Ketika Harga Minyak Dunia dan Permintaannya Melonjak Bersamaan
Bagi negara ”net importir” seperti Indonesia, kenaikan harga minyak dunia yang terjadi dalam tempo relatif lama dan di atas estimasi skenario ICP akan sangat membebani keuangan negara.
Oleh
BUDIAWAN SIDIK A
·6 menit baca
PT PERTAMINA (PERSERO)
Aktivitas salah satu kapal PT Pertamina International Shipping (PIS), Sub-Holding Integrated Marine Logistics Pertamina. PT PIS bergerak pada bisnis pengangkutan energi, seperti minyak mentah (crude), bahan bakar minyak, elpiji, hingga amonia.
Membaiknya kondisi perekonomian global harus disertai dengan suplai energi yang sepadan dengan tingkat kebutuhannya. Jika suplai tidak sebanding, hal itu akan memicu kenaikan harga yang memberatkan negara-negara importir energi. Mendorong ekonomi berbiaya tinggi dan rentan menggerus keuangan negara demi menjaga stabilitas harga energi di dalam negeri.
Menurut tradingeconomics, pada pertengahan tahun ini harga minyak bumi global kembali merangkak naik. Untuk jenis minyak mentahbrent, harganya berangsur naik dari kisaran 70 dollar AS/barel menjadi 80-an US dollar AS/barel para kurun Juli-Agustus 2023. Pada awal September ini, harganya kembali meningkat hingga lebih dari 90 dollar AS/barel. Puncaknya, pada 19 September lalu menyentuh angka 94 dollar AS/barel dan kemudian sedikit menurun di kisaran 92 dollar AS/barel pada 26 September kemarin.
Harga tersebut hampir sama seperti harga minyak bumi dunia pada akhir Oktober 2022 yang mencapai kisaran 95 dollar AS/barel. Nominal ini merupakan salah satu titik harga tertinggi sepanjang kurun 2022, di mana terjadi eskalasi kenaikan harga minyak dunia akibat konflik Rusia-Ukraina. Konflik itu memicu kenaikan harga oil energy global secara signifikan pada rentang Februari-Mei 2022 hingga di atas 100 dollar AS/barel.
Selanjutnya, harga tersebut terus dikontrol dan dintervensi oleh sejumlah negara kuat di dunia sehingga sempat turun di kisaran 83 dollar AS/barel pada akhir September 2022. Namun, harganya kembali melonjak pada kurun Oktober-November 2022 hingga 92-96 dollar AS/barel.
Turbulensi harga minyak bumi dunia yang sangat besar pada tahun 2022 tersebut membuat sejumlah negara, termasuk Indonesia, kewalahan dalam menyediakan stok bahan bakar minyak) di pasaran domestik. Negara harus menyediakan komoditas BBM dengan harga yang relatif terjangkau dengan situasi harga pembelian impor sangat tinggi. Dengan estimasi Indonesian Crude Price (ICP) sebesar 63 dollar AS/barel pada APBN 2022, maka konsekuensinya negara harus menyediakan alokasi belanja energi yang jauh lebih besar dari yang dianggarkan. Kian bertambah berat lagi sebagian besar energi minyak yang di impor tersebut masuk dalam kategori BBM khusus penugasan yang mendapat subsidi dari pemerintah sehingga kian membebani anggaran negara.
Petugas Polsek Singosari bersama anggota Koramil 0818/26 Singosari berjaga pasca-kenaikan harga BBM di salah satu SPBU di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (3/9/2022).
Pada saat itu, pemerintah akhirnya menerapkan kebijakan fiskal pada awal September 2022 dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Jenis pertalite (RON 90) naik menjadi Rp 10.000 dari harga sebelumnya Rp 7.650/liter dan jenis solar (biosolar) naik menjadi Rp 6.800 dari harga sebelumnya yang hanya Rp 5.150/liter. Untuk BBM jenis lainnya yang tidak bersubsidi, harganya akan berfluktuasi menyesuaikan harga keekonomian pasar dunia.
