Peredaran Uang Triliunan Rupiah pada Masa Pemilu
Masa pemilu identik dengan perputaran uang lebih besar. Dalam jangka pendek, indikator pertumbuhan ekonomi meningkat.
Masa pemilu identik dengan perputaran uang yang lebih besar daripada biasanya. Dalam jangka pendek, sejumlah indikator pertumbuhan ekonomi meningkat sepanjang masa pemilu. Dampak positif temporer ini diharapkan dapat mendorong kemajuan ekonomi yang merata dalam jangka panjang.
Perhelatan Pemilu 2024 tinggal menghitung hari. Euforianya mulai menyebar ke seluruh pelosok negeri. Agenda kunjungan para calon presiden dan wakil presiden ke sejumlah daerah kian rutin terjadi. Para calon anggota legislatif pun bergegas menjaring suara di daerah pemilihannya. Baliho peserta pemilu mulai terpampang di jalan-jalan, ragam atribut pendukung pasangan capres-cawapres dan partai politik pendukungnya kian semarak.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Kemeriahan ”hajatan” lima tahunan itu secara tidak langsung turut menggerakkan perekonomian lebih masif dari biasanya. Sebagaimana terjadi pada beberapa periode pemilu sebelumnya, laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga hingga belanja pemerintah pada tahun politik cenderung lebih besar (Kompas.id, 9/11/2023).
Perputaran roda ekonomi yang lebih cepat itu seiring dengan semakin banyaknya uang yang beredar saat pemilu. Pada pemilu tahun depan, perputaran uang diperkirakan naik hingga Rp 100 triliun. Proyeksi tersebut berkaca pada tren yang terjadi pada pemilu sebelum-sebelumnya.
Merujuk pada data Bank Indonesia, uang yang beredar di masyarakat pada momentum Pemilu 2014 dan 2019 meningkat di kisaran Rp 23 triliun-Rp 52 triliun. Uang tersebut mengacu pada uang tunai yang dipegang masyarakat, uang elektronik, dan tabungan yang dapat ditarik sewaktu-waktu (M1).
Dalam mendefinisikan uang beredar, BI membaginya dalam dua kategori, yakni uang beredar dalam arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2). M1 merupakan salah satu komponen pembentuk M2, bersama dengan uang kuasi (simpanan berjangka, tabungan lain, dan simpanan giro valas) serta surat berharga selain saham.
Jika diselisik lebih dalam, uang dalam kategori M1 cenderung konsisten meningkat saat pemilu, terutama pada bulan pelaksanaan dan satu bulan sebelumnya. Berbeda dengan uang dalam arti lebih luas (M2) yang menurun saat pemilu lantaran uang kuasi sebagai salah satu pembentuknya mengalami penurunan.
Pada Pemilu 2019, misalnya, uang yang beredar di masyarakat (M1) pada bulan April meningkat sekitar 0,8 persen. Sementara itu, M2 justru turun 0,01 persen seiring dengan penurunan uang kuasi sekitar 0,9 persen pada periode yang sama. Begitu pula Pemilu 2014, ketika peningkatan jumlah uang beredar M1 lebih tinggi daripada uang kuasi dan M2. Data tersebut semakin menguatkan bahwa uang yang dibelanjakan dan beredar di masyarakat terbukti meningkat saat pemilu berlangsung.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2023 di Tengah Kondisi Global dan Pemilu
Masifnya peredaran uang di masyarakat saat pesta demokrasi juga tampak dari lebih tingginya penarikan uang dari lembaga keuangan. BI menyebutnya dengan netoutflow uang tunai positif. Artinya, outflow atau penarikan uang tunai lebih besar daripada inflow atau penyetorannya. Pada April 2019, penarikan uang tunai oleh masyarakat mencapai Rp 74,9 triliun, sedangkan besaran penyetoran senilai Rp 51,6 triliun. Artinya, penarikan tunai Rp 23,3 triliun lebih banyak daripada yang disetorkan.
Pemilu 2014 yang dilaksanakan dua kali, yakni pemilu legislatif pada 9 April dan pemilihan presiden pada 9 Juli, juga memiliki pola yang sama. Jumlah penarikan uang pada April 2014 saat pileg nominalnya lebih besar daripada jumlah yang disetorkan. Nominal uang yang ditarik dalam bulan itu mencapai kisaran Rp 1 triliun. Kondisi net outflow ini terjadi sejak Maret 2014 atau sebelum pileg berlangsung. Situasi ini kembali berulang ketika Pilpres 2014. Jumlah net outflow uang tunai pada Juli 2014 saat pilpres dilaksanakan nominalnya jauh lebih besar, yakni berkisar Rp 99,6 triliun.
Besaran itu relatif samar dan tidak dapat dikatakan serta-merta karena dampak pemilu. Sebab, periode pemilu Juli 2014 bersamaan dengan momen hari raya Idul Fitri sehingga secara alamiah terjadi lonjakan jumlah uang beredar. Apalagi, selama ini Lebaran menjadi salah satu pendongkrak ekonomi terbesar di Indonesia.
Meskipun demikian, tak dapat dimungkiri bahwa pemilu juga turut berperan dalam menggerakkan ekonomi, terutama dalam masa jelang pemilihan. Salah satunya melalui peredaran uang yang masif untuk berbagai keperluan belanja politik demi mendulang popularitas partai ataupun sosok yang berkontestasi.
