Pemahaman dan penerimaan terhadap anak berkebutuhan khusus harus dimulai dari lingkup keluarga terdekat terlebih dahulu.
Oleh
YOHANES MEGA HENDARTO
·5 menit baca
Tidak ada seorang pun di dunia yang menghendaki terlahir dengan keterbatasan fisik, mental, dan sosial. Namun, bagi anak berkebutuhan khusus atau disabilitas, kondisi itu sudah sejak semula mereka terima. Peran keluarga, masyarakat, dan pemerintah sangat diperlukan untuk memfasilitasi aktivitas keseharian mereka.
Dalam laman Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) disebutkan bahwa Asia Timur dan Pasifik adalah rumah bagi 43,1 juta anak penyandang disabilitas. Kawasan ini menempati urutan kedua di dunia setelah Asia Selatan dengan 64,4 juta anak penyandang disabilitas. Untuk konteks Indonesia, perkiraan persentase dan jumlah anak berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas tampaknya belum menggambarkan situasi yang sebenarnya jika dibandingkan dengan situasi pada level regional dan global.
Hasil kajian dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pun tampaknya belum maksimal memperhatikan persoalan anak disabilitas. Pendataan anak berkebutuhan khusus terakhir diperbarui pada 2019, sedangkan pada laporan Profil Anak Indonesia 2021 (termutakhir di laman KPPPA), pembahasan anak disabilitas justru tidak ada.
Luputnya pendataan berkala dari lembaga pemerintah itu dapat menjadi salah satu indikasi persoalan anak berkebutuhan khusus kurang diprioritaskan di tataran nasional. Tak begitu mengherankan apabila masyarakat pun menjadi kurang memahami anak disabilitas secara utuh. Kurangnya pemahaman publik ini terungkap dari hasil jajak pendapat Kompas pada 16-18 Oktober 2023 yang diikuti 512 responden.
Merujuk pada Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 4 Tahun 2017, anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan sensorik dalam jangka waktu lama. Namun, publik masih sangat terbatas dalam memahami definisi tersebut.
Tidak sampai sepertiga responden (22,7 persen) yang memahami bahwa ABK merupakan anak yang terlahir dengan kondisi keterbatasan fisik, emosional, dan sosial. Pemahaman publik masih terbilang sempit dengan hanya mendefinisikan anak berkebutuhan khusus sebagai anak yang memiliki keterbatasan fisik (17,4 persen), keterbatasan mental (15,2 persen), atau anak yang memerlukan perhatian khusus (14,2 persen).
Kurangnya pemahaman publik tersebut berimbas pada perkara stigma yang kerap dilekatkan kepada anak disabilitas. Masih ada responden yang menganggap anak disabilitas disebabkan oleh takdir Tuhan atau hal supranatural. Meski demikian, hampir setengah responden sudah memahami bahwa anak terlahir dengan kondisi itu disebabkan kurangnya gizi atau gangguan kesehatan saat dalam kandungan.
Stigmatisasi kepada anak berkebutuhan khusus masih menjadi persoalan di tataran masyarakat, tidak terkecuali di lingkup pergaulan antar-anak seusianya. Kasus perundungan anak berkebutuhan khusus yang terjadi di Balikpapan, Kalimantan Timur, pada awal Oktober 2023 patut menjadi alarm segenap pihak. Ironisnya, anak itu dirundung oleh teman seumurannya karena hal sepele.
Bahkan, tindakan diskriminatif tak hanya dialami anak berkebutuhan khusus secara langsung, tetapi juga lembaga atau yayasan yang menaungi anak-anak ini. Yayasan Ananda Mutiara Indonesia (Y-AMI) di Sidoarjo, Jawa Timur, misalnya, kerap ditegur warga sekitar karena keberadaannya dinilai mengganggu lingkungan. Apa pun bentuk stigma dan diskriminasi yang dialami anak berkebutuhan khusus, semuanya berakar dari kurangnya pemahaman publik terkait fenomena ini.
Lingkup keluarga
Sebelum beralih jauh pada pandangan masyarakat, keluarga menjadi pranata sosial terkecil yang berinteraksi langsung dengan anak kebutuhan khusus sejak dilahirkan. Pemahaman menyeluruh dan penerimaan terhadap anak dengan karakter khusus itu pun harus dimulai dari orangtua, saudara, dan kerabat. Lingkup inilah yang pertama-tama perlu diperhatikan.
Dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas, setengah responden mengaku memiliki anak berkebutuhan khusus dalam keluarga inti mereka ataupun mengenal dari tetangga serta teman yang juga membesarkan anak tersebut dalam keluarga masing-masing. Sayangnya, dari pengakuan responden itu, hanya 51 persen yang merasa orangtua dan keluarga sudah memahami cara merawat anak berkebutuhan khusus atau disabilitas.
Pemahaman di lingkup keluarga ini diwujudkan dengan merawat atau memenuhi kebutuhan dasar, menyekolahkan di sekolah khusus, atau mengikutsertakan anaknya pada kegiatan non-akademis (olahraga, seni, dan sebagainya). Meski demikian, pemahaman orangtua dan anggota keluarga lainnya untuk merawat anak berkebutuhan khusus masih perlu menjadi perhatian lebih lanjut. Masih ada keluarga yang dinilai responden belum memperlakukan anaknya dengan baik (12,9 persen).
Ditelusuri lebih dalam lagi, ditemukan hanya 18,6 persen responden yang mengatakan bahwa anak tersebut rutin diberikan terapi medis. Padahal, pemberian terapi medis ini menjadi salah satu jalan agar anak disabilitas dapat pulih atau setidaknya terbantu dalam mengatasi keterbatasannya. Ada dua asumsi yang temukan terkait minimnya perawatan medis secara rutin kepada anak berkebutuhan khusus.
Pertama, pihak orangtua atau keluarga belum memiliki pemahaman menyeluruh bahwa anak berkebutuhan khusus itu terkait erat dengan persoalan medis. Jadi, sangat diperlukan perawatan kesehatan, seperti terapi atau pemeriksaan medis secara berkala. Tanpa pemahaman yang baik, perawatan dari sisi medis tak menjadi prioritas utama.
Kedua, tidak dapat dimungkiri bahwa minimnya penanganan medis juga terkait dengan kondisi ekonomi ataupun akses orangtua atau keluarga bersangkutan terhadap fasilitas kesehatan. Hal inilah yang dialami Riski (16 tahun), anak dari pasangan Syahrul (54 tahun) dan Epy (27 tahun), warga Simpang Wae, Aceh, yang hidup dalam kondisi ekonomi sulit. Syahrul, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang parkir, menuturkan, dirinya tak dapat lagi mengantar Riski ke rumah sakit karena tidak memiliki kursi roda dan tak ada biaya untuk transportasi.
Kondisi yang dialami keluarga Riski menjadi contoh persoalan kurangnya kemampuan ekonomi dan sulitnya akses terhadap fasilitas kesehatan yang dialami keluarga dengan anak berkebutuhan khusus. Tentu saja masih banyak keluarga anak disabilitas lain yang mengalami hal serupa. Di sinilah peranan pemerintah dan warga negara sangat penting untuk proaktif mengulurkan bantuan bagi kelompok masyarakat seperti ini.
Dukungan
Sebelum sampai pada sikap proaktif tersebut, penerimaan publik terhadap anak berkebutuhan khusus perlu untuk dicermati kembali. Dari jajak pendapat yang sama, enam dari sepuluh responden merasa masyarakat sudah dapat sepenuhnya menerima kehadiran anak disabilitas di lingkungan mereka. Namun, hampir sepertiga masih merasa masyarakat belum sepenuhnya menerima.
Terkait tindakan pemerintah, publik memandang bahwa anak berkebutuhan khusus selama ini sudah mendapatkan dana sekolah, bantuan terapi medis atau pengobatan, dan alat pendukung untuk aktivitas sehari-hari. Meskipun demikian, 21,3 responden lain memandang tidak ada bantuan atau pelayanan khusus yang diberikan pemerintah kepada anak disabilitas.
Oleh sebab itu, bantuan dana serta terapi pengobatan menjadi dua hal yang dipandang publik masih perlu dijadikan prioritas dukungan dari pemerintah bagi anak-anak tersebut. Hanya, perihal akses atau fasilitas khusus bagi kaum disabilitas masih luput dari jawaban responden. Perlu diakui bahwa fasilitas khusus bagi kaum disabilitas di Indonesia saat ini masih terbatas hadir di kota-kota besar.
Terlepas dari itu semua, perhatian besar perlu dikembalikan pada perlunya pemahaman menyeluruh di tataran masyarakat kepada anak berkebutuhan khusus. Pemahaman itu dimulai dari pengidentifikasian hal yang dibutuhkan hingga perawatan yang sesuai dengan karakteristik khusus masing-masing. Sebab, tanpa adanya pemahaman, mustahil seseorang dapat mencapai sikap penerimaan, apalagi keberpihakan. (LITBANG KOMPAS)