Signifikansi Jokowi dalam Pilpres 2024
Sosok Jokowi masih memiliki pengaruh dalam memberikan efek elektoral di pemilihan presiden mendatang. Sejauh mana signifikansi pengaruhnya?
Dinamika perubahan peta koalisi partai menjadi suatu keniscayaan bagi setiap kekuatan politik dalam upaya mencari dan mendapatkan oportunitas politik yang terbaik.
Apa pun latar belakang perbedaan ideologi, visi, misi, program kerja partai, hingga perbedaan karakteristik pendukungnya, akan tersisihkan oleh besaran potensi benefit politik yang dapat diraih.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Menjelang pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden Pemilu 2024, dinamika persaingan politik semakin sengit. Sejalan dengan perubahan manuver partai-partai politik dalam mengusung pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden, berbagai koalisi partai yang sebelumnya terbentuk menjadi bubar.
Terakhir, upaya Nasdem menyandingkan Anies Baswedan bersama Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB, sontak memorak-porandakan soliditas Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang dibangun Nasdem, Demokrat, dan PKS.
Tidak hanya itu, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang tahun lalu, pada 13 Agustus 2022, dideklarasikan oleh Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar, pupus. Termasuk kelanjutan nasib KKIR yang menjadi koalisi ”super jumbo”, menguasai 45 persen kursi DPR setelah menyusul bergabungnya Golkar dan PAN.
Dapat dipastikan, dalam bilangan minggu-minggu terakhir menuju pendaftaran bakal calon presiden bersama wakilnya ke KPU, arena persaingan politik semakin dinamis lagi. Berbagai koalisi partai yang terbentuk menjadi semakin cair. Tidak terjaminkan terbentuk suatu kerja sama partai yang solid hingga resmi bakal calon presiden dan wakilnya didaftarkan.
Dinamika perubahan peta koalisi partai menjadi suatu keniscayaan bagi setiap kekuatan politik dalam upaya mencari dan mendapatkan oportunitas politik yang terbaik.
Apa pun latar belakang perbedaan ideologi, visi, misi, program kerja partai, hingga perbedaan karakteristik pendukungnya, akan tersisihkan oleh besaran potensi benefit politik yang dapat diraih. Inilah kepentingan pragmatis partai yang amat menonjol tersirat dalam ajang pencapresan kali ini.
Pada sisi lain, dorongan penciptaan benefit politik terbaik bagi partai politik semakin mendapat ruang, sejalan dengan semakin kompetitifnya persaingan antartokoh politik yang dinominasikan sebagai bakal calon presiden.
Berbeda dengan ajang pemilu sebelumnya, pada ajang kali ini kemunculan sosok bakal calon presiden tidak terkubu pada dua sosok saja. Begitu pula, dari sosok-sosok yang sejauh ini banyak dirujuk publik, belum ada satu pun bakal calon presiden yang menonjol dalam jumlah dukungan pemilihnya.
Menjadi semakin rapuh jika dikaji dari kekuatan loyalitas dari masing-masing pendukung sosok tersebut ataupun kalangan pemilih yang hingga kini belum memiliki preferensi sosok bakal calon presiden. Berdasarkan hasil survei, setidaknya hampir sebesar tiga perempat bagian pemilih yang sudah menjatuhkan pilihan pada sosok tertentu.
Dikatakan rapuh, lantaran dari total pemilih yang sudah memiliki preferensi pilihan capres, terlihat belum seluruhnya terbilang loyal dan memastikan bakal setia memilih calon presiden tersebut hingga pemilu mendatang.
Hasil survei mengungkapkan, hanya separuh bagian (44,9 persen) yang sudah memastikan bahwa pilihan mereka tidak akan berubah (strong voter). Sisanya terbilang masih belum memastikan dan dapat berubah di kemudian hari (swing voter).
Apabila dielaborasi pada setiap bakal calon presiden, tampak pula kerapuhan pola dukungan yang terbentuk saat ini. Dengan menggunakan simulasi pilihan tertutup pada tiga bakal calon presiden, tampak bahwa celah perubahan dukungan dari ketiga sosok masih terbuka lebar.
Baik Anies, Ganjar, maupun Prabowo, tidak lebih dari separuh bagian pendukung yang terbilang strong voter, yang kokoh dengan pilihannya. Selebihnya cenderung masih membukakan peluang perubahan.
Baca juga : Mereka yang Tidak Merujuk Jokowi
Faktor Jokowi
Masih rapuhnya pola dukungan pemilih pada tiap-tiap capres sekaligus menunjukkan jika kekuatan sosok capres belum menjadi jaminan keterpilihan, apalagi penentu kemenangan. Dalam penguatan pilihan pemilih, semakin signifikan diperlukan faktor-faktor lain yang turut berperan.
