Konservasi Air Jaga Produksi Padi Nasional di Tengah Krisis Iklim
Tersedianya banyak tampungan air yang mampu mendistribusikan air secara luas dapat mendorong produktivitas pertanian meningkat signifikan.
Manajemen air untuk irigasi persawahan memiliki peran sangat penting dalam menjaga produksi padi nasional. Terlebih ketika cuaca ekstrem seperti kemarau panjang saat ini, lahan sawah banyak membutuhkan asupan air dari sistem irigasi.
Merujuk dari dokumen Rencana Strategis 2020-2024 dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tercantum bahwa di Indonesia terdapat 7,1 juta hektar jaringan irigasi permukaan. Seluruh areal irigasi itu berkontribusi besar terhadap hasil budidaya tanaman padi di seantero Indonesia.
Direktur Irigasi dan Rawa Kementerian PUPR Ismail Widadi menyebutkan, produksi tanaman padi yang berasal dari sekitar areal pengairan irigasi teknis mencapai 86 persen dari total produksi nasional, Selasa (10/10/2023). Hal ini menunjukkan bahwa peranan irigasi persawahan itu sangat krusial bagi ketahanan pangan Indonesia.
Tingginya suplai air untuk irigasi masih potensial untuk terus ditingkatkan. Ismail mengatakan, seluruh air untuk irigasi persawahan itu hanya 11-13 persen berasal dari bendungan. Sisanya dari sungai, air tanah, pompa, irigasi rawa, dan irigasi tambak.
Oleh karena itu, kata Ismail, perlu strategi untuk membangun infrastruktur air sebanyak-banyaknya. Apalagi, potensi sumber daya air Indonesia sangat besar, yakni mencapai 2,78 triliun meter kubik per tahun. Dari potensi sumber daya air tersebut yang termanfaatkan baru sekitar 693 miliar kubik setahun atau hanya 25 persen. Dengan membangun tampungan air yang banyak dan dilengkapi jaringan irigasi yang luas, peluang untuk meningkatkan produksi pangan akan semakin besar.
Baca juga: Faktor Iklim Tekan Produksi Padi
Dengan jaringan irigasi yang baik, petani dapat berstrategi meningkatkan hasil pertaniannya secara optimal. Satu kawasan yang merasakan manfaat irigasi itu adalah sentra produksi padi di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Menurut Sudarjo (73), Ketua Kelompok Tani Manggala Tirta di Desa Maoskidul, Maos, Cilacap, mengakui bahwa jaringan irigasi Sungai Serayu memberi berkah bagi petani di daerahnya. Mulai masa tanam pertama tahun ini, kelompok taninya berencana menanam padi sebanyak tiga kali dari biasanya yang hanya dua kali dan satu kali ”salibu”.
Salibu, kata Sudarjo, adalah produksi padi pada masa tanam ketiga, tetapi hanya dengan memanfaatkan tunas baru yang tumbuh dari batang padi yang masih tertancap di sawah setelah di panen. ”Namun, model hasil salibu ini hanya menghasilkan padi 3-4 ton per hektar. Jauh dari produksi padi musim tanam normal yang berkisar 7-10 ton per hektar. Oleh karena itu, petani di daerah kami sepakat mulai masa tanam ini akan memproduksi padi hingga tiga kali masa tanam agar hasil produksinya lebih tinggi lagi. Apalagi, di daerah kami air irigasi berlimpah dan selalu tersedia,” ujarnya.
Konservasi lingkungan
Selain menambah bangunan infrastruktur penampung air, ada hal lainnya yang juga perlu dilakukan untuk menjaga suplai air agar terus mengisi infrastruktur tersebut, yakni konservasi lingkungan.
Eko Yunianto, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang (Pusdataru) Provinsi Jawa Tengah, menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur penampung itu baiknya juga disertai dengan upaya menjaga air hujan tersimpan lama di perut bumi. Salah satu caranya dengan melakukan langkah reboisasi dan pelestarian alam.
”Semakin lestari alam, maka akan menghasilkan aliran dasar sungai (base flow) yang baik pada aliran permukaan. Sungai-sungai tetap akan mengalirkan air meskipun pada saat musim kemarau sekalipun,” kata Eko, Senin (9/10/2023).
Terjaganya suplai air ini akan memberikan manfaat secara optimal bagi masyarakat sekitarnya, misalnya irigasi persawahan hingga pemanfaatan air baku. Di musim hujan pun air terserap ke dalam tanah secara optimal sehingga meminimalisasi bencana banjir karena air tersimpan di dalam bumi secara baik.
