Kota Tangguh Jakarta Sarat Ancaman Bencana Iklim dan Kesehatan
Di balik tingginya kemajuan ekonomi Jakarta, tersimpan potensi ancaman bagi segenap masyarakat Ibu Kota, seperti rutinitas bencana banjir, kelangkaan air saat kemarau, dan masifnya paparan polusi udara.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F03%2F0e605e59-6b2a-4c39-a57c-bfb49a44ae09_jpg.jpg)
Kabut polusi menyelimuti langit Jakarta yang sedang menjadi tuan rumah KTT Ke-43 ASEAN, Minggu (3/9/2023). Menurut situs IQAir, pada Minggu sekitar pukul 11.00 nilai indeks kualitas udara di Jakarta adalah 164 atau dalam kondisi tidak sehat.
Di balik tingginya kemajuan ekonomi, tersimpan potensi ancaman bagi segenap masyarakat Ibu Kota. Apabila kemarau melanda, sebagian warga kesulitan memperoleh air bersih, sedangkan jika musim hujan tiba, banjir menjadi rutinitas bagi sebagian wilayah metropolitan. Selain itu, seluruh warga Jakarta kini harus terbiasa dengan paparan polusi yang berpotensi mendegradasi kualitas kesehatan.
Meskipun demikian, mewujudkan Jakarta sebagai kota tangguh harus terus diperjuangkan demi meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan manusia. Pemerintah daerah beserta para pemangku kepentingan harus segera melakukan langkah antisipasi dan mitigasi terhadap berbagai ancaman yang mengintai Jakarta.
Salah satu potensi ancaman yang hadir saat ini adalah cuaca ekstrem yang kerap menimbulkan sejumlah ancaman terhadap lingkungan. Kemarau berkepanjangan yang terjadi di Indonesia dalam beberapa bulan terakhir sangat memengaruhi kehidupan masyarakat di berbagai daerah. Ditambah lagi ada fenomena iklim El Nino yang memicu cuaca ekstrem di Indonesia selama Agustus-Oktober 2023 dan akan berlanjut hingga awal 2024.
Sejumlah daerah, seperti Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara, diprediksi terdampak curah hujan paling rendah dan berpotensi mengalami musim kemarau ekstrem. Akibatnya, sejumlah daerah terancam bencana kekeringan sehingga menyebabkan sejumlah waduk, bendungan, dan sumber pengairan surut. Masyarakat kesulitan untuk mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk pengairan lahan pertanian.
Baca Juga: Pemprov DKI Jakarta Jamin Pasokan Air Bersih Selama Musim Kemarau
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F14%2Fd0fb56bc-2433-42f7-a529-c26e3e63d88e_jpg.jpg)
Warga menunggu wadah mereka terisi air bersih dari tangki mobil PAM Jaya di Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, Kamis (14/9/2023). Sudah hampir seminggu sebagian warga RW 011, Kelurahan Pegadungan, Kecamatan Kalideres, kesulitan mendapatkan air bersih. Hal itu karena air PAM Jaya tidak mengalir secara maksimal ke rumah warga. Pengadaan mobil tangki air tersebut tidak dipungut biaya. Menurut ketua RW 11, RT yang mengalami krisis air terparah adalah RT 005, RT 006, RT 007, dan RT 010. Warga berharap air PAM yang menjadi sumber utama air warga dapat mengalir secara maksimal.
Tidak hanya di daerah yang notabene merupakan wilayah perdesaan saja, di kota besar di sekitar Jakarta kemarau juga membuat masyarakat resah. Musim kering menyebabkan sebagian warga Ibu Kota dan sekitarnya kesulitan mendapatkan air bersih. Bahkan, ada yang sampai berbulan-bulan harus berebut air bersih karena sulitnya pasokan air bersih di daerah mereka. Hal ini setidaknya dialami oleh ratusan warga di Kelurahan Keranggan, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, Banten, sejak dua bulan terakhir.
