Urgensi Melestarikan Kesenian dan Seniman Tradisional Indonesia
Kesenian tradisional seharusnya mendapat tempat prioritas dalam perencanaan pembangunan sehingga nilai-nilai luhur bangsa dapat terawat dan sekaligus menyejahterakan pelaku seni yang menggelutinya.
Oleh
YULIUS BRAHMANTYA PRIAMBADA
·5 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Tari Topeng dibawakan pada malam penutupan Festari 2023 di Taman Budaya Jambi, Selasa (21/6/2023). Lewat ajang itu, semangat kolaborasi seniman akan terus dihidupkan sebagai perjuangan melestarikan seni tradisi.
Berlimpahnya kesenian tradisional di Indonesia ternyata belum serta-merta diikuti minat masyarakat untuk berinteraksi dengan kekayaan budaya bangsa tersebut. Sebaliknya, minat masyarakat terhadap kesenian tradisional terpantau kian menurun. Pemerintah dan masyarakat harus berupaya bersama-sama menyelamatkan kesenian serta seniman tradisi demi menjaga nilai-nilai luhur bangsa.
Sebagai bangsa yang multikultur, Indonesia dianugerahi keanekaragaman budaya yang begitu kaya. Hingga tahun 2022, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menetapkan 1.728 warisan budaya tak benda di Indonesia. Jumlah ini masih akan terus bertambah karena terdapat 11.711 kekayaan budaya tak benda yang dapat ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda.
Kesenian, sebagai bagian tak terpisahkan dari kebudayaan, memegang bagian penting dalam kekayaan budaya tak benda di Indonesia. Setidaknya ada sekitar 35 persen atau 4.128 kekayaan budaya tak benda di Indonesia yang berasal dari kategori seni pertunjukan serta tradisi dan ekspresi lisan. Melansir pengertian dari Kemendikbudristek, ragam kesenian yang masuk dua kategori tersebut mencakup seni bahasa, tari, gerak, suara, musik, hingga teater.
Hanya saja, di balik kekayaan yang begitu melimpah, minat masyarakat terhadap kesenian tradisional tampak semakin menyusut. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kurun 2018-2021, jumlah penduduk yang menonton pertunjukan atau pameran seni menurun 12,75 persen.
Apabila dibedah lebih dalam, jumlah penduduk yang menonton secara tidak langsung meningkat 10,31 persen, dari 48,8 persen pada 2018 menjadi 59,11 persen tahun 2021. Namun, peningkatan ini tidak dapat menutupi penurunan jumlah penduduk yang menonton secara langsung. Pada tahun 2018, setidaknya 34,38 persen masyarakat menonton pertunjukan seni secara langsung. Namun, ketika pandemi melanda tahun 2021, jumlah itu menyusut 23,06 persen sehingga tinggal menyisakan 11,32 persen penonton.
Pergeseran pola menonton pertunjukan kesenian dari langsung ke tidak langsung tersebut dapat dilihat sebagai imbas dari pandemi Covid-19. Meskipun demikian, melonjaknya jumlah audiens pertunjukan seni secara tidak langsung itu, baik melalui siaran TV, radio, maupun streaming daring, belum sepenuhnya mampu mengimbangi kualitas pertunjukan secara langsung. Nuansa pertunjukannya pasti sangat berbeda apabila disaksikan secara langsung.
Data BPS itu secara tidak langsung memberikan gambaran bahwa kesenian tradisional menanggung dampak terberat dari pandemi Covid-19. Terjadi penurunan tajam jumlah penonton pada jenis kesenian tari, teater, pewayangan, musik, dan seni lain daripada seni film, seni rupa, dan seni sastra. Padahal, jenis-jenis kesenian tersebut lekat dengan kesenian tradisional di Indonesia, mulai dari pentas tari atau musik tradisional, pergelaran wayang kulit, golek, atau orang, hingga pertunjukan kesenian reog, kuda lumping, barongsai.
Fungsi
Dalam Buku Ajar Seni dalam Perspektif Sosiologi dan Antropologi, Nurdiyana dan Indriyani mengatakan, kesenian tradisional di Indonesia memiliki fungsi-fungsi tertentu yang melekat dalam kondisi sosiokultural masyarakat.
Salah satu fungsi kesenian tradisional yang sangat lekat dalam banyak kebudayaan di Indonesia ialah sebagai pelengkap upacara. Sejumlah upacara adat tidak akan lengkap tanpa pertunjukan tari atau musik tradisional. Contohnya, tari piring di Sumatera Barat dalam upacara syukur atas hasil panen yang melimpah.
Selain itu, fungsi lain yang juga kerap ditemukan adalah fungsi sosial. Kesenian tradisional sering dipakai untuk menunjukkan status dan atribut sosial dari seorang tokoh masyarakat. Tak hanya itu, kesenian tradisional juga dapat menjadi sarana penjaga kohesi sosial di dalam komunitas. Hingga saat ini, kerap dijumpai pemuka masyarakat atau pejabat setempat menggelar pertunjukan seni tradisional untuk menjalin dan menjaga relasi dengan masyarakat umum di sekitarnya.
