27 Hari Paling Mematikan di Gaza
Konflik bersenjata di Gaza, dengan rasio 6:1 korban tewas untuk Palestina dan Israel. Serangan Israel menghancurkan pengungsian, rumah sakit, gereja, serta memakan korban anak-anak dan perempuan.
Konflik bersenjata antara Hamas dan Israel memasuki hari ke-27 pada 2 November 2023. Eskalasi perang berkembang semakin sengit karena masing-masing pihak merasa memiliki legitimasi untuk terus melancarkan serangan. Keselamatan 2,3 juta warga sipil Gaza kian terancam.
Pihak Israel menekankan bahwa tindakannya merupakan aksi balasan atas serangan yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober 2023. Sebaliknya, Hamas bersikeras bahwa serangan kejutan yang dilancarkan pada Sabtu pagi hari itu merupakan pembalasan atas segala macam bentuk kekerasan dan ketidakadilan Israel terhadap warga Palestina selama bertahun-tahun.
Terlepas dari alasan yang dipakai oleh kedua pihak, hal yang pasti konflik bersenjata itu telah menyebabkan ribuan nyawa hilang dan jutaan orang lainnya menderita. Berdasarkan data Kantor PBB untuk Urusan Kemanusiaan (OCHA), perang kali ini merupakan yang paling mematikan di wilayah itu setidaknya pada 50 tahun terakhir.
Hingga 2 November 2023, total jumlah korban kedua belah pihak mencapai 41.234 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 25,7 persen, 10.593 jiwa, merupakan korban tewas dan 30.541 orang, 74,3 persen, adalah korban luka-luka.
Perang tersebut memberikan dampak lebih besar kepada Palestina ketimbang Israel. Hal ini tampak dari proporsi jumlah korban meninggal dan luka yang tidak seimbang. Setidaknya 86,8 persen korban tewas dan 82,2 persen korban luka merupakan warga Palestina. Dengan kata lain, rasio korban pihak Palestina dengan Israel enam banding satu (6:1) untuk korban tewas dan empat banding satu (4:1) untuk korban luka.
Baca juga: Membuka Mata Dunia pada Ancaman Kemanusiaan di Palestina
Ketidakseimbangan jatuhnya korban juga dapat dilihat dari tingkat rata-rata korban harian selama 7 Oktober-2 November. Di pihak Palestina, secara rata-rata terdapat setidaknya 336 korban jiwa dan 849 korban luka setiap harinya. Di sisi Israel, rata-rata korban per hari adalah 52 korban jiwa dan 202 korban luka.
Ketika dilihat secara lebih detail, jumlah korban Israel sebagian besar terdapat dalam dua minggu awal peperangan dan cenderung stagnan sejak hari ke-17. Sebaliknya, korban di pihak Palestina selalu relatif tinggi. Hari paling kelam bagi warga Palestina sejauh ini terjadi pada 24-25 Oktober 2023, saat 1.460 warga Gaza meninggal hanya dalam waktu 48 jam. Jumlah ini mencakup 17,1 persen dari total korban tewas warga Palestina di Gaza.
Serangan udara
Jumlah korban tewas dari pihak Palestina besar karena serangan militer Israel dilancarkan dalam skala sangat masif. Menurut laporan dari The Armed Conflict Location & Event Data Project (ACLED), hingga 29 Oktober, Israel telah menembakkan lebih dari 8.000 amunisi bom ke Jalur Gaza. Di rata-rata dengan luas wilayah Palestina yang seluas 365 km persegi, setiap kilometer persegi di Jalur Gaza dijatuhi sedikitnya 22 amunisi berpeledak.
Selain itu, serangan udara yang dilancarkan Israel ke Jalur Gaza juga sangat intensif. ACLED mencatat setidaknya terjadi 600 serangan udara di 54 lokasi di Gaza. Jumlah ini dilaporkan sebagai serangan udara paling tinggi dalam satu bulan di wilayah Timur Tengah sejak tahun 2020.
Sebagian besar serangan menyasar wilayah sekitar kota Gaza di bagian utara. Wilayah tersebut memang menjadi target utama Israel karena disinyalir sebagai basis pertahanan Hamas. Intensitas serangan Israel di bagian utara Gaza ini menyebabkan 63,8 persen korban tewas Palestina di wilayah ini.
