Dollar AS Kian Eksis di Tengah Krisis
Dollar AS menguat di setiap krisis karena jadi mata uang negara ekonomi terkuat dan dominan sebagai cadangan devisa global.
Dollar AS merupakan salah satu mata uang terkuat di dunia. Di tengah gonjang-ganjing global yang penuh ketidakpastian, mata uang ini semakin menjadi primadona sehingga valuasi kursnya meningkat. Sejarah panjang membuktikan, greenback kian digdaya saat dunia tidak baik-baik saja.
Menguatnya rupiah spot pada Senin (30/10/2023) dan Selasa (31/10) di kisaran 0,12-0,16 persen membuka pekan awal November 2023 dengan gembira. Sebab, akhir pekan lalu rupiah melemah nyaris menyentuh angka Rp 16.000 per dollar AS.
Merujuk Bank Indonesia, kurs rupiah referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) mencapai Rp 15.933 per dollar AS pada 26 Oktober 2023. Alih-alih bangkit, rupiah justru kian terpuruk pada hari berikutnya di level Rp 15.941 per dollar AS. Rupiah terapresiasi saat indeks dollar AS terpantau menguat ke level 106,49 persen.
Tak sendirian, sejumlah mata uang negara lainnya juga menguat pada hari yang sama. Merujuk data Bloomberg, Senin pukul 15.00 WIB, won Korea Selatan menguat 0,35 persen terhadap dollar AS. Sementara itu, ringgit Malaysia menguat 0,26 persen, baht Thailand menguat 0,20 persen, dan dollar Singapura menguat 0,15 persen.
Kendati demikian, tak dapat dipastikan sampai kapan angin segar akan berembus di kawasan Asia. Situasi masih penuh ketidakpastian, tak terkecuali bagi Indonesia. Sebagai gambaran, Rabu (1/11/2023), rupiah kembali melemah ke level Rp 15.946 per dollar AS.
Ditambah lagi sejumlah ekonom mengungkapkan adanya kemungkinan dollar AS akan bertahan kuat hingga akhir tahun. Perkiraan ini didasarkan pada tren panjang selama tahun ini di mana dollar AS konsisten cenderung menguat terhadap sejumlah mata uang. Tak terkecuali terhadap beberapa mata uang yang juga dipandang cukup kuat di dunia.
Terhadap pound sterling Inggris, misalnya, dollar AS menguat 1,2 persen sepanjang Januari-Oktober 2023. Begitu halnya dengan euro, dollar AS menguat 2,1 persen pada periode yang sama. Bahkan, terhadap yen Jepang, dollar AS terapresiasi hingga 14,9 persen. Menguatnya dollar AS salah satunya dipicu oleh tingginya suku bunga acuan oleh The Fed yang diperkirakan berlangsung dalam jangka panjang (higher for longer).
Krisis dunia
Fenomena tersebut menarik dicermati lantaran dollar AS atau biasa juga disebut greenback kian tangguh ketika ekonomi AS diprediksi akan melambat pada tahun ini. Bank Dunia dalam publikasi Global Economic Projection, edisi Juni 2023, memperkirakan ekonomi AS hanya tumbuh 1,1 persen setelah tahun lalu mampu mencapai 2,1 persen.
Melonjaknya angka inflasi disebut-sebut menjadi penghambat laju ekonomi raksasa dunia itu. Meningkatnya konsumsi penduduk AS setelah pandemi Covid-19 mereda tidak dibarengi dengan kesiapan pasokan sehingga harga-harga secara umum terkerek naik.
Tak hanya AS, ekonomi Uni Eropa juga diprediksi melemah tahun ini dengan potensi pertumbuhan hanya di angka 0,4 persen. Padahal, tahun lalu tumbuh cukup impresif, yakni 3,5 persen pascapandemi. Dengan kata lain, laju ekonomi diperkirakan menukik turun di kedua negara maju tersebut.
