Masih Timpangnya Distribusi Tenaga Kesehatan di Indonesia
Distribusi tenaga kesehatan belum merata, terutama di wilayah Indonesia timur. Dukungan fasilitas kesehatan masih minim.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F20%2F2438c9ec-1078-480c-a5de-94e15f0f2182_jpg.jpg)
Puskesmas Ustutun di Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku, Minggu (7/8/2022). Puskesmas di pulau terluar itu tidak memiliki dokter tetap.
Pembangunan sektor kesehatan berkaitan erat dengan ketersediaan tenaga medis di Indonesia. Jumlah tenaga kesehatan cenderung meningkat, tetapi distribusinya masih terkendala karena belum merata di seluruh Nusantara. Salah satu penyebabnya adalah ketimpangan tingkat kesejahteraan di sejumlah wilayah di Indonesia.
Wilayah geografis Indonesia yang luas dan jumlah penduduk yang besar memberikan tantangan berat bagi sektor kesehatan. Wilayah berupa kepulauan seluas 1,9 juta kilometer persegi dan jumlah penduduk 273,8 juta jiwa membuat Indonesia membutuhkan tenaga kesehatan yang sangat banyak.
Sebagai contoh adalah kebutuhan dan ketersediaan dokter umum. Jika berdasarkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebutkan rasio jumlah dokter umum dan penduduk adalah 1:1.000, idealnya Indonesia memiliki 278.700 dokter. Dibandingkan dengan negara lain, seperti Malaysia yang jumlah penduduknya hanya 32,7 juta jiwa, jumlah dokter yang idealnya tersedia di negara itu adalah 32.700 dokter, jauh lebih sedikit daripada kebutuhan di Indonesia.
Untuk saat ini, jumlah dokter umum di Indonesia baru 141.950 orang. Artinya, masih ada kekurangan sekitar 130.000 dokter apabila mengacu pada standar WHO. Meskipun masih kurang dari sisi jumlah ideal, kuantitas dokter saat ini telah mengalami peningkatan signifikan dari masa sebelumnya. Pada tahun 2018, jumlah dokter di Indonesia masih 118.300 orang, tetapi saat ini telah bertambah lebih dari 20.000 dokter dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Baca juga: Tenaga Medis Didayagunakan untuk Kejar Pemerataan

Namun, pertambahan jumlah tenaga medis, khususnya dokter, itu belum merata di semua daerah karena masih terpusat di wilayah tertentu saja. Jadi, tantangan penyediaan tenaga medis dokter ini tidak hanya sebatas ukuran kuantitas, tetapi juga penyebarannya. Fenomena ini menjadi tantangan yang berat bagi dunia kesehatan di Indonesia.
Lembaga Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dalam Buku Putih Pembangunan Sektor Kesehatan Indonesia 2024-2034: Merancang Masa Depan Kebijakan dan Pelayanan Kesehatan menguraikan, ketimpangan distribusi tenaga kesehatan di Indonesia menjadi problem paling signifikan saat ini. Ketimpangan distribusi tenaga medis ini menyebabkan sejumlah daerah kurang mendapatkan pelayanan kesehatan secara optimal. Bahkan, di daerah-daerah pelosok dan terpencil, tingkat pelayanan kesehatannya sangatlah minim.
Belum memenuhi standar
Krisis distribusi tenaga kesehatan di Indonesia tersebut dapat ditilik mulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama, yakni level puskesmas. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2021, masih ada 42,1 persen puskesmas yang belum memenuhi standar sumber daya tenaga kesehatan.
Idealnya, setiap puskesmas setidaknya memiliki sembilan jenis tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan itu terdiri dari dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga sanitasi lingkungan, ahli teknologi laboratorium medik, tenaga gizi, dan tenaga kefarmasian.
Masih banyak puskesmas yang belum memiliki pelayanan kesehatan optimal. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, 9,6 persen puskesmas masih kekurangan dokter, 32,4 persen kekurangan dokter gigi, 10,6 persen kekurangan perawat, dan 6,6 persen kekurangan bidan. Bahkan, masih ada 5 persen puskesmas yang belum memiliki tenaga dokter sama sekali.
Kondisi itu sangat memprihatinkan mengingat puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan masyarakat paling depan. Puskesmas yang ditetapkan harus ada di setiap kecamatan diharapkan menjadi fasilitas kesehatan paling mudah diakses masyarakat. Urgensi ini seharusnya juga diikuti penyediaan tenaga kesehatan, seperti dokter dan profesi kesehatan lain, secara memadai agar pelayanan kesehatannya optimal.
Secara geografis, sebagian besar wilayah Indonesia timur adalah daerah dengan jumlah tenaga kesehatan paling minim. Distribusi tenaga medis di kawasan ini belum merata dan sangat timpang dibandingkan dengan kawasan Indonesia lainnya.
Baca juga: Perlindungan untuk Tenaga Kesehatan
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F15%2F7d3589af-bd61-4f86-9878-b90e87309e91_jpg.jpg)
Kondisi Puskesmas Pembantu di Pulau Brasi, Kampung Mapia, Distrik Supiori Barat, Kabupaten Supiori, Papua, Selasa (12/9/2023).
Sepuluh daerah di Indonesia dengan tingkat pelayanan kesehatan di puskesmas belum memenuhi standar adalah Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Bengkulu. Bahkan, puskesmas di Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara yang memiliki sembilan jenis tenaga kesehatan sesuai standar pemerintah masih kurang dari 20 persen.
