Selain posisi ideologis partai yang berseberangan dengan Orde Baru, PDI-P memiliki kapital simbolik kuat, Megawati Soekarnoputri, putri proklamator, Soekarno.
Oleh
Vincentius Gitiyarko, Litbang Kompas
·5 menit baca
Pemilu 2024 akan menguji posisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P sebagai partai yang menjaga kuat ideologi. Momentum kontestasi politik sekaligus menjadi tantangan sejauh mana relasi mutualisme politik secara elektoral antara partai ini dan pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang diusung.
PDI-P dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) disebutkan merupakan partai ideologis yang berasaskan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dengan jiwa dan semangat kelahirannya pada 1 Juni 1945. Sementara itu, jati diri partai ialah kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Ideologi partai ini berwujud marhaenisme yang diidentifikasi sebagai pembelaan kepada wong cilik dan harus dipraktikkan dalam setiap kebijakan pembangunan bagi kedaulatan rakyat (Kompas, 29/3/2010).
Tren sebagai partai politik dengan kemampuan mendulang suara terbesar dalam pemilu terus ditunjukkan PDI-P. Di tiga dari lima pemilu sepanjang era reformasi, PDI-P mengukuhkan posisinya sebagai partai pemenang.
Kemampuan PDI-P mencapai posisi ini tak dapat dilepaskan dari spirit ”perlawanan” di era Orde Baru—saat itu masih bernama PDI—di mana partai ini mengambil posisi berseberangan dengan rezim penguasa. Sepanjang era itu, PDI selalu di posisi terbawah dalam perolehan suara. Ketika memasuki era reformasi, PDI-P menjelma menjadi partai politik pemenang pada Pemilu 1999.
Pada Pemilu 1999, PDI-P menang dengan raihan suara 33,7 persen. Dari sisi jumlah kursi di DPR, partai ini mendapat 153 kursi atau 33,1 persen dari total kursi parlemen. Sementara itu, partai penguasa di era Orde Baru, Golkar, berada di posisi kedua dengan 22,4 persen suara dan menempati 120 kursi DPR.
Selain posisi ideologis sebagai partai yang berseberangan dengan Orde Baru, PDI-P juga memiliki kapital simbolik kuat yang dipegang Megawati Soekarnoputri sebagai putri proklamator, Soekarno. Bangunan ideologis dan kapital simbolik inilah yang menjadi faktor penting kemenangan PDI-P di pemilu pertama era reformasi.
Akan tetapi, pada dua pemilu berikutnya, PDI-P tidak jadi partai pemenang. Perolehan suaranya pada Pemilu 2004 menurun menjadi 18,5 persen. Capaian ini membuat PDI-P berada di posisi kedua setelah Partai Golkar yang mendulang 21,6 persen suara. Sementara itu, pada Pemilu 2009, suara PDI-P kembali turun menjadi 14 persen dan berada di peringkat ketiga setelah Demokrat (20,4 persen) dan Golkar (14,15 persen).
Seusai Pemilu 2004 dan 2009 inilah PDI-P kembali mengambil posisi sebagai partai oposan seperti halnya yang dilakukan di era Orde Baru. PDI-P berada di luar pemerintahan yang ketika itu dipimpin oleh Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Berbalik
Di Pemilu 2014, PDI-P kembali menjadi pemenang. Di satu sisi, Demokrat tak lagi mampu mempertahankan capaian suara di akhir periode jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di sisi lain, muncul sosok baru dalam tubuh PDI-P yang mampu menjadi magnet perhatian nasional, yakni Joko Widodo.
Kehadiran Jokowi sejak masih menjadi Wali Kota Surakarta hingga berhasil memenangi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 memberikan angin segar bagi PDI-P yang bersiap menghadapi pemilu. Hal yang dapat diperhatikan adalah mutualisme politik yang terbangun antara Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P dan Jokowi sebagai capres yang diusung di Pemilu 2014.
Sebagai tokoh, Megawati masih memegang posisi simbolik yang mampu mengendalikan arah politik PDI-P hingga akar rumput. Sementara Jokowi menjadi magnet politik yang menarik perhatian publik, termasuk kepada partai yang mengusungnya.
