Optimalisasi Lahan Tingkatkan Hasil Pertanian Pangan
Lahan memiliki peran vital dalam produksi pertanian sehingga perlu upaya perlindungan agar lahan tak mudah beralih peruntukan.
Oleh
AGUSTINA PURWANTI, YOHANES ADVENT KRISDAMARJATI
·5 menit baca
Lahan memiliki peran vital dalam produksi pertanian sehingga perlu upaya perlindungan agar lahan tak mudah beralih peruntukan. Selain itu, lahan tidur juga perlu dimanfaatkan guna meningkatkan produksi padi dan menjaga stok pangan di tengah anomali iklim yang kian mengancam produktivitas lahan.
Kajian Direktorat Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional menemukan, dengan lahan sawah seluas 8,1 juta hektar, Indonesia mampu menghasilkan 35,5 juta ton beras. Produksi tersebut akan mampu mencukupi kebutuhan 34,2 juta ton beras untuk 300 juta jiwa di tahun 2030.
Sayangnya, alih fungsi lahan sawah di Indonesia masih terus berlangsung. Rata-rata konversi lahan sawah menjadi nonsawah mencapai 100.000 hektar per tahun. Sementara, kemampuan mencetak sawah hanya sekitar 60.000 hektar setahun (Kompas, 12/10/2023). Dengan masifnya fenomena tersebut, Kementerian Pertanian memperkirakan ketersediaan lahan sawah Indonesia hanya akan tersisa 6,5 juta hektar tahun 2030.
Kondisi itu menuntut langkah tegas dari pemerintah untuk menginstruksikan kepada daerah segera mengadopsi Undang-Undang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang sudah diundangkan sejak 2009. Hingga 2019, belum ada separuh dari total kabupaten/kota di Indonesia yang sudah menetapkan LP2B dalam Perda RTRW (44,29 persen). Terbaru, data Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, per Juni 2023, masih ada sembilan provinsi yang belum melaporkan penetapan LP2B.
Implementasi aturan
Dalam upaya melindungi lahan pertanian, pemerintah setidaknya memiliki dua konsep, yakni LP2B dan Lahan Sawah Dilindungi (LSD). Namun, daya proteksi LP2B dinilai lebih kuat. Seperti diakui Pelaksana Tugas Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Indramayu Sugeng Heryanto.
”Di Indramayu terdapat lahan dengan status LSD dan LP2B. Tapi yang benar-benar terproteksi yaitu LP2B,” kata Sugeng saat ditemui Kompas pada Selasa (3/10/2023).
Kendati demikian, upaya perlindungan lahan seyogianya tidak hanya berhenti pada penetapan aturan. Beleid yang sudah ada patutnya diikuti dengan komitmen dan ketegasan pemerintah terkait mewujudkannya di lapangan. Sebab, praktik-praktik alih fungsi lahan di area terlindung masih kerap ditemukan.
Salah satunya penggunaan LP2B untuk proyek eksplorasi sumur minyak PT Pertamina di Desa Tenajar, Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Namun, langkah tegas Pemerintah Kabupaten Indramayu mampu menahan upaya penyimpangan tersebut.
”Sekarang ada dua lokasi Pertamina yang ditutup karena ada di lahan LP2B,” ungkap Sugeng. Penutupan proyek itu baru berlangsung pada Selasa. Sebelumnya, dilakukan penutupan terhadap lokasi serupa milik PT Pertamina yang berada di Desa Pondoh, Kecamatan Juntinyuat pada Agustus 2023. Peristiwa ini menjadi salah satu contoh keseriusan pemerintah daerah dalam melindungi lahan pertanian di wilayahnya.
Dalam skala lebih luas, upaya perlindungan lahan juga perlu ditegakkan. Kementerian Pertanian menyebutkan, saat ini terdapat 200 kontrak kerja sama yang melakukan kegiatan hulu migas di Indonesia. Jika pun terpaksa menggunakan lahan pertanian terlindung, konsekuensi yang tertuang dalam peraturan harus dipatuhi, terutama relokasi lahan pertanian.
Merujuk UU LP2B Nomor 41 Tahun 2009, pengganti yang harus disiapkan untuk lahan irigasi LP2B minimal tiga kali luas lahan yang dialihfungsikan untuk kepentingan umum. Sementara untuk lahan rawa dan lahan nonirigasi minimal dua kali dan satu kali dari luasan yang dialihfungsikan.