Kondisi paling parah terjadi di Papua karena hanya memiliki 8,6 persen puskesmas yang sesuai standar. Kondisi itu kontras dengan wilayah lain, seperti Jawa, di mana rata-rata lebih dari 50 persen puskesmas sudah dilengkapi dengan sembilan jenis tenaga kesehatan sesuai kriteria.
Selain penyediaan fasilitas kesehatan yang tidak lengkap, ketimpangan puskesmas di Indonesia timur itu juga terlihat dari jumlah dokter yang sangat minim. Wilayah Indonesia timur menempati peringkat teratas dalam hal kriteria puskesmas tanpa dokter.
Sepuluh daerah dengan persentase puskesmas tanpa dokter tertinggi di Indonesia adalah Papua, Maluku, Papua Barat, Malut, Sultra, Gorontalo, NTT, Sulbar, Kalteng, dan Sulteng. Kondisi paling parah terjadi di Papua, di mana 42,6 persen puskesmasnya tanpa dilayani dokter.
Kesejahteraan minim
CISDI dalam Buku Putih Pembangunan Sektor Kesehatan Indonesia 2024-2034: Merancang Masa Depan Kebijakan dan Pelayanan Kesehatan juga menyebutkan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan ketimpangan distribusi tenaga kesehatan di Indonesia, seperti upah minim, fasilitas kerja yang terbatas, lemahnya keamanan, ketidakpastian jenjang karier, dan kurangnya ketersediaan fasilitas pendidikan untuk keluarga.
Pada faktor upah dan karier, CISDI menemukan bahwa upah tenaga kesehatan di beberapa daerah berada di bawah rata-rata upah minimum regional. Dalam sejumlah diskusi yang dilakukan dengan beberapa ahli terkait tenaga kesehatan perawat, ditemukan bahwa upah yang diterima perawat sangat beragam, bahkan ada yang di bawah Rp 1 juta per bulan. Kasus ini ditemukan di daerah seperti Maros dan Ternate.
Besaran upah dan kondisi geografis umumnya juga menjadi pertimbangan tenaga kesehatan untuk memilih lokasi pelayanannya. Tusita Devi (28), dokter yang pernah mengabdi dalam program Nusantara Sehat periode XVIII di Puskesmas Mubrani, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, menceritakan pengalamannya terkait hal tersebut. Berdasar pengalamannya, upah tenaga medis yang termasuk program Nusantara Sehat dari Kementerian Kesehatan lebih rendah dibanding upah tenaga medis hasil perekrutan dinas kesehatan setempat. Sebenarnya hal itu tidak menjadi masalah apabila tenaga medis bisa memberikan pelayanan di beberapa lokasi sekaligus, seperti di perkotaan yang bisa memberikan layanan hingga di tiga tempat lokasi. Namun, di kawasan pedalaman, karena faktor geografis pelayanan hanya dapat dilakukan di satu titik saja sehingga upah atas pelayanan yang diberikan juga terbatas untuk satu lokasi saja.
Selain itu, status ketenagakerjaan juga menjadi variabel yang menyebabkan minimnya jumlah tenaga medis. Beberapa di antaranya merupakan pekerja kontrak dengan upah rendah yang belum mendapat kepastian tentang pengangkatan sebagai calon pegawai negeri sipil. Padahal, menjadi CPNS ini adalah harapan bagi mereka untuk mendapatkan upah lebih baik.
Baca juga: Penanganan Masalah Kesehatan di Papua Perlu Kolaborasi Multipihak

Ribuan tenaga kesehatan melakukan aksi penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat, Senin (8/5/2023).
Di sisi lain, faktor ketersediaan fasilitas kerja juga menjadi pertimbangan tenaga kesehatan untuk mau mengabdi di suatu daerah. Berdasarkan kisah seorang ahli, ada seorang dokter bedah saraf yang sudah mengabdi di Ternate selama dua tahun dan akhirnya berhenti, kemudian kembali ke Jakarta. Penyebabnya, peralatan CT-scan di sana sudah rusak selama empat bulan dan rumah sakitnya kekurangan dana untuk memperbaiki alat tersebut.
Tidak hanya itu, kondisi kehidupan personal kerap menjadi pertimbangan terbesar tenaga kesehatan untuk memilih tempat mengabdi. Tenaga kesehatan sangat mempertimbangkan ketersediaan fasilitas pendidikan yang berkualitas bagi keluarga sebagai faktor penting dalam menentukan pilihan pengabdiannya. Selain itu, akses transportasi juga menjadi pertimbangan tenaga kesehatan dalam meneruskan pelayanannya di daerah terpencil.
Berbagai alasan tersebut menunjukkan bahwa tantangan distribusi tenaga kesehatan di Indonesia sangatlah besar. Tidak hanya terkait jumlahnya yang masih sangat terbatas, tetapi juga jaminan terhadap tingkat kesejahteraan dan dukungan lingkungan kerja beserta fasilitas penunjangnya yang masih minim dan tidak merata di semua daerah.
Meskipun profesi tenaga kesehatan merupakan pekerjaan yang terikat janji untuk memberi pelayanan kesehatan dan kemanusiaan, bagaimanapun kesejahteraan tetap menjadi pertimbangan utama. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan distribusi tenaga kesehatan perlu juga diikuti kepastian kesejahteraan dan dukungan fasilitas di lingkungan pekerjaannya.
Hal itu menjadi persoalan mendasar yang harus segera ditemukan solusi terbaiknya di setiap wilayah di Indonesia. Tanpa dukungan yang memadai ini, niscaya bertambahnya jumlah pekerja medis tidak akan berdampak signifikan bagi pemerataan tenaga kesehatan di Indonesia. (LITBANG KOMPAS)