Kontestasi partai dengan ideologi agama versus pragmatisme partai nasionalis menjadi warna politik pemilihan umum era reformasi di Provinsi Banten.
Oleh
M Toto Suryaningtyas/Litbang Kompas
·5 menit baca
KOMPAS/AGUS MULYADI
Masyarakat menggunakan hak pilihnya dengan mengikuti coblosan di tiap-tiap tempat pemungutan suara (TPS). TPS-TPS pun dibangun sesuai dengan kemampuan masyarakat, seperti terlihat di salah satu TPS 01 di Desa Talok, Kecamatan Kresek, Tangerang, Banten, tahun 1999.
Pada Pemilu 2019, perolehan suara untuk DPR dari Provinsi Banten lebih dimenangi partai-partai nasionalis ketimbang partai agama. Perolehan suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) unggul di tiga wilayah (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di empat wilayah (Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang, Kota Serang, dan Kota Cilegon). Hanya satu daerah, yaitu Kabupaten Pandeglang, yang diungguli partai berbasis massa Islam, yakni Partai Keadilan Sejahtera(PKS). Kondisi demikian tak jauh berbeda dengan Pemilu 2014, yaitu PDI-P dan Gerindra juga mendominasi hasil pemilu.
Kondisi ini seakan membalikkan warna pilihan politik Banten di era Pemilu 1955, yang saat itu jadi wilayah penguasaan partai Islam, yakni Masyumi. Indonesianis Herberth Feith dalam buku The Indonesian Elections of 1955 mencatat perolehan Masyumi di Banten pada Pemilu 1955 mencapai 224.000 suara, dua kali lipat daripada suara Partai Nasional Indonesia (PNI) yang 104.000, dan tiga kali lipat Nahdlatul Ulama (NU) yang 84.000. Selisih keunggulan suara Masyumi atas PNI di eks Karesidenan Banten bahkan paling tinggi di antara eks karesidenan lainnya di Jawa Barat saat itu.
Partai Komunis Indonesia (PKI), yang merupakan kekuatan politik empat besar suara nasional saat itu, hanya meraih 9.000 suara di eks Karesidenan Banten alias sangat minim. Menjadi pertanyaan, Banten yang dikuasai partai Islam pada 1955 dan dikenal sebagai daerah dengan kehidupan bernuansa kultural-agamis (Islam), tetapi mengapa hasil pemilu era Reformasi selalu dimenangi partai-partai nasionalis?
Tercatat pada Pemilu 1999, seluruh enam kabupaten kota di Banten dimenangi PDI-P. Saat itu, Banten yang masih termasuk Jawa Barat juga ”tersengat” oleh gegap gempita reformasi menjatuhkan Orde Baru. Hasilnya, perolehan suara PDI-P meningkat pesat meski tidak terlalu banyak, yaitu berkisar di proporsi 23,9 persen (Kota Cilegon) hingga 40,3 persen (Lebak).
Proporsi itu sudah cukup untuk mengungguli Golkar, yang di era Orde Baru selalu menang mutlak di kisaran 70 persen suara. Selain PDI-P, perlawanan terhadap Golkar juga ditunjukkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang meraup suara cukup besar di Pandeglang dan Serang serta Partai Amanat Nasional (PAN) di Kota Tangerang dan Cilegon.
Namun, amblasnya suara Golkar tak lama. Pada Pemilu 2004, Golkar mampu berkonsolidasi dan memenangi seluruh enam daerah kabupaten/kota di Banten meski partai beringin ini hanya mampu unggul tipis. Perolehan suara Golkar tercatat hanya antara 17,1 persen dan 36,3 persen, dengan ditempel secara ketat perolehan suara yang cukup besar oleh PDI-P di Lebak dan PKS di Kota Tangerang.
Dominasi Golkar juga mulai ditempel Demokrat pada 2009. Tercatat pula kenaikan suara Demokrat di Kabupaten dan Kota Tangerang sebagai dampak kemenangan pemilu dan naiknya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden. Demokrat memenangi raihan suara di Lebak (27,9 persen), Tangerang (25,2 persen), dan Kota Tangerang (30,9 persen).
Uniknya, di Pemilu 2009, PKS juga mampu meraih suara signifikan di lima dari total tujuh wilayah saat itu. Perolehan suara PKS di wilayah Tangerang, Serang, dan Cilegon rata-rata belasan persen. Bahkan, di wilayah Tangerang (kabupaten dan kota) bisa mengungguli Golkar meskipun tipis. Artinya, euforia kemenangan Demokrat di Pemilu 2009 berdampak positif bagi PKS, dan dampak negatif bagi PDI-P.
