Menjaga Stabilitas Konsumsi Domestik di Tahun Politik
Konsumsi rumah tangga dan lembaga non-profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) tumbuh positif di tengah tahun politik sehingga memberi dampak pada kemajuan perekonomian nasional.
Belanja masyarakat masih menjadi penggerak utama ekonomi Indonesia dengan populasinya yang besar. Di tengah gejolak dunia yang penuh ketidakpastian, optimalisasi belanja domestik menjadi keniscayaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Tahun politik saat ini menjadi salah satu momentum untuk mengungkit potensi ekonomi tersebut.
Pekan ini Badan Pusat Statistik merilis laporan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III-2023. Hasilnya sedikit meleset dari yang diproyeksikan pemerintah. Dibandingkan triwulan yang sama tahun lalu, ekonomi Indonesia tumbuh 4,94 persen. Melambat dari triwulan sebelumnya yang menembus angka 5,17 persen. Padahal, pada Agustus 2023, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan optimismenya bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan III diproyeksikan tak beda jauh dengan triwulan II.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Perlambatan tersebut tak lain sebagai dampak dari kondisi global yang hingga kini masih diselimuti ketidakpastian. Indikasi tersebut tampak dari terjunnya kinerja ekspor barang yang juga menjadi salah satu kontributor utama ekonomi beberapa waktu terakhir. Tak hanya melambat, tetapi juga tumbuh minus 4,26 persen. Kontraksi tersebut melanjutkan tren triwulan sebelumnya yang juga anjlok di angka -2,97 persen.
Berlanjutnya penurunan kinerja ekspor tak lepas dari perlambatan ekonomi sejumlah negara yang menjadi mitra dagang utama Indonesia. China, misalnya, laju ekonominya melambat menjadi 4,9 persen setelah sebelumnya tumbuh impresif 6,3 persen. Begitu halnya Jepang dan India yang juga mengalami kelesuan ekonomi sehingga tumbuh melambat. Faktor lain pendorong penyebab perlambatan ekonomi Indonesia adalah kontraksi konsumsi pemerintah sebesar 3,76 persen.
Konsumsi rumah tangga
Meskipun sejumlah komponen pengeluaran mengalami kontaksi, komponen utama pendorong pertumbuhan ekonomi nasional tetap tumbuh positif. Konsumsi rumah tangga, misalnya, tumbuh 5,06 persen secara tahunan yang ditopang oleh stabilitas tingkat inflasi. Dibandingkan triwulan sebelumnya, komponen penyumbang utama ekonomi nasional ini tengah mengalami perlambatan sekitar 0,16 persen. Pasalnya, konsumsi rumah tangga telah mencapai puncaknya pada triwulan II bersamaan dengan perayaan Idul Fitri.
Kendati demikian, triwulan berikutnya konsumsi rumah tangga berpotensi kembali meningkat didorong oleh kegiatan Natal dan Tahun Baru. Momentum akhir tahun ini biasanya dirayakan oleh masyarakat dengan berlibur dan kegiatan belanja lainnya sehingga potensi perputaran ekonominya lebih besar.
Selain itu, pelaksanaan pemilu juga semakin dekat. Ragam kegiatannya menjadi daya dongkrak tersendiri bagi perekonomian, khususnya konsumsi rumah tangga. Potensi ini tak lepas dari besarnya dana pemilu yang digelontorkan pemerintah dan juga anggaran partai berikut para kontestan politik dalam meraih dukungan publik.
Pesta demokrasi itu membutuhkan keterlibatan ribuan hingga jutaan orang untuk segala proses penyelenggaraan dari pendaftaran, kampanye, hingga pelaksanaan pemilihan. Bukan hanya di pusat, melainkan juga ke seluruh pelosok negeri. Anggaran pemilu sebagian dipersiapkan untuk honor bagi seluruh penduduk yang terlipat dalam kepengurusan.
Pun demikian anggaran yang dipersiapkan partai ataupun para kontestan politik juga digunakan untuk berbagai keperluan mulai dari kampanye, sewa gedung atau tempat untuk berorasi, pemasangan reklame publikasi, hingga mencetak kaus untuk keperluan sosialisasi tokoh. Dari sinilah ekonomi masyarakat berpotensi meningkat. Muncul sejumlah alokasi belanja untuk keperluaan mendulang suara demi kemenangan kontestasi politik.
Sebagaimana yang terjadi pada pemilu beberapa periode sebelumnya, pemilu pada April 2019, misalnya, laju pertumbuhan sektor rumah tangga saat itu relatif lebih baik jelang pemilu. Tepatnya sejak triwulan IV-2018 hingga puncaknya pada triwulan II-2019 ketika pelaksaan pemilu. Fenomena serupa juga terjadi pada tahun 2014 dan 2009. Laporan Bank Indonesia menyebutkan, konsumsi rumah tangga saat itu tumbuh solid terdorong oleh aktivitas penyelenggaraan pesta demokrasi.
Hal tersebut sejalan dengan temuan penelitian sebelumnya oleh Dartanto (2013) yang menyatakan bahwa pemilu mampu mendorong peningkatan konsumsi masyarakat sekitar 1,75 persen. Temuan ini sedikit berbeda dengan hasil kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang mengukur dampak pemilu 2014 terhadap indikator makro ekonomi pada satuan waktu tahunan dan kuartalan.