Dalam hal inilah, dapat dimengerti jika manuver partai-partai politik yang belakangan ini gencar, menjadi semakin relevan kiprahnya dalam upaya memperkuat dukungan dan sekaligus meningkatkan peluang manfaat politik yang bakal diraih.
Mencermati segenap manuver politik yang terjadi belakangan ini, keberadaan bakal calon wakil presiden menjadi faktor yang dinilai turut berperan. Setidaknya, bagi partai politik yang berada pada papan menengah penguasaan suara, mencalonkan sosok wakil presiden dan memasangkannya dengan bakal calon presiden papan atas persaingan menjadi strategi yang mampu memperkuat ataupun justru meluluhlantakkan koalisi partai yang dibangun sebelumnya.
PKB yang bersikukuh mencalonkan Muhaimin Iskandar sebagai wakil presiden; Demokrat dengan calonnya, Agus Harimurti Yudhoyono; ataupun PPP dengan sosok Sandiaga Uno, yang berupaya diposisikan sebagai calon wakil presiden, menjadi bukti jika faktor wakil presiden memiliki peran yang signifikan.
Keberadaan sosok calon wakil presiden juga terekam dari hasil survei. Bagian terbesar dari pemilih (60,6 persen) menganggap jika kombinasi pasangan bakal calon presiden dan wakil presidennya menjadi faktor yang menjadi pertimbangan mereka. Hanya mengandalkan kekuatan sosok bakal calon presiden saja tidak cukup menjadi kekuatan untuk meningkatkan keterpilihan.
Terlebih, dengan hanya mengandalkan keberadaan sosok wakil presiden, tidak terlalu signifikan dalam pertimbangan pemilih. Besarnya kehadiran pasangan ketimbang hanya mengandalkan kekuatan sosok capres saja terjadi pada ketiga bakal calon presiden yang menjadi rujukan utama pemilih.
Selain faktor keberadaan pasangan cawapres, hasil survei mengungkapkan faktor keberadaan Presiden Joko Widodo juga signifikan berperan. Bahkan, sejalan dengan semakin tingginya derajat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi, maka semakin besar pula kepercayaan ataupun loyalitas publik pada sosok calon presiden yang direkomendasikan Presiden Jokowi.
Di antara para pemilih ketiga bakal calon presiden, hasil survei menunjukkan jika para pemilih Ganjar yang terbilang paling besar menggantungkan pilihannya pada rekomendasi politik Jokowi.
Begitu pula saat menampilkan simulasi persaingan tiga sosok bakal calon presiden, tampak signifikan keberadaan faktor Jokowi dalam memoderasi pilihan publik. Simulasi persaingan antara Ganjar, Prabowo, dan Anies menunjukkan insentif elektoral potensial diraih oleh setiap sosok jika mendapatkan dukungan politik Jokowi.
Jelang Pemilu 2024 mendatang dapat dipastikan, ”faktor Jokowi” atau ”efek Jokowi” akan semakin mengambil tempat dalam peta persaingan capres. Terpilihnya Muhaimin Iskandar sebagai bakal calon wakil presiden dari Anies Baswedan sedikitnya juga mendekatkan kepada kehadiran faktor ini.
Muhaimin, sosok Ketua Umum PKB, yang berada dalam barisan partai-partai koalisi pemerintahan Presiden Jokowi, bersama dengan Nasdem yang mengusung Anies Baswedan, sejatinya juga menjadi bagian dari kabinet pemerintahan Jokowi.
Hanya saja, apakah pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden ini akan memanfaatkan juga faktor Jokowi dalam upaya memperluas dukungan pemilih saat kampanyenya nanti, masih perlu dibuktikan.
Baca juga : Faktor Jokowi Memperketat Persaingan
Namun, gambaran hasil survei menunjukkan, jika Anies meneruskan program-program kerja yang ditorehkan Jokowi selama pemerintahannya, elektabilitasnya potensial akan bertambah hingga lima persen ketimbang memilih tidak meneruskan. Walaupun, pada sisi lain, sekalipun terdapat dukungan Jokowi pada Anies masih belum mampu mendongkrak posisi elektabilitas dirinya pada posisi puncak persaingan.
Bagi setiap sosok bakal capres yang akan berebut posisi puncak persaingan, terlihat jelas jika faktor Jokowi menjadi determinan. Insentif elektoral yang potensial diciptakannya turut menjadi penentu di saat persaingan yang semakin sengit. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Political Insights: Jokowi Effect