Dalam Satu Jam, 15 Orang Meninggal di Gaza
Jumlah korban tewas mencapai 11.697 orang di Palestina dan 1.200 di Israel sejak konflik meletus pada 7 Oktober 2023.

Korban konflik Israel-Hamas terus bertambah tiap hitungan jam. Fasilitas pendidikan, rumah sakit, dan rumah ibadah di Gaza tidak luput dari serangan bertubi-tubi tentara Israel. Perpanjangan durasi jeda kemanusiaan jadi opsi sementara.
Lusinan orang tewas dan terluka setelah angkatan udara Israel mengebom sekolah Al-Fakhoora. Pada hari yang sama, tempat perlindungan lain di Tal al-Zaatar tidak luput dari serangan udara tentara Israel. Sejumlah sekolah yang dikelola PBB di bagian utara Gaza yang masih bisa dihuni kini dipenuhi oleh pengungsi yang berdesakan.
Berdasarkan kantor media pemerintah di Gaza, hingga 16 November 2023, jumlah korban tewas mencapai 11.697 orang, termasuk di antaranya 4.710 anak-anak dan 3.160 perempuan. Selain itu, jumlah korban yang mengalami luka-luka hingga 29.800 orang, 70 persen terdiri dari anak-anak dan perempuan. Jumlah pengungsi mencapai 1,7 juta orang di Gaza.
Jumlah itu kemungkinan akan terus bertambah karena layanan medis dan komunikasi di kota Gaza telah terputus sejak 10 November 2023. Imbasnya, Kementerian Kesehatan di Gaza belum memperbarui data jumlah korban sejauh ini. Begitu pula dengan jumlah pengungsi yang berdiam di tenda perlindungan sementara.
Dalam laporannya yang diperbarui secara berkala, kantor berita Al Jazeera menghitung bahwa 15 orang meninggal (di antaranya 6 anak-anak) di Gaza tiap jamnya.
Kasarnya, dalam satu hari jumlah korban meninggal bisa mencapai 360 orang, termasuk 144 anak-anak. Dalam hitungan jam pula, terdapat 35 orang mengalami luka-luka, 42 bom mendarat di wilayah Gaza, dan 12 bangunan hancur menjadi puing-puing.
Permukiman penduduk menjadi sasaran utama serangan udara dan hingga saat ini lebih dari 222.000 rumah terdampak dan 54.000 rumah telah rata dengan tanah. Mirisnya, serangan tentara Israel juga mengincar sejumlah obyek vital, seperti sekolah (300 unit), rumah ibadah (167 unit), dan rumah sakit (26 unit), yang kini mengalami rusak berat hingga runtuh.

Hingga kini belum ada keterangan dari Israel terkait serangan yang sejatinya melanggar hukum humaniter internasional (IHL) yang melindungi rumah sakit beserta pekerja kesehatan di dalamnya.
Bahkan, dalam seminggu terakhir, serangan darat tentara Israel ke Gaza disebut oleh para pengamat sebagai ”perang terhadap rumah sakit” (war on hospitals). Misalnya yang terjadi pada Rabu, 15 November 2023, pagi hari, tentara Israel menyerbu Rumah Sakit Al-Shifa (RS terbesar di Gaza) setelah mengepungnya selama beberapa hari. Para tentara menyebar di area kompleks rumah sakit dan lingkungan sekitarnya sehingga mengakibatkan sedikitnya 40 orang tewas di rumah sakit tersebut.
Sementara itu, para pasien dan tenaga kesehatan terus berjibaku bertahan di bangunan-bangunan fasilitas kesehatan yang masih tersisa. Sukarelawan kesehatan melaporkan bahwa rumah sakit sudah di ambang kehancuran karena pembangkit listrik pun terpaksa berhenti beroperasi karena kehabisan bahan bakar.
Komite Palang Merah Internasional (ICRC) mengatakan, rumah sakit di Gaza ”berisiko berubah menjadi kamar mayat” ketika warga sipil yang terluka parah (termasuk bayi) dilarikan ke bangsal yang penuh sesak dengan kondisi tempat tidur dan persediaan medis hampir habis.
Baca juga: Perkara Boikot dan Dukungan untuk Palestina
Kejahatan perang
Serangan tentara Israel ke bangunan-bangunan rumah sakit dan ambulans telah mengundang perdebatan sebagai bentuk kejahatan perang. Hancurnya RS Al-Shifa dan serbuan Israel yang menewaskan banyak tenaga medis pada minggu lalu menjadi salah satu contoh kasus yang disorot dunia.
Dalam kanal pemberitaan internasional, perwakilan tentara Israel bersikeras menyatakan bahwa Brigade Al Qassam (Hamas) memiliki pusat komando bawah tanah atau fasilitas lain di bawah beberapa rumah sakit di Gaza. Tentara Israel menunjukkan rekaman video yang memperlihatkan adanya akses lorong bawah tanah di bangunan rumah sakit setelah penyerbuan usai. Tudingan tersebut langsung dibantah keras oleh pihak Hamas.
Merujuk pada IHL, tertuliskan bahwa mereka yang terluka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat oleh pihak yang berkonflik. Personel medis, fasilitas medis, dan kendaraan tidak boleh diserang. Personel yang mengenakan lambang khas Palang Merah, Bulan Sabit Merah, atau Kristal Merah dengan latar belakang putih, serta fasilitas dan kendaraan yang berlambang tersebut harus dihormati.
Meski begitu, ada klausul yang tertulis bahwa fasilitas medis atau rumah sakit akan kehilangan status perlindungannya jika digunakan untuk tujuan militer. Itulah sebabnya tentara Israel melakukan pengeboman udara dan menyerbu rumah-rumah sakit karena mendapatkan informasi adanya markas bawah tanah tentara Hamas yang dibangun di bawah bangunan-bangunan medis tersebut.
Dugaan tentara Israel juga mendapat keraguan dari para pengamat karena serangan ke RS Al-Shifa adalah bagian dari agenda pengepungan terhadap gerak tentara Hamas. Dari analisis citra satelit, tentara Israel terlihat menyerang dalam tiga kelompok.