Baca juga: Perang Asimetris Hamas Vs Israel
Selain wilayah tersebut, berdasarkan pemetaan dari ACLED, Israel juga tampak melakukan serangan udara dalam jumlah besar di bagian lain Gaza, di antaranya wilayah Deir al-Balah di bagian tengah, daerah Khan Yunis, dan Rafah di selatan. Padahal, tempat-tempat tersebut padat dengan pengungsi yang melarikan diri dari utara Jalur Gaza.
Serangan tersebut menyebabkan kamp-kamp pengungsian yang tersebar di sejumlah lokasi itu berada dalam ancaman serius. Salah satu ancaman yang menjadi kenyataan terjadi pada 31 Oktober ketika kamp pengungsi Jabaila terkena serangan udara.
OCHA melaporkan, setidaknya salah satu kamp tersebut luluh lantak. Korban tewas dalam serangan diperkirakan 50 orang dan dapat bertambah karena masih banyak pengungsi yang terjebak dalam reruntuhan puing.
Anak-anak dan perempuan
Serangan udara Israel itu menyebabkan ada banyak korban anak-anak dan perempuan. Dari total korban tewas Palestina di Gaza, sebanyak 41,5 persen atau 3.760 jiwa adalah anak-anak. Selanjutnya, 25,6 persen atau 2.326 jiwa lainnya adalah perempuan. Dengan demikian, sekitar tujuh dari sepuluh korban tewas Palestina di Gaza adalah anak-anak dan perempuan.
Banyak anak-anak dan perempuan yang menjadi korban diduga karena serangan udara dan bombardir Israel menghancurkan bangunan permukiman. Dugaan ini semakin kuat karena OCHA melaporkan sebanyak dua pertiga korban fatal Palestina di Gaza meninggal di rumah mereka.
OCHA juga mencatat, setidaknya 45 persen unit permukiman di Gaza hancur atau rusak parah. Selain itu, diperkirakan masih ada 1.950 orang, lebih dari separuh di antaranya anak-anak, yang dilaporkan hilang dan dikhawatirkan tertimbun reruntuhan bangunan.
Baca juga: Getirnya Hidup di ”Penjara Terbuka” Jalur Gaza
Tak hanya itu, Israel juga tidak mengecualikan tempat perlindungan warga sipil dan rumah sakit sebagai sasaran tembak mereka. Militer Israel tercatat melancarkan serangan udara ke Gereja Ortodoks Saint Porphyrius yang menjadi titik berlindung warga sipil pada 13 Oktober 2023. Kemudian, pada 14 Oktober, roket-roket Israel menyerang RS Al-Hilal Baptist yang menewaskan lebih dari 500 orang (Kompas, 25/10/2023).
Tindakan Israel untuk melakukan hukuman kolektif terhadap seluruh populasi Gaza seperti ini menyebabkan 1,4 juta atau 62 persen warga Gaza kehilangan tempat tinggal mereka. Mereka yang harus mengungsi berdesak-desakan di kamp pengungsian. OCHA menyebutkan, fasilitas-fasilitas perlindungan dari Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) rata-rata menampung pengungsi empat kali lipat dari kapasitas seharusnya.
Ambisi Israel untuk membalas Hamas pada akhirnya menutup mata mereka terhadap dasar-dasar nilai kemanusiaan. Human Right Watch telah melaporkan bahwa Israel menggunakan bom fosfor putih di tengah kawasan permukiman. Praktik seperti ini sejatinya telah dilarang oleh komunitas internasional karena dapat menyebabkan kerusakan hebat dalam jangka panjang bagi manusia (Kompas, 25/10/2023).
Setelah dihantam lewat udara, dihujani bom fosfor, dan dibiarkan menderita akibat blokade selama tiga minggu terakhir, warga Palestina di Gaza kini harus menghadapi serangan darat Israel yang telah dimulai sejak 27 Oktober 2023. Pertempuran sengit dilaporkan telah terjadi di beberapa titik di utara Gaza. Padahal, diperkirakan masih ada sekitar 600.000 warga sipil yang bertahan di wilayah itu.
Sikap sebagian besar warga dunia terhadap krisis ini jelas, yakni mendorong terciptanya perdamaian dan memulihkan hak-hak kemanusiaan. Apalagi, Majelis Umum PBB telah mengesahkan resolusi pengupayaan gencatan senjata pada hari yang sama dengan dimulainya serangan darat Israel.
Meski demikian, upaya ini belum cukup. Dunia perlu terus menekan kedua belah pihak supaya meletakkan senjata dan duduk di meja perundingan. Pasalnya, apabila perdamaian tak lekas terjadi, jutaan nyawa warga Palestina kian terancam keselamatannya. (LITBANG KOMPAS)