Membuka Mata Dunia pada Ancaman Kemanusiaan di Palestina
Bom atau peledak dari pesawat udara menjadi penyebab kematian terbesar bagi warga sipil Palestina. Sekitar 6 dari 10 korban tewas sipil Palestina diakibatkan oleh serangan udara.
Oleh
YULIUS BRAHMANTYA PRIAMBADA
·5 menit baca
Konflik bersenjata kembali berkecamuk di Gaza. Ketegangan antara Israel dan Palestina yang telah berlangsung sejak lama kini kembali memicu aksi kekerasan bersenjata yang menelan banyak korban jiwa. Perlu dukungan dari berbagai negara untuk mencari jalan keluar agar konflik ini segera reda.
Serangan yang dilancarkan Hamas dan kelompok bersenjata Palestina lainnya ke wilayah Israel pada Sabtu (7/10/2023) benar-benar mengejutkan dunia. Gempuran yang dinamai Badai Al-Aqsa ini dinilai sebagai serangan bersenjata paling mematikan terhadap Israel sejak Perang Yom Kippur pada 1973.
Salah satu indikator betapa mematikannya serangan itu adalah jumlah korban yang ditimbulkannya. Melansir data dari Associated Press, jumlah korban meninggal di Israel sehari setelah penyerangan mencapai lebih dari 700 jiwa. Sementara itu, sebanyak 150 orang ditangkap Hamas untuk dijadikan tawanan. Hingga hari keenam, korban tewas dari pihak Israel diperkirakan mencapai 1.300 jiwa, sementara 3.400 korban luka-luka. Jumlah ini merupakan yang terbanyak selama beberapa puluh tahun terakhir.
Melihat besarnya skala yang ditimbulkan oleh serangan Hamas, Pemerintah Israel segera melancarkan aksi balasan yang tak kalah mematikan. Serangan paling awal yang diluncurkan oleh Israel adalah membombardir Jalur Gaza menggunakan pesawat tempurnya.
Selain itu, Israel—yang secara resmi telah mendeklarasikan perang terhadap Hamas pada Minggu (8/10/2023)—telah memobilisasi setidaknya 360.000 tentaranya. Israel juga melakukan blokade aliran pangan, listrik, dan bahan bakar ke Jalur Gaza sebagai bagian dari pembalasan terhadap aksi bersenjata Hamas.
Konflik itu menuai pro dan kontra sejumlah negara di dunia. Negara-negara sekutu Israel, seperti Amerika Serikat dan Perancis, secara terbuka mendukung langkah Israel dalam membalas aksi Hamas. Sementara itu, sejumlah negara sahabat Palestina, seperti Iran, dengan tegas menyatakan serangan Hamas adalah ekses dari kekejaman Israel terhadap warga Palestina selama bertahun-tahun.
Namun, di tengah perdebatan dan adu dukungan terhadap kedua belah pihak, ada satu hal yang tak boleh dilupakan. Hal itu adalah ancaman bencana kemanusiaan yang mengintai jutaan warga di wilayah Gaza dan sekitarnya.
Perang dan kematian memang bukan barang asing bagi warga Palestina dan Israel. Sejak pendeklarasian Negara Israel pada 14 Mei 1948, masyarakat di wilayah yang dikenal sebagai Levant Selatan itu selalu berada dalam bayang-bayang kecamuk perang.
Setidaknya terdapat tiga perang besar antara Israel dan koalisi negara-negara sekitarnya, seperti Suriah, Mesir, Jordania, dan Lebanon. Perang pertama adalah Perang Arab-Israel tahun 1948, perang berikutnya adalah Perang Enam Hari yang terjadi pada 1967, dan ketiga merupakan Perang Yom Kippur yang berlangsung pada 1973.
Setelah itu, Israel pernah dua kali bertempur di tanah Lebanon, yakni pada 1982 melawan pasukan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Suriah. Pertempuran kedua terjadi pada 2006 yang kala itu melawan Hezbollah, salah satu kelompok politik dan bersenjata dari Lebanon.
Kemudian, sebelum tahun 2023, telah terjadi empat kali pertempuran besar terbuka antara Israel dan kelompok bersenjata Palestina. Keempat pertempuran tersebut terjadi pada 2008, 2012, 2014, dan 2021.
