PKB, Mempertahankan Tren Positif Elektoral
Mendukung presiden terpilih menjadi inspirasi dan kalkulasi politik PKB menjadikan pilpres untuk mendulang efek ekor jas.
Pada lima pemilihan umum terakhir, Partai Kebangkitan Bangsa memiliki tren keterpilihan positif meskipun sempat terpuruk akibat konflik internal. Membangun peluang efek elektoral di pemilihan presiden dan menjaga basis pemilih tradisional menjadi dua hal yang berpotensi menyumbang keterpilihan PKB pada Pemilu 2024.
Tren positif ini terekam dari hasil pemilu yang diikuti PKB. Hasil Pemilu 2019 menempatkan partai ini makin mendekati kembali persentase suara yang pernah mereka raih pada Pemilu 1999. Tren positif secara elektoral ini tentu akan menjadi modal politik bagi partai yang berbasis pemilih nahdliyin ini.
Jika mengacu pada pengalaman mengikuti lima pemilu sejak era Reformasi, PKB mengalami volatilitas dukungan, yang pada dua pemilu terakhir justru menunjukkan tren meningkat. Pada Pemilu 1999, partai ini meraih dukungan 13,3 juta suara atau 12,6 persen dari total pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Hasil ini menempatkan PKB menjadi salah satu partai yang masuk parlemen nasional dengan 51 kursi.
Pada Pemilu 2004, PKB relatif stabil dan sukses mempertahankan posisinya. Meskipun suaranya sedikit berkurang, yakni 11,9 juta atau 10,6 persen, jumlah kursi PKB di DPR bertambah menjadi 52 kursi. Konflik berkepanjangan di internal partai, terutama terkait kegaduhan dualisme kepengurusan, membuat partai ini terpuruk pada Pemilu 2009.
Konflik kepengurusan tersebut terjadi setelah Pemilu 2004, yakni munculnya PKB versi Muhaimin Iskandar hasil Muktamar Semarang yang didukung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan PKB versi Choirul Anam hasil Muktamar Surabaya tahun 2005. PKB pimpinan Choirul Anam kemudian berubah menjadi Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) setelah secara hukum negara mengakui PKB versi Muhaimin. Setelah konflik ini, dinamika PKB relatif mereda.
Hanya saja, konflik kembali terjadi pada 2008 dengan munculnya kembali dualisme kepengurusan. PKB versi Muhaimin Iskandar hasil Muktamar Ancol dan PKB versi Ali Masykur Musa hasil Muktamar Parung, Bogor, yang didukung Gus Dur. Mahkamah Agung memenangkan PKB versi Muhaimin.
Baca juga: Targetkan Jadi Partai Besar, Muhaimin Keluarkan Enam Dekret untuk Kader PKB
Konflik yang terjadi menjelang Pemilu 2009 ini yang kemudian menjadikan suara PKB pada Pemilu 2009 merosot menjadi 5,1 juta suara atau 4,9 persen suara nasional. Pengaruh PKB di parlemen juga menurun karena jumlah kursi di DPR merosot menjadi hanya 28 kursi.
Meskipun demikian, pada Pemilu 2004 dan 2009, PKB menjadi poros partai politik berbasis pemilih nahdliyin yang layak diperhitungkan. Hal ini dibuktikan dengan masuknya PKB dalam gerbong pendukung pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono pada periode 2004-2014. Bahkan, sang ketua umum, Muhaimin Iskandar, menjadi bagian dari kabinet. Hal ini sedikit banyak memperteguh posisi politik PKB di panggung politik nasional.
Hal ini kemudian makin dikukuhkan dengan hasil Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. PKB relatif sukses melakukan rebound politik setelah suaranya terpuruk pada Pemilu 2009. Dua hasil pemilu terakhir menempatkan PKB mulai mendekati prestasi suara yang pernah mereka raih pada Pemilu 1999. Kondisi ini juga tidak lepas dari posisi politik PKB yang mendukung pemerintahan Joko Widodo sepanjang dua periode pemerintahan ini.
Pemilihan presiden
Pengalaman empat pemilihan presiden dengan menjadi barisan pendukung presiden terpilih boleh jadi menjadi inspirasi dan kalkulasi politik bagi PKB untuk menjadikan pilpres sebagai upaya partai ini mendulang efek ekor jas. Pengalaman PKB mengusung KH Ma’ruf Amin yang notabene salah satu tokoh deklarator PKB sebagai wakil presiden pada Pilpres 2019 bisa menjadi modal politik bagi partai ini berlaga pada Pilpres 2024.