Hasil estimasi tahunan menunjukkan bahwa pemilu tidak ada kaitan signifikan pada konsumsi. Namun, dalam penghitungan kuartalan, pemilu hanya signifikan memberi dampak pada kuartal saat pemilu itu berlangsung. Misalnya Pemilu 2014 dilaksanakan pada April sehingga konsumsi masyarakat yang terdampak hanya pada kuartal pertama dan tidak berlaku untuk kuartal sebelum dan sesudahnya.
Terlepas dari kapan waktu pelaksanaan pemilunya, sejarah mencatat bahwa sedikit-banyak agenda pemilu itu turut mengerek kinerja konsumsi masyarakat. Hal ini penting bagi perekonomian lantaran lebih dari separuh PDB nasional berasal dari peran konsumsi rumah tangga. Jadi, berapa pun nilai peningkatan konsumsi rumah tangga akan turut mendongkrak perekonomian secara nasional.
Kekuatan domestik
Ekspansi ekonomi nasional di tahun politik tersebut bukan hanya disokong konsumsi rumah tangga, tetapi juga komponen ekonomi domestik lainnya. Salah satunya adalah lembaga non-profit yang melayani rumah tangga (LNPRT). Kelompok pengeluaran ini berasal dari organisasi sosial yang menyediakan barang dan jasa secara gratis atau lebih murah untuk masyarakat.
BPS mencatat, lembaga non-pemerintah itu tercatat tumbuh lebih mengesankan di tahun politik, baik sebelum maupun saat pemilu. Sebagai contoh pemilu periode 2019. Memasuki triwulan IV-2018, laju pertumbuhan LNPRT menyentuh level dua digit, padahal triwulan sebelumnya masih di angka 8,66 persen. Bahkan, hingga triwulan II-2019 laju pertumbuhannya masih mencapai 15,28 persen.
Tingginya laju pertumbuhan tersebut didorong oleh rangkaian kegiatan pemilu, seperti kampanye, mobilisasi, dan penyewaan akomodasi untuk konsolidasi tim pemenangan. Dalam konteks Pemilu 2024, euforia tersebut sudah mulai terekam dari saat ini. Pertumbuhan LNPRT tahun ini rata-rata di angka 7 persen, lebih tinggi dari tahun lalu. Dengan kata lain, ekonomi swasta mulai bergerak seiring mesin politik yang mulai dipanaskan.
Bahkan, pada triwulan III tahun ini, laju pertumbuhan LNPRT paling tinggi di antara semua komponen PDB pengeluaran kendati melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Sejumlah pakar memang menyebutkan bahwa pemilu biasanya akan berdampak lebih besar pada LNPRT ketika kampanye resmi sudah dijalankan, hingga tanggal pemilihan seperti yang terjadi pada tahun 2019 silam. Melihat proporsinya, sumbangan LNPRT memang tidak terlalu besar, hanya di kisaran 1,05-1,34 persen. Namun, pergerakan yang masif pada komponen tersebut turut memberi andil pada perekonomian keseluruhan.
Biasanya tahun pemilu juga akan mendorong laju positif dan cukup tinggi pada konsumsi pemerintah. Pasalnya, pesta demokrasi ini merupakan salah satu ”hajatan” terbesar pemerintah setiap lima tahunan. Jadi, dapat dipastikan belanja dari pemerintah pun akan meningkat cukup besar. Untuk pemilu tahun depan, pemerintah menganggarkan biaya sebesar Rp 71,3 triliun. Dari sinilah salah satu sumber dana yang mendorong pergerakan ekonomi rumah tangga.
Kombinasi ketiga komponen tersebut cukup menjelaskan bahwa ekonomi domestik dan tahun politik saling berkaitan. Potensi peningkatan nilai tambah atas dorongan penyelenggaraan pemilu menjadi bekal untuk memupuk harapan bahwa ekonomi triwulan berikutnya bisa tumbuh lebih baik. Potensi ini perlu dijaga dan dilanjutkan trennya mengingat beberapa tahun terakhir ekonomi dunia masih bergejolak dan penuh ketidakpastian.
Ekonomi domestik tersebut akan semakin diandalkan seiring dengan proporsinya yang kian dominan. Hal ini terindikasi dari kian menyusutnya peranan ekspor dalam struktur PDB Indonesia. Jika dua dekade silam ekspor menyumbang 31 persen pada perekonomian, kini hanya tersisa sekitar 23 persen. Bagi negara yang berupaya menjaga tingkat stabilitas daya beli masyarakat, besarnya devisa negara dari transaksi ekspor sangat krusial peranannya. Penurunan proporsi ekspor tentu saja menjadi tantangan yang berat bagi upaya menjaga stabilitas perekonomian makro nasional.
Oleh sebab itu, salah satu upaya menjaga kemajuan makro ekonomi tersebut, proporsi belanja ekonomi domestik perlu didorong untuk terus meningkat. Apalagi, belanja domestik ini sudah terbukti ketangguhannya dalam menghadapi berbagai turbulensi ekonomi dunia yang penuh ketidakpastian. Dengan kata lain, ekonomi domestik menjadi salah satu harapan untuk mempertahankan dan memperbaiki kinerja perekonomian nasional. Tahun politik ini dapat dijadikan momentum untuk kembali menggenjot ekonomi domestik menjadi lebih bergairah. (Litbang Kompas)