Situasi terkini
Sejak pertengahan tahun hingga September 2023, situasi kembali berulang di mana harga minyak dunia kembali berangsur naik. Bahkan, harga sejak awal September hingga saat ini rata-rata sudah 90-an dollar AS/barel. Nilai ini lebih kurang sama dengan kondisi pada Oktober-November 2022 yang merupakan salah satu titik tertinggi harga minyak dunia pada tahun lalu.
Apabila tahun lalu fenomena kenaikan harga energi global itu lebih didorong oleh isu geopolitik akibat konflik Rusia-Ukraina, kini isu kenaikan harga energi ini justru berasal dari isu kemajuan ekonomi. Berdasarkan laporan Organisasi Energi Internasional, IEA, menyebutkan bahwa pada tahun ini terjadi rekor permintaan minyak dunia tertinggi.
Dengan membaiknya kondisi perekonomian global, hal itu mendorong peningkatan konsumsi energi minyak bumi untuk berbagai keperluan. Di antaranya untuk konsumsi perjalanan udara di musim panas, peningkatan penggunaan energi minyak untuk pembangkit listrik, dan melonjaknya aktivitas petrokimia di China yang membutuhkan pasokan energi minyak. Akibatnya, terjadi lonjakan permintaan komoditas minyak di seluruh dunia dengan akumulasi peningkatan sekitar 2 juta barel per hari.
Lonjakan tersebut mendorong jumlah permintaan minyak bumi pada tahun ini menjadi rekor tertinggi sepanjang masa. Pada tahun 2022, total permintaan minyak bumi per hari rata-rata 99-100 juta barel, sedangkan tahun ini jumlahnya meningkat hingga 101-103 juta barel sehari. Lonjakan ini menjadi sinyal positif membaiknya kondisi perekonomian sehingga masyarakat dunia kembali dinamis membangun kemajuan bangsanya masing-masing.
Untuk memenuhi permintaan tersebut, tentu saja memerlukan suplai energi yang sepadan sehingga tidak menimbulkan kelangkaan yang justru kontraproduksi bagi kemajuan ekonomi. Sayangnya, pada triwulan II-2023 terjadi defisit suplai energi minyak dunia sehingga memicu lonjakan harga minyak secara global.
Berdasarkan data OPEC Monthly Oil Market Report, terjadi defisit suplai atau produksi minyak sebesar 0,08 juta barel atau 80.000 barel per hari pada triwulan II-2023. Angka ini relatif kecil dalam konteks global, tetapi nyatanya memberikan dampak signifikan yang memicu kenaikan harga minyak di seluruh dunia. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan dunia terhadap energi fosil masih sangat tinggi sehingga sentiment negatif dari suplai minyak tersebut dapat berimbas serius bagi kondisi makro ekonomi global.
Harga minyak yang tinggi dapat memicu kenaikan harga barang-barang ekspor-impor menjadi lebih mahal karena biaya transportasi meningkat. Hal ini dapat memicu inflasi dan melemahnya mata uang domestik terhadap kurs asing yang kuat (dollar AS). Jika tidak tertangani, hal itu akan berimbas pada ekonomi biaya tinggi karena semua faktor produksi meningkat sedangkan daya beli masyarakat menurun. Kondisi demikian rentan menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi dan memicu munculnya pengangguran serta memperbesar jumlah kemiskinan.
Di sisi lainnya juga dapat menjadi ”berkah” bagi negara eksportir minyak bumi karena nilai komoditasnya menjadi mahal sehingga dapat menambah devisa secara signifikan dalam mata rantai perdagangan global. Namun, hal ini biasanya mendorong negara-negara lain atau kekuatan geopolitik tertentu untuk bermediasi agar negara produsen minyak bumi tersebut mau untuk meningkatkan produksi energinya demi kesejahteraan bersama.
Ada kencenderungan negara-negara eksportir minyak yang tergabung dalam OPEC mengurangi produksi minyaknya demi menjaga stabilitas harga pasaran dunia. Pada triwulan IV-2022, jumlah produksi minyak bumi OPEC 28,86 juta barel/hari. Selanjutnya, pada triwulan I-2023 jumlahnya susut sedikit menjadi 28,85 juta barel/hari dan ditekan lagi menjadi 28,28 juta barel per hari.