Baca juga: Minimnya Tampungan Air untuk Irigasi Pertanian
Pentingnya kelestarian alam dalam mendukung pertanian itu sejalan dengan analisa regresi data panel yang dilakukan Litbang Kompas. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel iklim itu berpengaruh besar terhadap produksi padi nasional. Setiap kenaikan suhu udara sebesar 1 derajat celsius akan menurunkan 4.500 ton produksi padi nasional dalam setahun. Untuk variabel lainnya, yakni curah hujan akan mendorong kenaikan produksi padi tiap provinsi sekitar 42 ton untuk setiap peningkatan curah hujan sebesar 1 milimeter.
Variabel iklim yang berwujud suhu udara dan curah hujan dalam model ekonometrika itu secara tidak langsung menggambarkan betapa pentingnya peran air dalam produksi tanaman pangan. Suhu udara yang panas dan minim air tentu akan berdampak pada kekeringan. Pada fase inilah kelestarian lingkungan dalam menyimpan air di dalam perut bumi itu sangat dibutuhkan agar mengalirkan air bagi masyarakat. Pun demikian, saat musim hujan tiba, vegetasi hutan dan kerapatan pohon tentu sangat diperlukan untuk menyimpan air sehingga mencegah timbulnya bencana banjir dan tanah longsor.
Membangun tampungan air
Data neraca air dalam Renstra Dirjen SDA Kementerian PUPR 2020-2025 menunjukkan bahwa sentra produksi padi nasional di Pulau Jawa justru mengalami defisit air. Total potensi sumber daya air di Jawa mencapai 175,6 miliar meter kubik per tahun. Namun, ketersediaan air permukaannya hanya 30,57 miliar meter kubik setahun yang menandakan banyak potensi air yang belum termanfaatkan. Hal ini menyebabkan defisit air permukaan di Pulau Jawa karena kebutuhan per tahunnya lebih besar dari ketersediaannya, yakni berkisar 78 miliar meter kubik.
Hal tersebut menjadi persoalan serius bagi produksi tanaman padi yang sangat membutuhkan asupan air dalam proses budidayanya. Apalagi, Jawa merupakan pulau terbesar penghasil padi di Indonesia dengan kisaran produksi sekitar 30,67 juta ton atau 56 persen dari output nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas tampungan ketersediaan air di Pulau Jawa agar kian optimal mendorong peningkatan produksi padi.
Baca juga: Alih Fungsi Lahan Mengancam Produksi Padi Nasional
Salah satu caranya dengan membangun infrastruktur waduk untuk suplai air baku sehingga dapat melayani kebutuhan air masyarakat dan pertanian. Dengan suplai air yang cukup, diharapkan dapat mengurangi pengambilan air tanah yang dapat memicu land subsidence terutama di kawasan pesisir pantai.
Saat ini, ada sejumlah proyek pembangunan waduk yang sedang dikerjakan di Pulau Jawa. Beberapa di antaranya dikerjakan di wilayah Jateng. Menurut Eko, saat ini ada lima waduk yang sudah selesai, yakni Jatibarang, Logung, Gondang, Pidekso, dan Randugunting. ”Ada lagi tiga waduk yang masih berjalan proyeknya multiyears, seperti Jargung, Jlantah, dan Bener. Selain itu, ada enam waduk lagi dalam proses perencanaan yang terdiri dari empat waduk yang sudah dilengkapi readiness criteria, seperti Waduk Bantarkawung, Karanganyar, Pemalang, Kedung Langgar, dan Dolok. Masih ada dua waduk lagi yang direncanakan dan sedang dipersiapkan dokumennya, yakni Waduk Bodri dan Matenggeng,” tuturnya.
Waduk-waduk itu, kata Eko, akan semakin memperkuat ketahanan pangan Jateng. Waduk Randugunting akan mengairi lahan sawah yang cenderung kering (tadah hujan) di wilayah Blora dan Rembang. Hadirnya waduk ini berpotensi besar mendorong produksi padi lebih tinggi lagi.
Namun, Eko kembali menegaskan bahwa ketersediaan tampung air yang banyak itu harus disertai dengan upaya konservasi di sekitar wilayah daerah aliran sungainya. Dengan demikian, waduk dan bendungan akan terus terjaga kualitasnya sehingga dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Setidaknya dalam mengatur manajemen air irigasi pertanian yang berperan meningkatkan produksi pertanian tanaman pangan. (LITBANG KOMPAS)