Pembatasan Pupuk Subsidi, Peluang Pengembangan Pupuk Organik
Pertanian menjadi sektor krusial yang menentukan ketahanan pangan nasional. Sayangnya, sektor ini menghadapi sejumlah tantangan, salah satunya keterbatasan pupuk bersubsidi.
Oleh
AGUSTINA PURWANTI, ZIKRINA RATRI
·6 menit baca
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Petani memanen padi lokal yang ditanam dengan metode mulsa tanpa olah tanah (MTOT) serta menggunakan pupuk daun dari cangkang telur di Desa Malintang, Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Senin (4/9/2023). Pola pertanian organik dan tanpa membakar lahan tersebut berhasil diterapkan satu kelompok tani di Desa Malintang sejak tahun lalu. Pertanian dengan metode ini bisa menjaga kelestarian lingkungan hidup serta terbukti mampu menekan biaya produksi dan meningkatkan produktivitas.
Pertanian menjadi sektor krusial yang menentukan ketahanan pangan nasional. Sayangnya, sektor agraris ini menghadapi sejumlah tantangan dalam pembudidayaannya. Salah satu yang kerap menjadi kendala adalah ketersedian pupuk bersubsidi sehingga membuat faktor produksi ini langka dan mahal di pasaran. Perlu alternatif solusi bagi persoalan keterbatasan pupuk ini.
Problematika pertanian yang kian kompleks membuat cita-cita ketahanan pangan tak kunjung dapat diwujudkan. Perubahan iklim, fenomena kekeringan, hingga krisis ekologi berujung pada penurunan produksi sejumlah komoditas pangan. Selain tantangan alam, pertanian juga harus bersaing dengan pesatnya kemajuan perekonomian wilayah yang berdampak pada alih fungsi lahan.
Belum selesai dengan sederet persoalan tersebut, petani juga harus dihadapkan pada keterbatasan faktor produksi yang penting, yakni ketersediaan pupuk, terutama pupuk bersubsidi. Pasalnya, pemerintah mengubah peraturan penyaluran pupuk bersubsidi bagi petani sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2022. Beleid tersebut secara spesifik mengatur tentang tata cara penetapan alokasi dan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi sektor pertanian.
Peraturan yang diundangkan pada 8 Juli 2022 itu menetapkan bahwa saat ini pemerintah hanya menyubsidi dua jenis pupuk, yakni urea dan NPK. Berbeda dengan peraturan sebelumnya ketika pemerintah juga memberikan subsidi pada pupuk jenis SP-36, ZA, dan organik.
Regulasi tersebut juga mengatur hanya ada sembilan komoditas utama yang menerima pupuk subsidi. Komoditas itu meliputi budidaya tanaman padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kakao, dan kopi. Pengurangan komoditas sangat berdampak bagi petani yang sebelumnya mendapat bantuan subsidi pupuk untuk 70 jenis tanaman.
Dengan pembatasan itu, praktis penyaluran subsidi pupuk secara total akan semakin berkurang. Secara statistik, realisasi penyaluran pupuk bersubsidi terus menyusut. Pada tahun 2018, penyaluran pupuk subsidi mencapai 9,3 juta ton, tetapi pada tahun 2021 turun menjadi 7,9 juta ton.
Penyebab pembatasan
Penurunan dan pembatasan tersebut selaras dengan kian terbatasnya anggaran subsidi pupuk dari pemerintah. Merujuk nota keuangan dan APBN 2021-2023, anggaran stagnan di angka Rp 25,3 triliun. Padahal, di tahun-tahun sebelumnya anggaran subsidi pupuk itu berada di kisaran Rp 28 triliun-Rp 29 triliun.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Ali Jamin menjelaskan, stagnasi anggaran tersebut menjadi salah satu dasar kebijakan pembatasan subsidi pupuk. Upaya tersebut ditempuh guna menjamin penyaluran pupuk bersubsidi tetap efektif dan efisien di tengah lonjakan harga pupuk secara global (Kompas.id, 16/7/2022).