Sejumlah anak Palestina ditemani oleh ibu atau kerabat mereka tiba di Rumah Sakit Al-Shifa di kota Gaza, Senin (16/10/2023).
Dua kelompok bergerak dalam kekuatan yang lebih kurang sama, berisi 200 hingga 300 kendaraan militer dan maju di sepanjang sumbu utama serangan. Salah satu kelompok melaju ke selatan (dari arah Israel) di sepanjang pantai untuk mencapai Jabalia yang kini menjadi kamp pengungsi terbesar di Gaza. Gerakan kelompok ini diperluas hingga ke perbatasan kamp pengungsi Al-Shati.
Kemudian kelompok lainnya bergerak melintasi jalur selatan kota Gaza hingga ke daerah sepanjang pantai. Kelompok inilah yang maju ke area kompleks RS al-Shifa dan menyerbu ke dalamnya. Sementara itu, kelompok ketiga yang jumlah personelnya lebih sedikit, bergerak dari pos pemeriksaan Erez menuju Beit Hanoon. Tujuannya, mencegah pergerakan Hamas di daerah sayap.
Kontroversi terhadap aksi serangan tentara Israel ke RS Al-Shifa nyatanya tidak menemukan titik terang. Sejumlah video yang dirilis ke media menunjukkan bahwa para pejuang Palestina memilih taktik yang sesuai dengan situasi di lapangan.
Mereka menghindari pertempuran di medan terbuka di mana peluang mereka kecil dan mencoba menghemat kekuatan untuk fase berikutnya. Ketika tentara Israel bergerak ke jalan-jalan sempit di daerah perkotaan yang padat, tentara Hamas akan dapat memanfaatkan medan tersebut untuk keuntungan mereka, dengan menggunakan terowongan dan bangunan yang rusak atau sebagian besar kosong.
Baca juga: Krisis Gaza dan Upaya Netanyahu Amankan Kekuasaan
Jeda kemanusiaan
Di tingkat internasional, Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan resolusi yang menyerukan ”jeda dan koridor kemanusiaan yang mendesak dan diperpanjang di seluruh Jalur Gaza” untuk memungkinkan pengiriman bantuan dan evakuasi medis. Resolusi tersebut ditolak oleh Israel.
Resolusi tersebut menyerukan jeda kemanusiaan dan koridor di seluruh Jalur Gaza dengan jumlah hari yang memadai bagi PBB, Palang Merah, dan kelompok bantuan lainnya untuk mengakses air, listrik, bahan bakar, makanan, dan pasokan medis.
Jeda tersebut juga harus memungkinkan perbaikan infrastruktur penting dan upaya penyelamatan serta pemulihan yang mendesak. Namun, Duta Besar Israel untuk PBB Gilad Erdan yang menyatakan bahwa resolusi tersebut tidak sesuai dengan kenyataan dan tidak ada artinya karena DK PBB tidak mengeluarkan pernyataan yang mengecam tindakan Hamas.
Terlepas dari penolakan Israel, jeda kemanusiaan hanya terjadi sementara dan setelah waktunya usai, pertempuran yang menewaskan warga sipil kembali terjadi.
Resolusi yang dibutuhkan sesungguhnya adalah gencatan senjata dan perundingan damai dari kedua belah pihak. Jika resolusi yang ada sejauh ini hanya sebatas ”jeda”, tidak menutup kemungkinan bahwa korban makin bertambah dan konflik Gaza akan terus berlarut-larut. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Gelombang Demonstrasi Dunia dan Upaya Mewujudkan Perdamaian di Gaza