Korban sipil
Semua peperangan tersebut selalu memakan korban jiwa dari masyarakat sipil dalam jumlah besar. Berdasarkan data dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA), setidaknya terdapat 6.715 korban jiwa dan 158.867 korban luka dari kurun Januari 2008-September 2023. Dari jumlah itu, sebanyak 95,4 persen korban meninggal dan 96 persen korban luka berasal dari warga Palestina.
Apabila ditelisik lebih dalam lagi, setidaknya 59,3 persen atau 3.803 korban meninggal dari Palestina merupakan warga sipil. Selanjutnya, ada 15,9 persen atau 1.022 lainnya adalah anggota kelompok bersenjata. Sebanyak 24,6 persen sisanya tidak dapat dipastikan identitasnya, apakah warga sipil atau kelompok bersenjata.
Data OCHA juga memberikan informasi bahwa korban meninggal dari warga sipil Palestina kebanyakan berkaitan dengan situasi pertempuran besar, yakni sebanyak 1.795 jiwa atau 47,2 persen dari total korban jiwa sipil. Hal ini mengindikasikan bahwa konflik bersenjata di wilayah Israel dan Palestina menempatkan warga sipil Palestina sebagai kelompok paling rawan menjadi korban fatal peperangan.
Apabila dilihat unsur senjatanya, bom atau peledak dari pesawat udara merupakan penyumbang kematian terbesar bagi warga sipil Palestina. Setidaknya sekitar 6 dari 10 korban tewas sipil Palestina diakibatkan serangan udara. Korban tewas berikutnya sebesar 35,4 persen akibat terjangan amunisi senjata.
Data tersebut memberikan gambaran betapa mengerikannya dampak dari serangan udara yang dilancarkan Israel terhadap warga Palestina. Adapun wilayah Palestina yang mendapat gempuran paling keras dari militer Israel adalah Jalur Gaza. Lebih dari separuh atau 2.158 korban meninggal dari warga sipil Palestina berada di Jalur Gaza yang tersebar di lima distrik.
Jika jumlah korban tewas di Jalur Gaza dibagi dengan luas wilayahnya yang hanya sebesar 377,4 kilometer persegi, terdapat sekitar lima kematian warga sipil Palestina per kilometer persegi di Jalur Gaza dalam kurun 2008 hingga September 2023. Hal ini makin menegaskan tingginya ancaman maut yang mendera warga Palestina di Jalur Gaza akibat konflik bersenjata yang tak kunjung usai.
Bencana kemanusiaan
Ancaman maut itu sepertinya akan semakin meningkat seiring aksi balasan yang telah dilancarkan militer Israel dan sejumlah rencana aksi lainnya yang mungkin sedang dipersiapkan. Al Jazeera melaporkan, hingga 13 Oktober 2023, serangan udara Israel telah memakan 1.800 korban jiwa dan lebih dari 6.300 korban luka di Jalur Gaza.
Jumlah tersebut kemungkinan akan terus bertambah mengingat Israel telah mengeluarkan ultimatum untuk mengosongkan wilayah utara Jalur Gaza. Perintah ini diduga sebagai persiapan serangan darat yang hendak dilancarkan oleh Israel dalam waktu dekat.
Dengan adanya ultimatum itu, setidaknya 1,1 juta jiwa penduduk atau separuh dari total populasi Jalur Gaza harus berpindah ke wilayah selatan ke arah Rafah, perbatasan Jalur Gaza dengan Mesir, hanya dalam waktu 24 jam. Tindakan Israel ini segera dikecam oleh PBB karena tidak mungkin dilakukan tanpa menimbulkan dampak kemanusiaan (Kompas, 13/10/2023).
Melihat potensi bencana kemanusiaan yang begitu besar, perlu dukungan dari segenap negara di dunia untuk segera mengambil langkah diplomatis guna menciptakan perdamaian di wilayah Jalur Gaza dan sekitarnya. Harapannya, situasi mirip neraka dan kekacauan di Jalur Gaza yang diutarakan oleh UNRWA, badan PBB yang menangani pengungsi Palestina (Al Jazeera, 13/10/2023), dapat dihindari dan jutaan nyawa masyarakat sipil dapat diselamatkan.