Beberapa daerah di wilayah Ibu Kota dan sekitarnya, krisis air bersih itu tidak hanya terjadi saat kemarau saja, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari ketika pasokan airnya tersendat. Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bidang Sumber Daya Air Firdaus Ali menyebutkan dari yang tertulis memang sudah ada sekitar 62 persen warga Jakarta mendapatkan air bersih perpipaan. Namun, faktanya baru 39 persen dari populasi masyarakat Ibu Kota Jakarta yang bisa mengaksesnya.
Polusi dan banjir
Kemarau panjang tahun ini menambah tantangan warga Jakarta dan sekitarnya menjadi kian pelik. Jakarta tahun ini berkali-kali menjadi salah satu kota dengan tingkat polusi tertinggi di dunia. Kondisi ini juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya dan menjadi rutinitas kondisi setiap musim kemarau. Tingkat kekeringan udara yang tinggi dan polusi udara yang masif membuat kualitas udara di Jakarta menjadi sangat buruk.
Analisis WRI mengungkapkan bahwa pola naik turunnya tingkat polusi di Jakarta sejalan dengan musim yang berjalan. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya rata-rata konsentrasi PM 2,5 tahun 2019-2021 pada musim kemarau. Pada puncak musim kemarau, yakni Juni, Juli, dan Agustus, rata-rata tingkat konsentrasi mencapai 40-80 mikrogram per meter kubik. Pada saat musim hujan yang dimulai pada September hingga April, rata-rata tingkat konsentrasi PM 2,5 menurun.
Hasil analisis tersebut juga menggambarkan kondisi serupa dalam beberapa bulan terakhir ini. Kemarau beserta cuaca ekstrem akibat El Nino yang dimulai pada Agustus lalu menjadi salah satu pemicu meningkatnya polusi udara di Jakarta. Penyebabnya, di musim kemarau, kelembapan dan kecepatan angin yang rendah menyebabkan partikel-partikel polutan menumpuk di udara. Sinar matahari dan tingginya suhu udara juga memperburuk ozon permukaan (O3). Ditambah lagi tidak adanya hujan menyebabkan proses pencucian polutan di udara atau rain washing tidak berjalan.
Oleh karena itu, pemerintah mencoba untuk membuat hujan buatan dengan harapan polutan-polutan di udara dapat larut terbawa air hujan. Hal ini menjadi modifikasi cuaca pertama kali yang dilakukan Indonesia untuk mengurangi polusi udara. Sebelumnya, negara-negara seperti China, Korea Selatan, Thailand, dan India memang melakukan modifikasi cuaca untuk mengurangi polusi di wilayahnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya memang sudah sangat mengkhawatirkan.
Baca Juga: Polusi hingga Kemacetan Jadi Tantangan ”Smart City” Jakarta
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F23%2F7d2c432f-763b-49a0-afd3-84135f5e524e_jpg.jpg)
Lanskap di wilayah selatan Jakarta yang diselimuti polusi udara, Rabu (23/08/2023) siang. Upaya membuat hujan buatan demi mengurangi polusi udara di Jakarta belum membuahkan hasil. Bahkan, operasi teknologi modifikasi cuaca di wilayah Jabodetabek oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional dihentikan sementara karena keberadaan awan kumulus dan stratokumulus sebagai target untuk ditaburkannya garam dan kapur tohor masih minim di langit Jabodetabek.
Proses modifikasi cuaca dilakukan dengan menyemai garam dan kapur di udara. Misalnya, untuk menurunkan hujan demi mengurangi tingkat polusi udara selama KTT Asean 5-7 September 2023, sebanyak 17.000 kilogram garam dan 4.200 kilogram kapur disiapkan untuk disemai selama 16 hari. Ribuan kilogram bahan itu disemai melalui 13 kali penerbangan dengan total jam terbang 20 jam 10 menit.
