Standar Ganda Dunia Barat Atas Serangan Israel ke Gaza
Konflik antara Israel dan Palestina makin tereskalasi hingga ke titik paling panas. Bagaimana mengatasinya?
Di tengah kekuatan yang sangat asimetris, warga sipil di Palestina menjadi pihak yang paling rentan menjadi korban. Keadaan ini diperparah dengan berbagai dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Israel.
Di atas kertas, kekuatan militer Israel jauh mengungguli Hamas. Di sisi pertahanan, Israel memiliki teknologi kubah besi (Iron Dome) yang memiliki kemampuan untuk menghalau lebih dari 90 persen serangan rudal dari Hamas.
Tak hanya itu, militer Israel juga dipersenjatai dengan alutista berat nan mutakhir seperti Merkava MK 4 yang merupakan salah satu tank tercanggih saat ini.
Hamas di sisi lain, dipaksa untuk bertempur dengan segala keterbatasan. Skala personel Hamas di kisaran dua puluhan ribu tentu sangat kecil dibandingkan dengan jumlah tentara aktif Israel di angka 169 ribu pasukan.
Situasi ini makin pelik mengingat teknologi alat perang Hamas yang tertinggal satu sampai dua dekade lebih kuno dibanding militer Israel.
Tak heran jumlah korban yang jatuh dari insiden dalam konflik Israel dan Palestina pun memiliki sebuah pola yang konsisten. Data dari PBB menunjukkan, selama 2008 sampai 2020 saja, lebih dari lima ribu warga Palestina meninggal akibat konflik antara kedua pihak tersebut. Angka tersebut dua puluh kali lebih besar dibandingkan total warga Israel yang meninggal akibat konflik.
Meskipun begitu, sepanjang sejarah konflik Israel-Palestina, Hamas mampu untuk terus memberikan tekanan kepada musuhnya. Sejak terbentuk di akhir 1980-an, Hamas menjadi motor penting dalam upaya kontra opresi penjajahan Israel di Palestina, mulai dari Intifada II, perang Gaza 2014 hingga serangan cepat di 2023 ini. Tak ayal, relatif dengan kekuatannya di atas kertas, kelompok ini terus dianggap sebagai ancaman eksistensial oleh Israel.
Baca juga : Membuka Mata Dunia pada Ancaman Kemanusiaan di Palestina
Asimetri Diplomasi
Bukan hanya asimetris secara kemampuan bertempur, posisi Palestina dan Israel di panggung politik internasional pun sangat timpang.
Sepanjang konflik muncul tak lama pasca Perang Dunia II, Israel selalu dipandang sebagai “korban” yang diserang oleh Palestina. Dalam paradigma inilah kemudian keseluruhan konflik dipahami oleh sebagian besar negara dunia, terutama negara-negara maju di dunia barat.
Hal ini pun membuat Israel mendapat perlakuan sebagai “anak bungsu” negara-negara tersebut. Tak sulit bagi Israel untuk bisa mendapat bantuan persenjataan hingga pendanaan untuk memperkuat pertahanan.
Selama 2022 lalu, misalnya, AS tak segan untuk memberikan lebih dari 4,8 miliar Dollar AS kepada Israel sebagai dana hibah untuk meningkatkan kemampuan militer dan ekonomi.
Sedangkan, Palestina sudah mulai dikucilkan, bahkan sebelum Hamas melakukan serangan tempo hari. Posisi diplomatik Palestina sudah mulai kehilangan kawan, terutama semenjak upaya Israel melakukan normalisasi dengan beberapa negara-negara di kawasan Arab. Beberapa negara kawasan yang berhasil dihasut oleh Israel termasuk Maroko dan Bahrain.
Tak ayal, kecenderungan Israel sebagai “anak emas” ini pun kembali muncul dalam insiden kali ini. Berselang beberapa hari saja, AS bersama dengan Inggris, Italia, Perancis, dan Jerman mengumumkan aliansi untuk memberi dukungan terhadap Israel.