Hasilnya, PDI-P kembali memenangi kontestasi politik pada Pemilu 2014. Partai ini meraup 18,9 persen suara pemilih, mengungguli Golkar yang berada di urutan kedua dengan 14,7 persen suara dan Gerindra di posisi ketiga dengan 11,8 suara. Kesuksesan ini kembali diraih pada Pemilu 2019. Tren perolehan suara PDI-P naik dan kembali menempatkannya di posisi pertama dengan raihan 19,33 persen, disusul Gerindra (12,57 persen) dan Golkar (12,31).
Jika melihat kekuatan ideologis, ketiga partai terkuat pada Pemilu 2019 tersebut sama-sama cenderung ke arah partai nasionalis. Namun, sisi simbolik sebagai partai yang memiliki posisi oposan terhadap Orde Baru tampak tetap menjadi kekhasan yang dibawa PDI-P dibandingkan dengan dua partai lainnya.
Basis pemilih
Selain kekuatan ideologis dan simbolik yang dimiliki PDI-P, dalam konteks pemilu, kekuatan tersebut harus mampu diejawantahkan dalam penguasaan wilayah. Secara kewilayahan, Pulau Jawa masih menjadi basis pemilih terbesar PDI-P. Pada Pemilu 2014, Jawa Tengah menjadi provinsi yang memberikan sumbangan suara terbesar untuk PDI-P. Jumlah pemilihnya di Jateng 4,2 juta atau sekitar 18,1 persen dari seluruh perolehan suara PDI-P.
Kemudian, Jawa Barat menjadi wilayah berikutnya yang memberikan sumbangan suara terbesar kedua setelah Jateng. Di provinsi ini, PDI-P meraih 4,1 juta suara atau 17,6 persen dari keseluruhan pemilih partai. Berikutnya, PDI-P mendapat 3,5 juta suara di Jawa Timur atau 15,1 persen dari suara total. Jika ketiga wilayah ini digabungkan, angkanya sudah mencapai 50,8 persen. Dengan kata lain, separuh dari seluruh basis pemilih PDI-P berada di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Peta kekuatan yang mirip kembali ditunjukkan PDI-P di Pemilu 2019. Jawa Tengah makin kuat menjadi basis pemilih terbesar bagi partai ini dengan raihan suara 5,7 juta pemilih atau 21,4 persen dari total pemilih PDI-P. Sementara itu, di Jatim PDI-P bergeser di posisi kedua dengan raihan suara 4,3 juta pemilih atau 16 persen dari total suaranya. Sementara Jawa Barat berada di posisi ketiga dengan raihan 3,5 juta suara atau 13 persen dari keseluruhan suara. Artinya, di Pemilu 2019, separuh pemilih PDI-P berasal dari tiga provinsi ini.
Namun, catatan khusus perlu dilihat di Jawa Barat yang turun sekitar 4,6 persen dari Pemilu 2014. Catatan ini sekaligus menjadi alarm bagi PDI-P untuk memperkuat strategi elektoral di wilayah ini. Pasalnya, Jawa Barat menjadi basis yang kuat bagi partai saingan terdekat PDI-P saat ini, yakni Gerindra. Dalam Pemilu 2019, misalnya, sekitar 24,6 persen dari total pemilih Gerindra berasal dari Jawa Barat.
Di sisi lain, komposisi Ganjar Pranowo dan Mahfud MD yang diusung PDI-P sebagai capres dan cawapres di Pemilu 2024 cenderung akan memberi suntikan elektoral terhadap PDI-P di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Artinya, untuk kembali menguasai Jawa sebagai wilayah dengan jumlah pemilih terbanyak, Jawa Barat semestinya menjadi wilayah paling menantang untuk tetap mengalirkan suara kepada PDI-P.
Melihat dinamika politik yang terjadi, Pemilu 2024 tampaknya akan menguji bagaimana konsolidasi PDI-P tetap terjaga demi meneruskan tradisi merebut posisi yang kuat dalam panggung politik di Indonesia. Sekaligus juga akan dibuktikan apakah mutualisme politik yang terjadi antara PDI-P dan capres-cawapres yang diusung akan terjadi pada pemilu mendatang.
Akan tetapi, tampaknya ada hal lebih mendalam yang akan diuji kekuatannya, yakni perkara ideologi dan kapital simbolik PDI-P. Di tengah pragmatisme politik yang terbatas pada kalkulasi menang dan kalah, sisi idealisme dalam berpolitik ini semestinya masih layak untuk dijunjung oleh PDI-P.