Merebut Hati Pemilih yang Tidak Loyal
Dari pemilu ke pemilu, partai yang berhasil menguasai Jawa Barat silih berganti. Secara data historis, tidak ada satu pun partai yang bisa menjadi pemenang dalam dua pemilu berturut-turut di provinsi ini.

Penguasaan wilayah Jawa Barat oleh partai politik pada pemilu sejak tahun 1999 hingga 2019 tampak sangat dinamis. Partai pemenang pemilu di Jabar selalu berganti.
Pada Pemilu Legislatif 1999, Jabar dikuasai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan perolehan 32,2 persen suara. PDI-P unggul di 17 kabupaten/kota. Namun, pada Pemilu 2004, giliran Partai Golkar memenangi Jabar (27,9 persen suara, 18 kabupaten/kota). PDI-P hanya mendapat suara 17,5 persen.
Saat Pemilu 2009, Partai Demokrat mengambil alih Jabar (22,3 persen suara, 15 kabupaten/kota). Lalu, pada Pemilu 2014, Jabar kembali dikuasai PDI-P (19,6 persen suara, 16 kabupaten/kota). Pada Pemilu 2019, Jabar jatuh ke Partai Gerindra (17,6 persen suara, 10 kabupaten/kota).
PDI-P cukup berhasil menguasai Jabar dengan dua kali kemenangan, yakni pada 1999 dan 2014. Pada Pemilu 1999, kekuatan PDI-P tersebar luas dengan menguasai wilayah sebagian Jabar bagian barat, utara, dan timur. Namun, saat Golkar memenangi Jabar pada pemilu berikutnya, wilayah kekuasaan PDI-P hanya tersisa tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Subang, Majalengka, dan Kabupaten Cirebon.
Saat memenangi kembali Jabar pada 2014, PDI-P menguasai wilayah Jabar bagian utara hingga timur. Namun, perolehan suara pada 2014 ini jauh menyusut dibandingkan pada 1999. Pada Pemilu 2019, PDI-P hanya menguasai enam kabupaten/kota di bagian timur dengan perolehan suara yang juga turun, yakni 14,3 persen.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F07%2F050bd583-36df-485e-82af-90c09f47e4b1_jpg.jpg)
Peserta Pemilu 1999 diikuti 48 parpol. Berbagai persiapan dilakukan, termasuk penyiapan kertas suara dan kotak suara.
Di sini terlihat partai-partai berebut simpati dan dukungan. Jabar menjadi wilayah pertarungan yang dinamis bagi partai-partai. Meski penguasaan wilayah oleh partai silih berganti, sebagian besar wilayah Jabar merupakan basis nasionalis.
Hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berhasil menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai partai nasionalis. Penguasaan PKS di Jabar cukup unik. Pada Pemilu 2004, PKS memenangi tiga kota, yakni Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kota Bandung.
Baca Juga: Kontestasi Ideologis Versus Pragmatisme Politik
Dua pemilu berikutnya, yakni 2009 dan 2014, PKS tidak memenangi satu wilayah pun di Jabar. Baru pada Pemilu 2019, PKS kembali bisa memenangi sejumlah kota, yaitu Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Bandung, dan Kota Cimahi.
Karakter pemilih
Berubah-ubahnya pemenang pemilu di Jabar tidak lepas dari karakter masyarakat Jabar yang heterogen, dinamis, dan adaptif. Pengajar Antropologi Universitas Padjadjaran (Unpad), Rina Hermawati, menyebutkan, secara suku, Sunda tidak homogen. Begitu juga dengan keislaman yang dianut masyarakat Jabar.
”Sunda ada yang Priangan Barat, Priangan Timur, ada juga Sumedang, dan lainnya yang karakternya berbeda-beda. Dari sisi agama Islam yang dianut juga beda-beda, ada yang Islam modern, juga Islam tradisional. Semua ini sangat berpengaruh dalam pilihan politik masyarakat Jabar,” papar Rina.
Selain karena karakteristik masyarakat yang heterogen, politik di Jabar yang berubah-ubah juga ditengarai karena faktor pemilih yang tidak loyal. Pengajar Ilmu Politik Unpad, Firman Manan, mengatakan, pemilih di Jabar adalah pemilih yang tidak loyal. Hal itu disebabkan kedekatan pemilih ke partai tergolong rendah. Ditambah pula dengan karakter masyarakat yang lebih individualistik.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F02%2F12%2F7a524115-8c6e-4a41-b1c6-15cbf9efd35b_jpg.jpg)
Seorang petani tersenyum saat melintasi jalan desa dari lahan pertaniannya di Kampung Gandok, Desa Suntenjaya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (29/1/2019). Jalan keras ini membantu petani mengakses lahan pertanian dan pemasaran.
Pilihan politik yang berubah-ubah juga dipengaruhi figur publik. ”Masyarakat Jabar selalu melihat ke sosok, yaitu figur yang populer dan yang religius,” kata Firman.