Bank Dunia mencatat, kenaikan harga pupuk nonsubsidi global mencapai 30 persen pada tahun 2022. Peningkatan harga secara drastis bermula sejak Oktober-November 2021. Pupuk urea, misalnya, pada September 2021 harganya sekitar 418,75 dollar AS per metrik ton. Sebulan berikutnya harganya naik sebesar 65 persen dan terus melonjak hingga menembus angka 900,5 dollar AS per metrik ton.
Kenaikan harga gas alam di Eropa yang tinggi menyebabkan pengurangan produksi amonia secara luas, sekitar 70 persen. Padahal, amonia merupakan bahan baku paling penting untuk pupuk nitrogen, seperti Urea, ZA, dan NPK.
Memasuki tahun 2022, harga pupuk cenderung menurun. Namun, angin segar itu hanya sekejap lalu lenyap. Pada Februari 2022, genderang perang Rusia-Ukraina berbunyi yang berujung pada penurunan produksi pupuk dalam skala besar. Pasalnya, Rusia merupakan salah satu produsen utama pupuk dunia.
Akibatnya, harga pupuk global kembali merangkak naik. Harga pupuk Urea mencapai puncaknya pada April 2022 menjadi 925 dollar AS per metrik ton. Kenaikan tersebut diperparah oleh langkah China melakukan pemberhentian ekspor fosfat serta kelangkaan kalium di pasar global.
Tren kenaikan harga yang sama juga terjadi pada jenis pupuk lainnya, seperti diammonium phosphate (DAP), muriate of potash (MOP), dan triple superposphate (TSP). Sejak September 2022, harga pupuk global cenderung melandai. Namun, hingga sekarang masih di atas angka 300 dollar AS per metrik ton, di atas rata-rata sebelum gejolak global.
Gejolak harga pupuk dunia itu sudah pasti akan berimbas pada Indonesia. Pasalnya, sebagian bahan baku pupuk Indonesia berasal dari impor. Kenaikan dan kelangkaan bahan baku yang tidak dibarengi dengan kenaikan anggaran mengakibatkan turunnya jumlah unit pengadaan pupuk subsidi sekitar 1-2 juta ton setiap tahun.
Keterbatasan tersebut mendorong petani untuk memenuhi kebutuhannya dengan membeli pupuk nonsubsidi yang berharga lebih mahal. Sebagai contoh, petani di Grobogan, Jawa Tengah, harus mengeluarkan biaya dua kali lebih mahal untuk membayar pupuk nonsubsidi. Pasalnya, petani mau tidak mau harus membeli pupuk urea nonsubsidi dengan harga Rp 6.000 per kilogram untuk memenuhi kebutuhan pupuk yang tidak masuk kuota subsidi. Tiga kali lipat lebih mahal dari urea bersubsidi yang bisa didapatkan dengan harga Rp 180.000 per kuintal (Kompas.id, 27/9/2020).
Perhitungan tersebut berdasarkan kondisi tahun 2020 ketika belum ada pembatasan subsidi pupuk. Dapat dibayangkan betapa saat ini petani harus mengeluarkan modal lebih besar untuk memenuhi kebutuhan pupuknya mengingat kuota subsidi kian dibatasi dan harga pupuk nonsubsidi lebih mahal.
Alhasil, petani harus menanggung beban lebih berat. Target produksi digenjot untuk terus naik, sedangkan faktor produksi pentingnya, seperti pupuk, justru kian dibatasi dan dikurangi. Biaya produksi yang dikeluarkan petani menjadi lebih mahal tanpa ada kepastian akan memberikan keuntungan yang sepadan saat musim panen tiba. Pada saat bersamaan, cuaca tak menentu karena anomali iklim berdampak pada kekeringan ataupun banjir berpotensi besar menggagalkan produksi pangan.
