terowongan itu terdapat ruangan untuk istirahat, saluran listrik, internet, penyejuk udara, dapur dan toilet. Demikian pula klaim pasukan Israel yang menemukan tempat penyimpanan senjata ringan, bahan peledak, rudal antitank, hingga rudal Qassam yang disimpan di dalam berbagai ruangan terowongan.
Kota bayangan ”Metro”
Pembuatan terowongan bawah tanah di jalur Gaza selama empat dekade menyebabkan terbentuknya labirin terowongan bawah tanah yang berskala masif dan terbesar di dunia. Israel memperkirakan panjang total jejaring labirin bawah tanah itu telah mencapai 500 kilometer dan membentuk ibarat jaringan kereta api bawah tanah sehingga dijuluki ”Metro”, sebuah ”kota bayangan” di bawah tanah.
Strukturnya tak hanya menjalar seperti susunan saraf bercabang, tetapi juga bertingkat-tingkat hingga tiga atau empat lapis kedalaman. Sejumlah analisis militer Barat memperkirakan terowongan tersebut memiliki kedalaman 30-70 meter di dalam tanah.
Terowongan dibuat sedemikian dalam untuk menghindari deteksi alat-alat sonar canggih Israel dan menghindar dari dampak ledakan dahsyat bom antibungker berkemampuan penetrasi tinggi Israel.
Berdasarkan rekaman video temuan terowongan di sekitar RS Al-Shifa dan keterangan sandera warga Israel yang telah bebas, terungkap bahwa terowongan bawah tanah itu demikian panjang, memiliki fasilitas pendingin udara, ruangan-ruangan, toilet bahkan dapur kecil. Saking panjangnya terowongan, sebagian sandera mengaku bisa dibonceng di sepeda motor di dalam terowongan.
Kini jejaring terowongan ”Metro” yang menghubungkan Gaza dengan wilayah Mesir dan wilayah Israel itu telah semakin terungkap. Taktik Israel menggempur habis-habisan Gaza membuat Hamas terjepit. Meski pasukan Hamas mampu tetap bersembunyi di dalam terowongan rahasia, sebagian pintu-pintu masuk dan keluar telah ditemukan Israel dan diduduki.
Baca juga: Hamas-Israel Sepakat Hentikan Perang 4 Hari, 50 Sandera Ditukar 150 Tawanan Palestina
Hal ini berbeda dengan peperangan di tahun sebelumnya di mana Israel hanya menggempur gedung-gedung dan tidak melakukan perang darat dan pendudukan di Gaza. Kali ini militer Israel mengerahkan pasukan besar-besaran dan ”mengunci” pasukan Hamas di dalam terowongan bawah tanah.
Dengan tekanan militer dan psikologis tersebut, kesediaan Hamas untuk melepaskan sandera menjadi semakin masuk akal untuk dilakukan. Namun, dengan posisi pertempuran yang semakin tertekan, mampukah Hamas kembali mengobarkan perlawanan terhadap Israel. Atau paling tidak, bertahan dari serangan baru pascagencatan senjata? (LITBANG KOMPAS) (Bersambung)
Baca juga: Hamas dan AS Ingin Perpanjangan Jeda Kemanusiaan, Israel Menolak