Minimnya Tampungan Air untuk Irigasi Pertanian
Ketersediaan suplai air masih menjadi persoalan krusial yang dihadapi mayoritas petani, terutama ketika muncul fenomena El Nino.
Air merupakan salah satu faktor produksi penting dalam budidaya tanaman padi. Namun, hingga kini, ketersediaan suplai air masih menjadi persoalan krusial yang dihadapi mayoritas petani, terutama ketika muncul fenomena El Nino.
Pada tahun ini, kemarau panjang melanda sebagian wilayah Indonesia, termasuk sejumlah provinsi penghasil padi terbesar nasional. Terhitung delapan dari 10 provinsi lumbung padi nasional masih dilanda kemarau panjang. Delapan provinsi itu yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, dan Nusa Tenggara Barat.
Merujuk pada prakiraan awal musim hujan 2023/2024 dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), akan terjadi keterlambatan datangnya musim hujan di delapan wilayah penghasil padi itu. Sebagian besar akan mengalami keterlambatan selama tiga dasarian (30 hari) atau bahkan lebih. Ini disebabkan oleh fenomena El Nino atau kemarau kering di wilayah Indonesia dengan kategori moderat. Artinya hal ini akan memengaruhi jadwal tanam padi periode Oktober-Maret tahun 2023/2024.
Direktur Irigasi Kementerian Pertanian Rahmanto menyampaikan, periode tanam Oktober-Maret merupakan masa tanam padi yang paling tinggi potensi produksinya. Saat ditemui di Jakarta, (26/9/2023), Rahmanto menambahkan, lahan sawah nasional seluas 7,46 juta hektar bisa ditanami seluruhnya. Komposisi sawah tersebut terdiri dari 4,7 juta hektar (63 persen) lahan teririgasi dan sebagian lagi merupakan sawah tadah hujan seluas 2,76 hektar (37 persen).
Apabila terjadi keterlambatan musim hujan, tampungan air seperti waduk, rawa, dan embung belum akan terisi air kembali setelah mengairi masa tanam April-September yang berada pada musim kemarau. Ketersediaan air ini menjadi salah satu penentu dimulainya musim tanam sehingga apabila musim hujan mundur, akan berdampak pada potensi produksi padi pada periode Oktober-Maret.
Secara umum, kebutuhan akan pengairan padi dipenuhi dari dua sumber, yakni dari irigasi dan air hujan. Subkoordinator Irigasi Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Indramayu, Jabar, Puryanto menjelaskan bahwa kebutuhan akan air sawah 60 persen dipenuhi dari irigasi, sementara 40 persen dari air hujan. ”Maka itu, sekalipun terdapat irigasi, masih diperlukan juga air hujan untuk mengairi sawah, terutama bagi sawah tadah hujan,” ujarnya di Indramayu, Selasa (3/10/2023).
Baca juga: Terdampak Kekeringan, Ratusan Hektar Sawah di Sultra Gagal Panen
Pentingnya fungsi air tersebut sejalan dengan temuan Litbang Kompas dalam analisis regresi data panel yang menggabungkan antara data cross section 34 provinsi di Indonesia dan data series dari sejumlah variabel yang diteliti dari rentang 2002 hingga 2022. Variabel yang digunakan ialah luas lahan, tenaga kerja, pupuk, nilai tukar petani (NTP), curah hujan, dan suhu udara yang memiliki pengaruh kuat terhadap produksi padi nasional.
Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel terkait iklim, yakni suhu udara dan curah hujan, berdampak signifikan terhadap produksi padi nasional. Kedua variabel iklim ini saling terikat erat karena semakin panas suhu udara, curah hujan kian minim sehingga memicu kekeringan yang dapat berimbas pada rendahnya produktivitas tanaman padi.
Manajemen pengairan
Menyediakan air yang cukup bagi areal pertanian nasional memang tidak mudah. Ismail Widadi, Direktur Irigasi dan Rawa Kementerian PUPR, pada wawancara daring bersama Litbang Kompas, Selasa (10/10/2023), menyebutkan bahwa potensi air permukaan yang dapat ditangkap dan dimanfaatkan relatif masih kecil. ”Potensi air per tahun sebesar 2,78 triliun meter kubik, tetapi yang dapat tertampung hanya sekitar 693 miliar kubik atau 25 persen. Sebanyak 75 persennya langsung berakhir ke laut.” Dari air yang tertampung itu, lanjut Ismail, sekitar 76 persen untuk irigasi persawahan.
Tingginya suplai air untuk irigasi itu menyebabkan produksi tanaman padi yang berasal dari sekitar areal pengairan irigasi teknis mencapai kisaran 86-87 persen dari total produksi nasional. Ini menyebabkan distribusi dan manajemen air irigasi sangat penting bagi keberhasilan produksi pangan nasional.