Pupuk organik
Kendati pelik, kondisi tersebut justru membuka peluang bagi inovasi dan optimalisasi pemanfaatan pupuk organik di tengah harga pupuk kimia yang kian mahal dan terbatas. Gagasan ini sangat mungkin diimplementasikan di Indonesia. Pasalnya, negeri ini sangat kaya sumber daya alam yang dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk organik. Misalnya saja, sisa produksi sayuran dan ekskresi hewan.
Selain itu, pupuk organik juga bukan barang baru bagi Indonesia. Pemerintah sebelumnya mencanangkan Program 1.000 Desa Organik dalam Nawa Cita 2014-2019 masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Program ini diinisiasi guna mendukung kemandirian pangan dan ekonomi. Pembentukan desa organik ini juga merupakan upaya untuk memperbaiki budidaya pertanian yang selama ini bergantung pada bahan kimia yang sejatinya merusak lingkungan.
Sejumlah anggota Gabungan Kelompok Tani Sumber Makmur yang mengelola hutan lindung Batutegi, Lampung, menunjukkan pupuk organik cair hasil pembuatan secara bergotong royong, Jumat (15/9/2023).
Sebagai contoh adalah kerusakan ekologi pertanian dampak dari Revolusi Hijau yang digalakkan pemerintah pada era Orde Baru. Perlu diakui bahwa program tersebut memang cukup berhasil meningkatkan produktivitas pangan nasional. Bahkan, tahun 1984 Indonesia mendapatkan penghargaan dari Organisasi Pertanian dan Pangan (FAO) berupa medali ”Indonesia: From Rice Importer to Self Sufficiency”. Apresiasi tersebut diberikan lantaran Indonesia berhasil swasembada beras dengan angka produksi sebanyak 27 juta ton pada tahun tersebut.
Kendati demikian, di balik berbagai keberhasilan yang dicapai, ada dampak lain berupa degradasi lingkungan. Pasalnya, Revolusi Hijau yang berorientasi pada hasil produksi itu memaksimalkan penggunaan bibit hibrida unggulan dan mengandalkan pupuk kimia secara masif. Dalam jangka panjang, program itu menyebabkan degradasi alam karena tingkat kesuburan tanah kian menurun. Selain itu, juga menimbulkan ancaman bagi kesehatan karena paparan kimia ke tanaman dan lingkungan dapat berefek negatif bagi manusia ataupun organisme yang mengonsumsinya.
Dengan demikian, pengembangan dan pemanfaatan pupuk organik perlu ditingkatkan seiring dengan kian mahalnya pupuk kimia dan juga untuk mereduksi ekses negatif pupuk kimia bagi ekosistem. Walakin, dalam tahap awal penggunaan pupuk organik memang diperlukan penyesuaian. Dalam tahap awal, hasil dari penggunaan pupuk organik memang akan kalah dengan hasil pupuk kimia. Namun, dalam jangka panjang produksinya akan meningkat (Kompas.id, 13/10/2023).
Salah satu contoh kisah sukses penggunaan pupuk organik di Indonesia datang dari Tuban, Jawa Timur. Tidak murni pupuk organik memang, tetapi proporsinya lebih besar. Petani tanaman padi di Tuban mengombinasikan pupuk organik dan pupuk kimia dengan perbandingan 6:1. Hasilnya, produktivitas lahan meningkat dari semula hanya 7 ton per hektar menjadi 12 ton per hektar.
Jika praktik baik ini diaplikasikan di seluruh Nusantara, dapat dibayangkan betapa besarnya potensi peningkatan produksi pangan nasional. Medali swasembada pangan pun bukan mustahil dapat kembali dikalungkan di Indonesia.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penggunaan pupuk organik sangat memungkinkan dan sangat menjanjikan bagi peningkatan produksi pangan dalam jangka panjang. Selain berdampak positif bagi komoditas pangan, penggunaan pupuk organik ini juga dapat berkontribusi bagi kelestarian lingkungan. Dengan terjaganya alam, budidaya tanaman pangan dapat terus dioptimalkan sehinga ketahanan pangan dapat terjaga. (LITBANG KOMPAS)