Berbeda halnya dengan negara-negara berkembang di Asia Tenggara yang proyeksi pertumbuhannya masih relatif lebih tinggi. Indonesia, misalnya, diperkirakan masih akan tumbuh 4,9 persen meskipun perkiraan ini sedikit melambat 0,4 persen dari tahun sebelumnya.
Filipina dan Malaysia diproyeksikan masih akan tumbuh relatif tinggi di angka 6,0 persen dan 4,3 persen. Sementara itu, China yang kini menjadi salah satu penguasa dunia diperkirakan tumbuh impresif di level 5,6 persen, hampir dua kali lipat dibandingkan tahun lalu yang berkisar 3 persen.
Meskipun perkiraan pertumbuhan ekonomi AS tidak seimpresif negara-negara berkembang, tetap saja kekuatan mata uang dollarnya kokoh menghadapi situasi global. Bahkan, perlambatan ekonomi AS pun tak lantas melunturkan kekuatan dollarnya. Justru sebaliknya, dapat dikatakan bahwa dollar AS kian eksis di setiap krisis. Seperti yang terjadi saat ini, misalnya, di mana efek krisis akibat pandemi masih melemahkan perekonomian di sejumlah negara. Banyak negara yang masih merasakan efek dominonya sehingga kondisi makroekonominya belum pulih seperti sediakala.
Situasi tersebut kian diperberat lagi dengan gejolak geopolitik di sejumlah negara sehingga kondisi global kian pelik. Ketegangan dan konflik di negara-negara penghasil komoditas dunia membuat harga-harga merangkak naik, seperti minyak mentah dan bahan pangan. Biaya ekonomi melonjak tinggi sehingga berpotensi menurunkan kualitas perekonomian sejumlah negara. Biaya impor barang semakin mahal sehingga berpotensi mendorong inflasi dan penurunan kurs mata uang domestik setiap negara.
Saat sulit seperti itu, biasanya dollar AS justru menguat. Ketika pandemi, contohnya, di saat semua negara masih gagap mengatasi dampaknya, dollar AS terpantau menguat. Misalnya, di Indonesia, menurut data BI, rata-rata kurs rupiah terhadap dollar AS di angka Rp 14.318 pada Februari 2020 atau saat awal terjadinya penularan wabah.
Namun, setelah pandemi resmi dinyatakan melanda Indonesia, dollar menguat di level Rp 16.310 per dollar AS. Dengan kata lain, rupiah terdepresiasi sebesar 13,9 persen. Pada periode yang sama, dollar Kanada, ringgit Malaysia, dollar Singapura, baht Thailand, hingga renminbi China juga melemah di kisaran 2-5 persen.
Jika mencermati tren yang lebih panjang, pola serupa terjadi pada periode krisis atau ketegangan-ketegangan geopolitik sebelumnya. Saat perang dagang AS-China, misalnya, ketegangan yang dimulai dengan perang tarif sejak Januari 2018 itu berujung pada terapresiasinya dollar AS terhadap mata uang negara lainnya.
BI mencatat, dollar terapresiasi sekitar 2,7 persen pada Februari 2018. Rupiah tertekan di level Rp 13.751 per dollar AS setelah menguat 1,2 persen pada Januari 2018 di level Rp 13.386 per dollar AS. Puncak kedigdayaan dollar AS terjadi pada bulan Oktober 2018 ketika harga per dollar naik menjadi Rp 15.203. Sepanjang 2018, rupiah terdepresiasi sebesar 0,69 persen.
Pelemahan nilai tukar mata uang juga dialami sejumlah negara lain, seperti Kanada, Uni Eropa, China, Jepang, serta negara anggota ASEAN lainnya. Besaran depresiasinya tercatat di kisaran 0,2-1 persen sepanjang 2018. Hal ini terjadi lantaran ketegangan AS-China berdampak pada menurunnya kinerja ekonomi kedua negara tersebut. Pada gilirannya, memengaruhi perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global mengingat keduanya merupakan raksasa ekonomi dunia.