Namun, ada sejumlah tantangan dalam mengelola dan mendistribusikan air irigasi ini. Pasalnya, dengan suplai air yang terbatas, manajemen air harus diatur secara merata guna mengairi lahan sawah yang luas. Hampir semua daerah sentra produksi padi nasional di Pulau Jawa menghadapi persoalan pelik ini setiap saat.
Di Jawa Tengah, misalnya, dari luasan lahan sawah yang dilindungi seluas 962.458 hektar, hanya 278.814 hektar atau sekitar 29 persen yang mendapat suplai air irigasi dari 44 bendungan. Sisanya masih mengandalkan sadapan air dari sungai atau dari air hujan. Menurut Eko Yunianto, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang (Pusdataru) Jawa Tengah, dari potensi sekitar 68 miliar kubik air permukaan yang ada di Jateng, hanya 1,8 miliar kubik yang dapat tertampung.
Baca juga: El Nino Berpotensi Pengaruhi Musim Tanam I Padi
”Oleh karena itu, membangun tampungan air sangat penting untuk memperluas cakupan irigasi. Namun, hal ini bukan satu-satunya cara, akan lebih efektif lagi apabila mampu menyimpan air lebih lama di dalam bumi melalui serapan pepohonan atau upaya konservasi. Dampak positifnya berupa base flow air yang terus mengalir saat musim kemarau tiba,” tutur Eko, Senin (9/10/2023).
Menurut data Pusdataru Jateng pada minggu kelima September 2023, enam daerah aliran sungai (DAS) besar yang terdiri dari Serayu-Citanduy, Progo-Bogowonto-Luk Ulo, Bengawan Solo, Serang-Lusi-Juanan, Bodri-Kutho, dan Pemali-Comal semuanya memiliki nilai ”Faktor K=1”, kecuali wilayah Pemali Comal yang nilai K-nya 0,25. Nilai K=1 artinya ”aman” karena debit sungai lebih besar daripada kebutuhan, sedangkan K=0,25 artinya sangat rawan kekeringan karena debit sungai lebih kecil daripada kebutuhannya. Ini mengindikasikan bahwa serapan air di wilayah DAS Pemali-Comal yang membentang dari wilayah Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, hingga Cirebon relatif kurang baik sehingga debit airnya relatif sangat kecil saat musim kemarau tiba.
Tantangan untuk memperluas distribusi air irigasi itu kian dipersulit dengan adanya sejumlah kerusakan pada jaringan irigasi. Di Jateng, misalnya, menurut data Bappeda provinsi tahun 2021, terdapat sekitar 11 persen kerusakan jaringan irigasi skala berat, 16 persen skala sedang, dan 17 persen skala berat. Bila diakumulasikan, sekitar 45 persen jaringan irigasi di wilayah Jateng dalam kondisi rusak sehingga akan berdampak dalam distribusi air untuk pengairan sawah.
Kian minimnya distribusi air itu sayangnya kurang menjadi perhatian serius bagi sejumlah petani. Ismail Widadi mengatakan, petani terbiasa menanam padi kurang efisien dalam menggunakan air. Petani rata- rata menggelontorkan air 1,2-1,8 liter per detik per hektar untuk mengairi sawah mereka. Hal ini sebagai tindakan pemborosan air karena pengairan sawah untuk padi cukup 0,8-0,9 liter per detik per hektar. Bila semua petani melakukan langkah efisien ini, dapat menghemat air irigasi 25-50 persen.
Alih fungsi lahan
Di luar ancaman perubahan iklim dan irigasi pertanian, faktor non-alam juga masih terus menghantui sektor pertanian padi di Indonesia. Salah satunya adalah alih fungsi lahan sawah yang hingga saat ini terus terjadi.
Baca juga: Alih Fungsi Jadi Perumahan, Areal Persawahan di Padang Terus Menyusut
Merujuk data analisis Direktorat Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan Kementerian ATR/BPN tahun 2019, rata-rata konversi lahan sawah menjadi nonsawah di Indonesia mencapai 100.000 hektar per tahun. Sementara itu, rata-rata kemampuan mencetak sawah hanya 60.000 hektar setahun. Artinya, terjadi selisih alih fungsi lahan sawah sekitar 40.000 hektar per tahunnya. Lebih luas daripada total area Kota Surabaya.
Padahal, lahan menjadi salah satu faktor penting tercapainya target produksi padi di Indonesia. Hasil pengolahan regresi data panel yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan, setiap penambahan 1.000 hektar area lahan sawah akan mendorong peningkatan produksi padi sekitar 4.370 ton. Jadi, dengan alih fungsi lahan sawah di Indonesia saat ini, diperkirakan dapat menurunkan produksi padi sekitar 174.800 ton setahun. (LITBANGKOMPAS)