Tidak heran jika kemudian untuk Pemilu 2024 begitu kuat upaya PKB mengusung ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, menjadi calon wakil presiden mendampingi calon presiden Anies Baswedan yang diusung bersama Partai Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam Koalisi Perubahan.
Sebelumnya, PKB membangun komunikasi politik dengan Partai Gerindra yang mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden. PKB kemudian mundur dari koalisi ini setelah arah politik belum memberikan kepastian soal pencalonan Muhaimin sebagai wakil presiden.
Bagaimanapun, momentum pencapresan Ketua Umum PKB ini menjadi sejarah baru bagi partai ini karena baru pertama kali ini sosok ketua umum maju menjadi calon wakil presiden. Jika mengikuti lembaran sejarah politik PKB pada pemilihan presiden, hanya dua pemilihan presiden yang menunjukkan PKB mampu mengusung tokohnya.
Selain KH Ma’ruf Amin pada Pemilu 2019, pada tahun 1999 PKB bersama Golkar dan koalisi poros tengah (PPP, PAN, PBB, Partai Keadilan) berhasil mengantarkan Ketua Dewan Syura PKB KH Abdurrahman Wahid menjadi presiden di ajang pemilihan presiden melalui MPR.
Potensi efek ekor jas yang pernah terjadi pada Pemilu 2019 terhadap PKB dengan majunya KH Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden juga memberikan sinyalemen positif. Mengutip hasil survei pascapemilihan atau exit poll Litbang Kompas pada pemungutan suara 17 April 2019, pemilih PKB tercatat paling loyal dalam memberikan pilihannya kepada sosok pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Tingkat loyalitas pemilih PKB ini mencapai 74 persen, yang terekam dari survei pascapemilihan tersebut (Kompas, 22/4/2019).
Basis pemilih
Selain berharap pada efek elektoral dari majunya Muhaimin sebagai calon wakil presiden pada 2024, PKB juga berpeluang mendulang dukungan dengan merawat sekaligus memperkuat basis pemilih tradisionalnya. Bagaimanapun secara historis dan sosiologis kelahiran PKB tidak bisa dilepaskan dari warga Nahdlatul Ulama. Partai ini adalah anak kandung dari NU, begitu narasi yang kuat dikumandangkan dari tokoh-tokoh nahdliyin.
Apalagi hasil pemilu juga memperkuat hal tersebut. Basis pemilih PKB secara umum berada di wilayah kantong-kantong nahdliyin, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hal ini tampak dari porsi sumbangan pemilih dari Jawa Timur dan Jawa Tengah yang lebih besar dibandingkan dengan provinsi lainnya.
Pada Pemilu 1999, dari total 13,3 juta suara yang diraih PKB, separuh lebih (52,7 persen) berasal dari Jawa Timur dan sebesar 22,1 persen disumbang dari Jawa Tengah. Angka ini relatif bertahan pada Pemilu 2004.
Pada Pemilu 2009, dominasi Jawa Timur berkurang menjadi 37,4 persen, sedangkan dari Jateng tercatat 23 persen. Komposisi ini relatif stabil pada Pemilu 2024 dan 2019. Bagaimanapun dua provinsi ini memang menjadi basis dari nahdliyin, terutama Jawa Timur, yang sumbangan pemilihnya terhadap total suara nasional PKB lebih tinggi ketimbang provinsi lainnya. Bahkan, proporsinya lebih tinggi dari persentase perolehan suara PKB secara nasional.
Karena itu, menjadi wajar jika kemudian pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang diusung koalisi Partai Nasdem, PKS, dan PKB menjadikan wilayah Jawa Timur sebagai wilayah sasaran elektoral.
Pilihan menjadikan Kota Surabaya sebagai tempat deklarasi pasangan ini pada 3 September 2023 memberikan sinyal Jawa Timur dipandang sebagai lumbung suara yang nantinya diharapkan tidak saja akan mampu mempertahankan tren positif elektoral bagi PKB, tetapi juga mampu mendulang suara bagi Anies-Muhaimin.