Restorasi Politik Partai Nasdem yang Dipertaruhkan
Dinamika politik yang cenderung menekan Nasdem jadi konsekuensi pilihan restorasi yang digagas. Jika Pemilu 2024 berpihak pada Nasdem, restorasi jadi perkasa.
Mencanangkan Koalisi Perubahan yang mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sebagai pasangan capres-cawapres di Pemilu 2024 sejatinya sejalan dengan restorasi politik yang digagas Partai Nasdem. Namun, langkah politik itu kini dipertaruhkan.
Semenjak didirikan, 1 Februari 2011, Partai Nasdem dalam berbagai dokumen pendiriannya mengenalkan gagasan ”Restorasi Indonesia”, yang tidak lain suatu tawaran perubahan. Perubahan, termasuk perubahan politik, bagi Nasdem perlu dilakukan setiap komponen negeri di tengah berbagai krisis permasalahan yang tidak terselesaikan bangsa ini.
Dalam pandangan Nasdem, yang dibangun dan diketuai Surya Paloh, mantan petinggi Partai Golkar, restorasi sebagai suatu metode dinilai paling tepat dalam mewujudkan perubahan. Pasalnya, metode perubahan lainnya, baik revolusi maupun reformasi yang pernah terjadi di negeri ini, terbukti tak berhasil membawa perubahan sepenuhnya bagi bangsa.
Dalam kacamata pandang Nasdem, mengatasi problem yang tidak juga terselesaikan harus dilakukan suatu restorasi dengan ”mengembalikan” atau menghadirkan kembali nilai-nilai luhur identitas kejayaan bangsa yang pernah ada. Restorasi Indonesia dalam hal ini merupakan upaya pembangunan modal sosial dan pengembalian bangunan budaya sebagai fondasi kekuatan sekaligus tujuan perubahan. Terdapat tiga substansi tujuan yang menjadi visi partai yang berasaskan Pancasila ini, yaitu merdeka, kedaulatan ekonomi, dan martabat budaya.
Mewujudkan Restorasi Indonesia itu, bagi Nasdem, berupa perlunya keterlibatan langsung dalam institusi kekuasaan dan pada saat yang sama menggelorakan pergolakan sosial masyarakat. Cara pandang dan strategi mewujudkan gagasan restorasi semacam itulah yang membedakan dengan pilihan metode perubahan lainnya, seperti revolusi atau reformasi.
Dalam pilihan revolusi, perubahan harus dilakukan dengan merombak total struktur sosial ataupun politik yang ada. Strategi dalam perombakan total ini biasa dilakukan secara ekstraparlementer. Sementara pilihan reformasi, yang juga sudah terjadi selama ini, lebih tertuju pada perubahan sistem dan tata kelola institusi pemerintahan. Sejauh ini reformasi hanya mampu membuka keran politik demokrasi dari kekuasaan otoritarian. Namun, setiap persoalan yang dihadapi bangsa belum juga tampak ujung penyelesaiannya.
Peta politik
Keikutsertaan Partai Nasdem pada Pemilu 2014 menjadi bagian dari pengujian restorasi yang ditawarkan. Sebagai partai politik yang baru berkiprah, capaiannya terbilang tidak mengecewakan. Hasil Pemilu Legislatif 2014 mengungkapkan, 8.402.812 pemilih atau 6,72 persen dari total pemilih menyandarkan pilihannya pada Nasdem. Dengan proporsi dukungan sebesar itu, Nasdem berada di peringkat ke-9, lolos sebagai 10 besar partai yang mendudukkan kadernya di DPR. Nasdem meraih 36 kursi DPR.
Capaian itu memang masih di bawah target Nasdem, yakni peringkat ke-3 peraih suara terbanyak. Namun, dalam ajang Pemilihan Presiden 2014, target itu terbalas. Sejalan dengan kemenangan pasangan capres Joko Widodo-Jusuf Kalla yang diusung Nasdem bersama PDI-P, PKB, Hanura, dan PKP Indonesia, partai ini akhirnya mampu meloloskan sebagian strategi jalan restorasinya, berupa perlunya keterlibatan langsung Nasdem di institusi kekuasaan.
Di Pemilu 2019, Nasdem semakin menggeliat. Hasil pemilu legislatif menunjukkan, dukungan publik meningkat signifikan, yakni 12.661.792 suara sah atau 9,05 persen dari total pemilih yang menggunakan hak pilih. Dengan capaian itu, posisi Nasdem melonjak ke peringkat ke-5 dari sisi raihan suara. Kursi DPR yang dikuasai Nasdem juga meningkat menjadi 59 kursi.