Di era teknologi digital dengan penetrasi internet yang sekarang semakin baik, pilihan politik masyarakat juga dipengaruhi percakapan di media sosial. Media sosial jadi salah satu acuan masyarakat untuk mengenali dan mendukung figur yang akan dipilihnya.
Sebagai contoh, kemenangan Ridwan Kamil menduduki kursi orang nomor satu Jabar tidak lepas dari branding citra Ridwan Kamil di media sosial.
Ke depan, Firman mengatakan, dinamika politik di Jabar akan ditentukan oleh kekuatan tiga faktor, yakni media sosial, figur, dan popularitas.
Enam kluster
Meski politik di Jabar berubah-ubah, menurut Firman, pada dasarnya peta perpolitikan di Jabar bisa dikelompokkan dalam enam kluster.
Pertama, kluster megapolitan, yakni wilayah yang berada di seputar Jakarta, meliputi Kota dan Kabupaten Bekasi, Kota dan Kabupaten Bogor, serta Kota Depok. Kluster ini bercirikan pemilih perkotaan dan merupakan kalangan menengah ke atas. Dominasi PKS cukup kuat di sini.
Kedua, kluster Bandung Raya, meliputi Kota dan Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Kota Cimahi, serta Sumedang. Kluster ini juga merupakan wilayah pemilih perkotaan dan menengah ke atas. Di sini juga dominan pendukung PKS yang sejak awal menyasar kalangan terdidik perkotaan.
Ketiga, kluster Karawangan, meliputi wilayah Jabar bagian atas, yakni Karawang, Subang, dan Purwakarta. Kluster ini bercirikan pemilih dominan nasionalis. Keempat, kluster Cirebonan atau Ciayumajakuning yang meliputi wilayah Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, serta Kuningan juga secara umum cenderung nasionalis.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F28%2Fa1a4862f-8f22-43d3-8b96-458c5c313428_jpg.jpg)
Pengendara sepeda motor melintas di Taman Sukabumi, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (28/07/2023). Taman yang berada di tengah permukiman itu kini tengah direvitalisasi.
Kelima, kluster Priangan Barat yang meliputi Kota dan Kabupaten Sukabumi serta Cianjur. Di sini merupakan wilayah pemilih rural. Keenam, kluster Priangan Timur yang meliputi Garut, Kota dan Kabupaten Tasikmalaya, Banjar, serta Ciamis. Wilayah ini merupakan kantong-kantong pesantren, dengan ciri masyarakatnya Islam tradisional dan konservatif.
Dengan pemetaan ini, tak mengherankan tampak kantong-kantong loyalis partai, di mana kekuasaan partai tak tergoyahkan selama lima pemilu. PDI-P, misalnya, wilayah loyalisnya di Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Cirebon. Wilayah loyalis Golkar adalah Kabupaten Purwakarta.
Kota atau Kabupaten Tasikmalaya menjadi kantong loyalis Partai Persatuan Pembangunan (PPP) selama empat kali pemilu berturut-turut. Namun, di Pemilu 2019, PPP tidak mampu memenangi satu kabupaten/kota pun di Jabar. Tasikmalaya lepas ke tangan Partai Gerindra.
Partai Demokrat tidak berhasil menancapkan akar yang kuat di Jabar. Sebagai pemenang Pemilu 2009 di Jabar, Partai Demokrat lebih menguasai wilayah Jabar bagian barat dan sedikit di bagian timur. Namun, pada pemilu-pemilu selanjutnya tidak satu pun kabupaten/kota di Jabar yang berhasil dimenangi Demokrat.
Adapun Partai Gerindra, meski memenangi Jabar di Pemilu 2019, dominasinya tak terlalu besar. Penguasaan wilayah oleh empat partai besar cenderung merata. Gerindra hanya unggul sedikit.
Banyak faktor yang sebenarnya menyebabkan pilihan masyarakat berubah-ubah. Gerak dan arah pembangunan juga turut memengaruhi perpolitikan ketika program yang dijalankan bertemu kepentingan masyarakat yang pragmatis.
”Masyarakat yang pragmatis juga membuat dinamika politik di Jabar menjadi lebih dinamis, terutama karena 30 proyek strategis nasional, bahkan lebih, ada di Jabar,” kata Firman.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F11%2Fdce7bccb-f4af-46b8-b9e3-77b24b626dcf_jpg.jpg)
Foto udara Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sudah digunakan di Simpang Susun Cibitung di Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Minggu (10/9/2023).
Peningkatan ekonomi dan kesejahteraan memang masih jadi isu utama di Jabar. Pasalnya, 3,9 juta penduduk Jabar (7,6 persen) masih hidup dalam kemiskinan.
Dengan dinamika penguasaan wilayah yang masyarakatnya cenderung tidak loyal, Jabar di Pemilu 2024 tetap menjadi wilayah pertarungan yang sengit. Partai Gerindra menghadapi ujian, apakah kekuasaannya akan tergantikan mengikuti pola yang sudah berjalan. Atau, mampukah Gerindra mematahkan pola tersebut dan menjadi partai pertama di Jabar yang memenangi dua pemilu berturut-turut?