Penurunan produksi OPEC itu kemungkinan besar menyikapi proyeksi produksi negara-negara non-OPEC yang diperkirakan akan terus meningkat pada tahun ini hingga sekitar 1,6 juta barel/hari dari tahun lalu. Tahun ini negara non-OPEC menargetkan produksi bahan bakar minyak rata-rata sebesar 67,39 juta barel/hari. Patokan ini membuat OPEC bersiasat dalam produksinya sehingga tidak terhadi over supply yang dapat menurunkan harga minyak dunia. Sayangnya, pada triwulan II-2023, terjadi defisit suplai baik dari negara OPEC maupun non-OPEC sehingga memicu harga minyak dunia menjadi meningkat lebih tinggi sejak Juli lalu.
Importir minyak
Bagi Indonesia yang merupakan negara net importir atau negara yang sebagian besar suplai energi minyaknya dari impor, kenaikan harga minyak dunia itu akan sangat memberatkan. Terutama jika tren kenaikan harganya terjadi dalam tempo relatif lama dan di atas estimasi ICP yang diskenariokan. Dalam APBN 2023, ICP tahun ini diperkirakan sekitar 90 dollar AS/barel sehingga tren kenaikan harga yang terjadi sejak awal September ini harus terus dicermati agar tidak menimbulkan beban berat bagi keuangan negara.
Besarnya beban keuangan yang ditanggung pemerintah dari pengadaan minyak bumi tersebut dapat terbayangkan dari neraca energi yang dilaporkan oleh ”bp Statistical Review of World Energy 2022”. Dalam laporan tersebut terlihat bahwa lifting minyak bumi Indonesia terus susut rata-rata 26.000 barel per tahun. Pada tahun 2011, lifting minyak bumi nasional masih 952.000 barel/hari, tetapi pada tahun 2021 turun drastis tinggal 692.000 barel sehari.
Suasana di rig Pertamina di Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau, yang merupakan bagian dari Wilayah Kerja Rokan (Blok Rokan), Senin (8/8/2022). Pengeboran itu menjadi salah satu rig Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang mengelola Blok Rokan sejak Agustus 2021 setelah dialih kelola dari Chevron.
Di sisi lainnya, kebutuhan konsumsi BBM terus meningkat dan membutuhkan suplai per hari sekitar 1,53 juta barel. Untuk memenuhi permintaan ini, pemerintah harus mendatangkan produk minyak mentah dan juga BBM impor dari asing. Minyak mentah akan diolah di pengilangan minyak dalam negeri sehingga biayanya menjadi lebih murah dibandingkan mendatangkan dalam produk BBM jadi.
Meski demikian, produk BBM impor jadi juga sangat dibutuhkan karena keterbatasan produksi pada industri pengilangan nasional. Setiap tahun, produk BBM yang dihasilkan dari pengilangan domestik sekitar 860.000 barel/hari atau sekitar 56 persen dari total konsumsi BBM harian Indonesia.
Jadi, dengan semakin sedikitnya lifting minyak bumi dan terbatasnya produksi BBM dari unit pengolahan minyak membuat Indonesia sangat bergantung pada suplai minyak impor. Oleh karena itu, setiap gejolak yang memengaruhi peningkatan harga minyak bumi dunia maka kondisi Indonesia menjadi sangat rentan terimbas. Oleh karena itu, peran negara sangat penting untuk menyiapkan langkah mitigasi agar gejolah harga minyak bumi dunia itu tidak berimbas di dalam negeri.
Ada sejumlah cara yang dapat dilakukan demi upaya preventif itu. Selain mempersiapkan berbagai skenario asumsi makro dan pendanaan (subsidi) yang cukup, pemerintah juga dapat mengantisipasinya dengan mengoptimalkan transisi energi dari fosil menuju energi baru terbarukan (EBT). Semakin minim menggunakan energi fosil dalam aktivitas perekonomian sehari-hari dan beralih menggunakan EBT maka akan tercipta kemandirian energi. Selain perekonomian menjadi lebih stabil, lingkungan juga menjadi lebih sehat dan minim emisi karbon. (LITBANG KOMPAS)