Lahan tidur
Lahan lainnya yang dapat pula dimanfaatkan untuk budidaya pertanian adalah lahan tidur yang tidak dikelola. Seperti diungkapkan Prof Dr Ir Akhmad Rizali, M.Sc, Guru Besar Bidang Ilmu Pengendalian Hayati Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat.
”Di tempat kita ini banyak lahan yang belum terberdayakan. Misalnya di daerah, ada lahannya tetapi pemiliknya di kota besar sehingga lahannya nganggur,” kata Akhmad saat ditemui di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Jumat (6/10/2023).
Data Statistik Lahan Pertanian yang disusun BPS mencatat, terdapat sekitar 11,7 juta hektar lahan yang untuk sementara tidak diusahakan di tahun 2019. Lahan ini biasanya diusahakan tetapi untuk sementara (lebih dari setahun dan kurang dari dua tahun) tidak.
Luasan tersebut bahkan lebih besar dari lahan baku sawah yang ada saat ini, sekitar 7,3 juta hektar. Artinya, ada peluang besar untuk mencetak lahan sawah baru guna meningkatkan produksi padi di tengah masifnya alih fungsi lahan. Meskipun tidak semua lahan tidur bisa dimanfaatkan untuk pertanian padi karena sifat tanahnya yang mungkin tidak sesuai, dengan data yang lebih spesifik dapat memberikan alternatif solusi bagi kebijakan pemerintah.
Dengan pendataan yang lengkap dan perlindungan hukum yang kuat, upaya pemerintah dalam melestarikan dan meningkatkan lahan sawah masih memungkinkan. Upaya itu akan lebih optimal jika dibarengi dengan sistem pengairan yang mampu mendukung budidaya tanaman pangan.
Ketersediaan pupuk
Selain air, pupuk juga menjadi unsur penting yang tidak bisa dipisahkan dari lahan. Hasil analisis regresi yang dilakukan Litbang Kompas menemukan bahwa variabel pupuk signifikan memengaruhi produksi padi. Maka dari itu, ketersediaan pupuk juga perlu mendapat perhatian pemerintah guna mengoptimalkan produktivitas lahan.
Selama ini pupuk sebagai pendukung pertanian masih sangat problematik. Kelangkaan hingga mahalnya harga pupuk masih terus mengganjal produksi padi. Secara statistik, distribusi pupuk subsidi terus berkurang dari tahun ke tahun. Tahun 2018, realisasi penyalurannya mencapai 9,3 juta ton dan turun menjadi 7,9 juta ton di tahun 2021.
Penurunan ini sejalan dengan kian dipangkasnya anggaran APBN untuk subsidi pupuk. Tahun 2019 pemerintah menganggarkan Rp 34,3 triliun untuk subsidi pupuk, tetapi nilainya menurun menjadi Rp 29,7 triliun pada tahun lalu. Sejak Juli 2022, jenis pupuk bersubsidi pun dibatasi hanya pada urea dan NPK serta dikurangi kuotanya. Alhasil, pupuk bersubsidi yang diterima petani semakin sedikit.
Seperti dialami dialami Sumitra (58), petani padi di Desa Banjaransari, Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Dalam setahun, ia hanya memperoleh pupuk urea dan pupuk NPK bersubsidi dengan total 400 kilogram. Menurut pengalamannya, pupuk subsidi yang ia peroleh hanya dapat memenuhi kebutuhan setengah hektar sawah untuk satu musim tanam. ”Padahal, saya menggarap 4,5 hektar sawah dan menanam dua kali musim,” katanya saat ditemui Kompas di lahan garapannya, Rabu (4/10/2023).
Terbatasnya ketersediaan pupuk sejatinya bisa diatasi dengan pemanfaatan pupuk organik. ”Dalam tahap awal, hasil dari penggunaan pupuk organik pasti kalah dengan pupuk kimia karena membutuhkan proses penyesuaian dengan tanah. Namun, seiring waktu, produksinya akan meningkat,” kata Dwi Putra Kurniawan, Ketua Serikat Petani Indonesia wilayah Kalsel, saat ditemui di kediamannya, Minggu (1/10/2023).
Perlu diakui, ketergantungan petani Indonesia pada pupuk kimia sangat tinggi. Namun, upaya adaptasi penggunaan pupuk organik mendesak dilakukan mengingat subsidi pupuk kimia kian menyusut. Selain itu, penggunaan pupuk organik akan memberi keuntungan berupa produktivitas lahan yang lebih baik dalam jangka panjang. (LITBANG KOMPAS)