Sebelumnya, ketika krisis minyak dunia tahun 2014, dollar membuktikan kekuatannya. Pada semester II-2014, harga minyak dunia anjlok sekitar 55 persen, padahal pada periode April-September 2013 mengalami kenaikan.
Penurunan harga minyak terjadi lantaran produksi melimpah di tengah lesunya permintaan minyak di Eropa dan Asia akibat perekonomian yang stagnan. Alhasil, dunia dilanda ketidakstabilan, berujung aksi pemutusan hubungan kerja besar-besaran di perusahaan berbasis energi.
Sejak saat itu, dollar menguat dan memasuki angka lebih dari Rp 12.000 per dollar AS. Hingga saat ini, rupiah tak pernah kembali di level di bawah angka tersebut. Padahal, pada Agustus 2014 mata uang rupiah masih dihargai Rp 11.690 per dollar AS. Merosotnya nilai tukar juga dialami negara-negara lainnya di kisaran 0,3 persen hingga 1,8 persen.
Jauh sebelumnya, kekuatan dollar AS terpampang nyata ketika krisis keuangan 2008-2009. Nilai tukar rupiah menembus angka Rp 12.400 per dollar AS. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya, setidaknya sejak Januari 2001.
Konsisten
Lantas, bagaimana bisa dollar AS konsisten menguat di setiap krisis? Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kuatnya dollar AS sebagai mata uang yang paling diminati untuk cadangan devisa di berbagai negara di dunia. Dana Moneter Internasional (IMF) menguraikan, hingga saat ini dollar AS masih mendominasi cadangan devisa global. Besarannya mencapai 6.576,9 miliar dollar AS pada triwulan II-2023 atau sebesar 58,9 persen dari total cadangan devisa yang dialokasikan dalam bentuk mata uang.
Selain dollar AS, IMF mengakui tujuh mata uang cadangan utama lainnya. Terbesar kedua adalah euro, mata uang Eropa, dengan proporsi 20 persen. Kemudian diikuti oleh yen Jepang (5,4 persen), pound sterling Inggris (4,9 persen), dollar Kanada (2,5 persen), renminbi China (2,4 persen), dollar Australia (2,0 persen), dan franc Swiss (0,2 persen).
Apa yang membuat dollar AS paling kuat di antara mata uang lainnya? Salah satu faktor utamanya adalah besarnya proporsi perekonomian AS secara global. Data Bank Dunia 2022 menunjukkan, seperempat ekonomi dunia disumbang oleh AS. Kendati kontribusi beberapa negara lain terus meningkat, China, misalnya, masih belum dapat mengalahkan AS hingga saat ini.
Selain itu, dollar AS masih menjadi mata uang yang paling banyak digunakan untuk transaksi. Komoditas utama seperti minyak dunia umumnya diperdagangkan dalam dollar AS. Hal lain lagi yang menyokong kekuatan dollar AS adalah stabilitas dan kekuatan geopolitik AS sehingga mata uang negara adikuasa itu menjadi primadona.
Kendati berbagai upaya dilakukan sejumlah negara untuk mengurangi penggunaan dollar AS dan menggantinya dengan mata uang lain, hal itu tetap belum mampu menumbangkannya. Hingga saat ini, hampir semua negara masih mematok mata uang mereka terhadap dollar AS.
Kuatnya dominasi ekonomi AS membuat apa pun kebijakan moneter yang diterapkan ”Negeri Paman Sam” itu akan berpengaruh pada perekonomian secara global. Tak terkecuali volatilitas nilai tukar sehingga di tengah gejolak yang disebut-sebut akan mendegradasi ekonomi AS saat ini, valuasi nilai dollarnya akan tetap kokoh. Apalagi ketika suku bunga acuan The Fed dinaikkan, pemodal di seluruh dunia berbondong-bondong menarik investasinya dari negara lain dan mengalihkannya ke AS. Kian banyaknya permintaan dollar AS, kian kuatlah posisi ”raja” mata uang itu di seluruh dunia. (LITBANG KOMPAS)