Hal ini selaras dengan temuan kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Analisis yang dilakukan pada Pemilu 2014 menemukan bahwa jumlah uang beredar yang memberikan dampak positif dan paling signifikan bagi perekonomian saat itu adalah pada masa-masa sekitar pemilu, baik pada kuartal sebelum pemilihan maupun pada kuartal saat pemilu berlangsung.
Aliran uang
Secara umum, uang yang beredar saat pemilu akan lebih banyak mengalir ke sektor tertentu, terutama di bidang industri. Masih menggunakan sistem pencoblosan manual, sudah barang tentu industri percetakan menjadi salah satu yang turut mendapatkan aliran uang. Pada Pemilu 2019, misalnya, pertumbuhan industri kertas dan percetakan naik pesat pada masa menjelang pemilu.
Pada triwulan I-2019, laju pertumbuhan industri kertas dan percetakan mencapai 9,22 persen. Tren ini melanjutkan pertumbuhan impresif sebelumnya, yakni triwulan IV-2018 yang tumbuh 10,28 persen. Bukan hanya mencetak surat suara, permintaan baliho dan sejenisnya pun meningkat saat pemilu, guna memperkenalkan calon yang merupakan kontestan politik. Pada tahun-tahun tanpa pemilu, laju pertumbuhan industri kertas dan percetakan tidak pernah tumbuh setinggi itu. Bahkan, ada kecenderungan mengalami kontraksi.
Baca juga: Pemilu dan Ketidakpastian
Industri lain yang turut meraup berkah adalah tekstil. Pada periode yang sama, industri tekstil tumbuh 18,98 persen pada triwulan I-2019. Laju kencang mesin industri ini didorong oleh tingginya permintaan kaus oleh partai politik ataupun kandidat wakil rakyat.
Industri makanan dan minuman hingga penyedia akomodasi dan penginapan juga turut merasakan dampaknya. Hal ini lantaran banyaknya agenda rapat, pertemuan, hingga kampanye yang memerlukan konsumsi hingga tempat berkumpul menjelang berlangsungnya pemilu.
Sektor komunikasi dan informasi pun diproyeksi akan turut merasakan dampak pemilu mengingat belanja iklan politik lumayan besar. Periode April 2023 hingga 29 Juni 2023, Meta Platform melaporkan, nilai transaksi iklan politik dan pemilu di sejumlah kanal media sosial mencapai Rp 10,9 miliar.
Meningkatnya perputaran uang di sejumlah sektor kegiatan ekonomi tersebut diproyeksi akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi. Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA), David Sumual, menyebutkan, pelaksanaan Pemilu 2024 diperkirakan mendorong pertumbuhan ekonomi berkisar 0,05-0,1 persen pada tahun ini (Kompas.id, 1/11/2023).
Untuk tahun depan, agenda politik ini diperkirakan juga mengakselerasi kemajuan ekonomi di kisaran 0,25-0,3 persen. Proyeksi besarnya dampak pemilu pada tahun depan tidak hanya lantaran pemilihan legislatif dan eksekutif pada Februari 2024, tetapi juga karena pemilihan kepala daerah pada akhir 2024.
Dampak nyata
Fakta tersebut menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, hajatan pemilu selalu berimbas positif bagi perekonomian. Berbagai analisis menemukan bahwa pemilu mampu menggerakkan ekonomi masyarakat. Salah satunya berupa peningkatan konsumsi rumah tangga yang didorong oleh bantuan atau beragam program yang dilaksanakan menjelang pemilu.
Hanya saja, dampak positif dari pemilu selama ini masih bersifat temporer. Peningkatan konsumsi rumah tangga hanya terjadi jelang pemilu. Secara umum, ekonomi nasional berkembang seperti masa-masa sebelumnya, yakni masih berkutat pada pertumbuhan 5 persen.
Baca juga: Pemilu Kian Dekat, Kebijakan Fiskal Diproyeksikan Lebih Ekspansif
Kondisi ini menggambarkan pemilu belum berimbas panjang bagi perbaikan sosial ekonomi masyarakat. Hingga Maret 2023, angka kemiskinan masih 9,4 persen. Adapun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) menargetkan kemiskinan sudah susut menjadi 6,5-7,5 persen. Artinya, kemiskinan harus turun setidaknya 2-3 persen untuk tahun depan. Padahal, rata-rata penurunan kemiskinan selama ini masih sekitar 0,3 persen.
Demikian pula dengan pemerataan pendapatan yang juga masih timpang hingga saat ini. Koefisien gini per Maret 2023 sebesar 0,388 menunjukkan ketimpangan yang cukup dalam antara pihak pemodal dan masyarakat luas. Indeks gini tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi tahun 2010 yang sebesar 0,378. Selama lebih dari satu dekade, ketimpangan pendapatan antarmasyarakat cenderung kian dalam dan melebar.
Fenomena tersebut menjadi catatan penting bagi elite-elite politik di negeri ini karena ingar-bingar pemilu belum memberikan dampak nyata dalam jangka panjang. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilanjutkan pemerintah dan para politikus terpilih nanti dalam memajukan ekonomi dan memeratakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. (LITBANG KOMPAS)