Tentunya, dukungan ini akan berujung pada mengalirnya persenjataan dan tak menutup kemungkinan personel militer dari negara-negara tersebut ke Tel Aviv.
Langkah aliansi AS pun diikuti oleh beberapa negara lainnya yang turut mengutuk aksi Hamas. Alih-alih dilihat sebagai upaya resistensi atas kolonialisme, aksi yang dilakukan oleh Hamas dimaknai sebagai serangan teror. Label teroris ini membuat aksi retaliasi Israel dalam bentuk apa pun menjadi tampak “sah”.
Baca juga : Perang Asimetris Hamas Vs Israel
Pelanggaran HAM
Seperti pepatah yang didengungkan oleh Palang Merah Dunia, perang pun punya aturan. Bahkan, aturan dalam perang disepakati sebagai Hukum Kemanusiaan Internasional (International Humanitarian Law) yang dikodifikasi ke dalam Konvensi Jenewa. Adanya aturan perang ini diharapkan bisa meminimalisasi korban sipil dalam konflik bersenjata.
Sayangnya, dunia tampak tutup mata dengan kepatuhan Israel terhadap konvensi ini dalam krisis Gaza. Pasalnya, memasuki minggu keempat dari pecahnya konflik, setidaknya terdapat empat dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Israel.
Pelanggaran yang dilakukan pun beragam, mulai dari penggunaan senjata kimia hingga menyerang fasilitas publik, seperti area residensial, rumah sakit, dan sekolah.
Dugaan pelanggaran HAM yang pertama adalah penggunaan senjata kimia. Laporan dari Human Rights Watch menunjukkan bahwa Israel menggunakan bom fosfor ketika melancarkan serangan udara ke Gaza pada 10 hingga 11 Oktober 2023.
Berdasarkan peraturan internasional, bom fosfor menjadi salah satu senjata yang dilarang digunakan dalam konflik. Pasalnya, senyawa kimia ini mampu memberikan dampak jangka panjang kepada korban yang terpapar.
Dugaan kedua muncul hanya berselang dua hari setelahnya. Pada 13 Oktober, laporan dari Al Jazeera menyatakan Israel melancarkan serangan udara yang menarget Gereja Ortodoks Saint Porphyrius. Padahal, gereja ini diketahui menjadi tempat berlindung warga yang tempat tinggalnya luluh lantak dihantam roket Israel.
Sehari berselang, dunia dikejutkan dengan peristiwa serangan Israel ke sebuah RS di Gaza. Akibat dari serangan ini, lebih dari 500 pasien dan pekerja medis di RS Al-Hilal Baptist meninggal dunia. Serangan ini menjadi yang paling jelas melanggar aturan perang sekaligus paling banyak memakan korban jiwa.
Tiga hari sesudahnya, serangan ke fasilitas umum kembali terjadi di Gaza. Kali ini, serangan Israel menyasar sekolah yang selama konflik tereskalasi difungsikan juga sebagai tempat pengungsian. Parahnya, sekolah ini dibangun dan dikelola oleh PBB melalui United Nations Relief and Works Agency (UNRWA).
Keempat kejadian ini menjadi contoh ekstrem dari pelanggaran HAM yang terjadi. Beberapa taktik yang melanggar etika perang pun dilakukan oleh Israel. Contohnya adalah memutus aliran listrik, air, dan logistik ke Gaza. Strategi ini praktis mengancam warga sipil di wilayah Gaza untuk mati kelaparan.
Terjadinya dugaan kuat pelanggaran HAM di konflik tanpa adanya tekanan besar yang mengarah ke Israel menjadi penanda kuat bahwa komunitas internasional tengah memberlakukan standar ganda.
Hal ini menjadi preseden buruk yang menyimpan bahaya besar bagi kemanusiaan. Tanpa adanya konsekuensi yang jelas, tak menutup kemungkinan bahwa nantinya konflik yang terjadi di wilayah lain pada masa mendatang akan semakin brutal dan memakan lebih banyak korban sipil. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Menakar Potensi Dampak Ekonomi Krisis Hamas-Israel