Wilayah dinamis
Sulit dimungkiri, Banten adalah wilayah yang terus berubah dalam pilihan politik legislatif berbagai era. Warna pilihan politik wilayah ini berubah dari ”hijau” Masyumi di Pemilu 1955 menjadi ”kuning” Golkar era Orde Baru, serta menjadi ”merah” PDI-P dan juga Gerindra di era Reformasi.
”Banten sangat dinamis, untuk tidak dibilang sangat cair. Isu apa pun yang terjadi di Jakarta pasti langsung berpengaruh ke Banten,” kata Lili Romli, Guru Besar Ilmu Politik dan Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Profesor Riset Pusat Penelitian Politik LIPI Lili Romli
Ketika di Jakarta terjadi gerakan reformasi, pilihan politik yang terasosiasi dengan hal itu akan tampak pada pilihan partai. Demikian pula ketika terjadi isu primordial di Pilkada DKI 2017, hal itu ikut memengaruhi pola pemilih Banten. Kemenangan Gerindra di empat daerah saat Pemilu 2019 dinilai merupakan residu dari Pilkada DKI 2017. Publik mencari sosok pengganti Jokowi dan mendapatkan sosok Prabowo Subianto.
Pilihan kepada Gerindra merupakan efek ekor jas Prabowo dan sikap oposisinya. ”Konsekuensinya, jika ada sosok yang lebih baik daripada Prabowo dalam beroposisi kepada Jokowi, suara Gerindra di Banten bisa turun,” kata Lili Romli.
Sulit dimungkiri, dampak efek ekor jas Prabowo mengangkat perolehan suara Gerindra di delapan wilayah di Banten. Ketua DPRD Provinsi Banten, yang juga Ketua DPD Gerindra, Andra Soni juga menguatkan tesis itu. Menurut dia, loyalitas dan animo warga Banten kepada Prabowo tinggi. ”Padahal, 2019 Pak Prabowo enggak turun sama sekali di Banten,” katanya.
Sebaliknya, keunggulan PDI-P di Banten juga merupakan efek ekor jas pencapresan Joko Widodo di Pemilu 2014 sehingga menang di Lebak dan Kabupaten serta Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. PDI-P bahkan meraih 52,2 persen suara Pemilu 2019 di Kabupaten Tangerang, capaian tertinggi suara parpol pemilu era reformasi.
Demokrat kini mampu bertahan di Lebak dan Kota Tangerang karena ada sosok Bupati Iti Octavia Jayabaya dan Wali Kota Arief Wismansyah. Sementara PKS masih mengandalkan pemilih Kota Tangerang Selatan dan Pandeglang yang kini mulai berhasil ditransformasi dari sebelumnya basis PPP menjadi PKS.
Kekerabatan politik
Bagaimanapun narasi politik yang terjadi di Banten bagian timur (Tangerang Raya) berbeda dengan Banten bagian barat (Serang dan Cilegon) dan Banten selatan (Lebak dan Pandeglang). Di Tangerang, proporsi kelas menengah-pendatang cukup besar, membawa dampak pada pemilih yang lebih mandiri, tetapi kritis sekaligus cenderung apatis-pragmatis terhadap politik praktis.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Proses rekapitulasi suara pemilu untuk Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, di Gedung Pertemuan Batan Indah, Tangerang Selatan, Jumat (19/4/2019).
Kondisi berbeda terjadi di Banten bagian barat dan selatan. Situasi tingkat sosial ekonomi dan kultural masyarakat menyebabkan banyak elite lokal yang memanfaatkan modal sosial untuk mengukuhkan kekuasaan bernuansa kekerabatan. Kaum jawara penguasa wilayah berkelindan dengan birokrasi, bahkan ulama, dan berhasil mengikat pemilih sehingga membentuk kekuasaan klan/dinasti yang dominan.
Ini memengaruhi corak pilihan parpol. Di setiap daerah Banten barat dan selatan ada tokoh lokal yang melanggengkan kekuasaan dengan menampilkan wajah penguasa dinasti yang ”baik hati”. Kelindan itu menekan kekuatan masyarakat sipil sehingga tidak mampu menyuarakan kritik yang berarti.
Dalam kondisi demikian, masyarakat awam tak mampu bersaing melawan dinasti karena besarnya kekuatan modal dan jaringan birokrasi. Pertarungan politik bernuansa kekerabatan, pertemanan, relasi personal, bahkan pragmatisme menjadi lebih dominan sehingga identitas agama yang dibawa parpol menjadi kurang relevan. Dalam situasi inilah, partai-partai nasionalis mampu meraih keunggulan ketimbang partai Islam.