Ki Galih Tri Atmojo mendalang dalam pergelaran wayang kulit Surakarta di Museum Wayang, Kota Tua, Jakarta, Minggu (23/7/2023). Pertunjukan wayang tersebut menampilkan lakon Sesaji Raja Suya yang mengisahkan tindakan Prabu Jarasanda menyekap 97 raja untuk disembelih dalam upacara Sesaji Kalalodra. Museum Wayang rutin menggelar pertunjukan wayang kulit dari berbagai daerah, seperti Surakarta, Yogyakarta, dan Betawi.
Fungsi selanjutnya yang tak kalah penting dari kesenian tradisional adalah media komunikasi nilai-nilai budaya dan agama. Hal ini dapat ditemukan sejak zaman Hindu-Buddha hingga sekarang. Salah satu tokoh agama yang terkenal memakai kesenian tradisional sebagai media keagamaan adalah Sunan Kalijaga yang berdakwah menggunakan wayang kulit.
Semua fungsi yang melekat inilah yang membuat kesenian tradisional sulit tergantikan jika pertunjukan disiarkan secara tidak langsung. Akibatnya, jalinan yang begitu dalam antara kesenian tradisional dan unsur-unsur sosiokultural yang berperan krusial mengenalkan jati diri bangsa menjadi terasa kian meredup.
Oleh karena itu, wajar jika seharusnya kesenian tradisional juga mendapatkan tempat prioritas dalam perencanaan pembangunan bangsa. Dengan demikian, kesenian tradisional menjadi terjaga, terawat nilai-nilai luhurnya, serta menyejahterakan bagi pelaku seni yang menggelutinya. Data Kemendikbudristek pada 2016 menunjukkan, terdapat 143 kesenian tradisional di Indonesia yang hampir punah. Hal ini tentu saja akan berdampak serius bagi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan para senimannya. Lebih jauh lagi, ancaman kepunahan kesenian itu akan mereduksi pula nilai-nilai luhur yang terkandung dalam seni bersangkutan.
Skala mengecil
Kepunahan kesenian tradisional ini dapat diawali dari menurunnya minat masyarakat terhadap kesenian tradisional. Pada 2018, setidaknya hanya 1,99 persen penduduk Indonesia yang terlibat dalam pertunjukan atau pameran seni. Jumlah ini lantas berkurang menjadi 0,49 persen tahun 2021. Penyusutan angka ini mengindikasikan mengecilnya skala pertunjukan seni di masa pandemi.
Sementara itu, persentase orang yang terlibat dalam pertunjukan kesenian dan memperoleh penghasilan dari kegiatan ini justru meningkat 4,88 persen. Hal ini dapat dimaknai bahwa sekalipun jumlah pergelaran kesenian menurun, jumlah orang yang menggantungkan hidup pada pertunjukan seni relatif tetap. Dengan kata lain, seniman tradisional sulit untuk berpindah profesi atau mendapatkan penghasilan lain di luar kegiatan kesenian yang dilakukannya.
Seniman Madihin, Ahmad Syarani, melantunkan syair madihin di depan anak-anak di Dermaga Pasar Terapung Muara Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (9/9/2023). Dalam syairnya, dia menasihati anak-anak untuk terus melestarikan budaya asli suku Banjar di tengah ancaman kepunahan akibat modernitas.
Selanjutnya, sebagian besar pelaku seni yang menggantungkan hidup pada pertunjukan seni berada pada kategori usia produktif yang kerap menjadi tulang punggung keluarga. Gambaran mengenai hal ini terlihat dari data BPS tahun 2021. Dari 0,56 persen penduduk berusia 16-59 tahun yang terlibat dalam pertunjukan seni, sebanyak 25,23 persen menjadikan keterlibatannya itu sebagai sumber penghasilan. Dari jumlah tersebut, 9,3 persen menjadikan pertunjukan seni sebagai penghasilan utama dan 15,8 persen lainnya sebagai penghasilan tambahan.
Sejauh ini, upaya langsung yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi dan memperhatikan seniman tradisional adalah dengan memberikan penghargaan dan bantuan dana. Setidaknya Kemendikbudristek telah menganugerahi 91 pegiat kesenian tradisional sebagai ”Maestro Seni Tradisi” dari kurun 2017 hingga 2022. Menurut ketentuan pada tahun 2022, setiap penerima anugerah tersebut berhak mendapatkan penghargaan berupa pin emas 18 karat seberat 5 gram, dana apresiasi Rp 50 juta, dan piagam.
Upaya penghargaan itu perlu disertai dengan langkah-langkah jangka panjang untuk menciptakan generasi maestro seniman tradisional baru. Salah satu yang telah dilakukan sejak tahun 2017 adalah Gerakan Seniman Masuk Sekolah. Tujuan pokok dari program tersebut adalah mempertemukan langsung antara siswa dan seniman dengan harapan dapat menarik minat generasi muda terhadap kesenian tradisional.
Upaya-upaya penghargaan, perlindungan seniman tradisional, serta langkah merangkul generasi muda tersebut diharapkan dapat menyelamatkan kesenian tradisional dari kepunahan. Upaya itu akan semakin optimal lagi dengan adanya dukungan masyarakat dengan tetap melestarikan nilai-nilai budaya yang ada di daerah masing-masing. Dengan demikian, jati diri bangsa Indonesia tetap terjaga, kini dan di masa mendatang. (LITBANG KOMPAS)