Kesuksesan berikutnya, dalam Pemilihan Presiden 2019, Nasdem bersama partai anggota koalisi yang lain kembali mempertahankan kemenangan Presiden Jokowi yang kali ini berpasangan dengan KH Ma’ruf Amin. Torehan kemenangan ini sekaligus memperkuat posisi politik Nasdem dalam pemerintahan.
Baca juga: Surya Paloh: Sayang Seribu Sayang Revolusi Mental Belum Terwujud
Sepanjang pemerintahan Jokowi, misalnya, tak kurang enam menteri berasal dari Nasdem. Pada periode kekuasaan Jokowi-Kalla (2014-2019), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Menteri Agraria dan Tata Ruang yang sekaligus Kepala Badan Pertanahan Nasional; Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan; serta Menteri Perdagangan diduduki kader Nasdem. Pada pemerintahan Jokowi periode kedua (2019-kini), selain Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian serta Menteri Komunikasi dan Informatika juga kader Nasdem.
Akan tetapi, di ujung periode kepemimpinan Jokowi, nasib restorasi politik Nasdem tengah dipertaruhkan, tidak hanya dalam kabinet pemerintahan, tetapi juga terkait dengan masa depan politik partai ini.
Bermula dari inisiatif Nasdem menggagas konvensi capres 2024 pada pertengahan 2021. Konvensi ini berujung pada keputusan mengusung Anies Baswedan sebagai bakal capres dari Nasdem, awal Oktober 2022. Sosok Anies, Gubernur DKI Jakarta (2017-2022) dan mantan Menteri Pendidikan kabinet Jokowi (2014-2016) yang diganti sebelum habis masa tugasnya itu, dalam berbagai hal dikenal berseberangan pandangan dengan Jokowi. Semenjak itu, dan jargon perubahan yang semakin gencar disuarakan, membuat relasi Nasdem dan kekuasaan tak lagi sama seperti sebelumnya.
Belakangan, kader-kader Nasdem yang duduk di pemerintahan, seperti Johnny G Plate, tersingkir dari Menkominfo dan kini tengah dituntut 15 tahun penjara atas perkara dugaan korupsi proyek penyediaan menara base transceiver station (BTS) 4G Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kemenkominfo. Kemudian, menyusul Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyatakan mundur dari jabatannya seusai dikabarkan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Pertaruhan politik
Guncangan politik yang dihadapi Nasdem kali ini tampaknya menjadi suatu pertaruhan politik yang tidak pernah teralami sebelumnya. Jika becermin pada semangat restorasi yang digagas, yang dipraktikkan dalam strategi mencanangkan ”koalisi perubahan” yang mengusung Anies Baswedan dan selanjutnya dipasangkan dengan Muhaimin Iskandar, pemimpin PKB, sejatinya masih sejalan. Namun, dalam perpolitikan, perubahan dapat dimaknai jadi lebih problematik.
Langkah-langkah politik yang diambil Nasdem juga berkonsekuensi pada para calon pemilihnya. Mengacu pada hasil survei opini publik yang selama ini dilakukan oleh Litbang Kompas, tersirat perubahan konfigurasi pilihan. Dari sisi elektabilitas, misalnya, sepanjang 2023, Nasdem cenderung sedikit turun. Jika pada survei awal Januari elektabilitas Nasdem 7,3 persen, berikutnya menjadi 6,3 persen pada Mei, dan periode terakhir pada Agustus menjadi 5,9 persen.
Dari sisi karakteristik pemilih juga mulai terjadi beberapa perubahan. Pemilih Nasdem yang terbilang masih loyal, masih sama dengan pilihan mereka saat Pemilu 2019, sebanyak dua pertiga bagian (64,1 persen). Artinya, sekitar sepertiga bagian lainnya hengkang, berpindah pilihan partai.
Relasi politik Nasdem dengan Jokowi pun berubah. Dengan menggunakan indikator besaran faktor ”Jokowi”, atau dalam survei merupakan ”kesediaan responden untuk mengikuti sepenuhnya rujukan sosok yang ditampilkan Presiden Jokowi sebagai capres dalam pemilu mendatang”, pemilih Nasdem yang kini terkecil keberadaan faktor ”Jokowi”-nya. Di survei Agustus 2023, hanya 8,5 persen. Kondisi ini sangat berbeda dibandingkan dengan survei Oktober 2022, yang menempatkan pemilih Nasdem tertinggi kedua setelah PDI-P. Kala itu masih 23,9 persen pemilih Nasdem akan sejalan dengan rekomendasi Jokowi.
Dinamika politik yang cenderung menekan Nasdem menjadi konsekuensi dari pilihan restorasi yang digagas. Apabila Pemilu 2024 keberhasilan berpihak pada Nasdem, restorasi menjadi perkasa.