Namun, sesaat lagi, upaya mengurai polusi udara saat musim kemarau dengan menurunkan hujan tersebut akan kontras dengan kekhawatiran masyarakat Jakarta ketika memasuki musim hujan. Umumnya, masyarakat berharap agar intensitas hujan yang tinggi tidak terjadi di sekitaran Jakarta. Pasalnya, bencana banjir akan menggenangi sejumlah wilayah Ibu Kota dan menjadi rutinitas yang sulit dihindarkan.
Menurut data kejadian banjir di Jakarta 2014-2020, terlihat rutinitas pola yang menggambarkan lokasi kejadi banjir saat musim hujan. Intensitas banjir umumnya meningkat saat memasuki November dan mencapai puncaknya pada Januari-Februari tahun berikutnya. Hanya saja, tingkat keparahan area terdampak banjir berbeda-beda skala luasnya.
Data tren kejadian banjir terakhir yang tercatat pada 2020 menyebutkan, puncak tertinggi intensitas banjir terjadi pada Januari dan Februari. Pada Januari 2020, terdapat 151 kelurahan di 35 kecamatan yang terdampak banjir dengan rata-rata lama genangan air selama empat hari. Sebulan berikutnya, pada Februari, banjir melanda 167 kelurahan di 42 kecamatan selama kurang lebih 1-2 hari. Selama dua bulan tersebut, pemerintah mencatat, di sejumlah titik, genangan air bisa mencapai 350 cm. Jumlah korban terdampak pada Januari 2020 mencapai 83.400 jiwa dengan korban meninggal sebanyak 19 jiwa.
Kota tangguh
Banjir di musim hujan dan kesulitan air serta polusi udara di musim kemarau menjadi tantangan hidup warga Ibu Kota saat ini. Dengan adanya fenomena krisis iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem serta ditambah oleh aktivitas manusia membuat ancaman bencana lingkungan semakin meningkat. Indikasinya terlihat dari kian panjangnya musim kemarau dan polusi udara yang semakin memburuk sehingga mengancam kesehatan dan kualitas kehidupan masyarakat Ibu Kota secara luas. Pemerintah dituntut untuk segera melakukan langkah antisipasi dan mitigasi semaksimal mungkin menghadapi ancaman ini.
Baca Juga: ”Smart City” Atasi Dampak Lingkungan Pengembangan Kota Jakarta
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F08%2F0f5e9c4a-65a8-4b32-b450-98847f14a28b_jpg.jpg)
Ekskavator mengeruk lumpur dari Kanal Banjir Barat di kawasan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (8/9/2023). Sebanyak dua ekskavator milik Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta mengeruk lumpur di kawasan Kanal Banjir Barat untuk memperluas kali. Lumpur itu nantinya digunakan untuk meninggikan bantaran kali agar mengantisipasi warga tidak mendirikan bangunan di bantaran kali. Pengerjaan ini dilakukan untuk mengantisipasi luapan air sungai saat musim hujan tiba.
Menghadapi fenomena tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah lama menggaungkan konsep kota tangguh atau resilient city. Konsep kota tangguh mengarah pada kota yang mampu beradaptasi, bersiap, dan memulihkan diri dari bencana yang mengancam. Hal itu diwujudkan dalam berbagai pembangunan infrastruktur, fasilitas, dan kesiapan sosial masyarakat untuk melakukan upaya preventif dan pemulihan saat bencana terjadi.
Misalnya, untuk kekeringan dan kesulitan air, pemerintah dapat memperluas jaringan perpipaan guna menjangkau masyarakat yang belum mendapat aliran air bersih. Kemudian untuk mengatasi polusi udara, kontrol dan pemberian sanksi tegas pada perusahaan-perusahaan yang menghasilkan polutan bisa dilakukan jauh-jauh hari tanpa menunggu tingkat kualitas udara memburuk terlebih dahulu. Untuk antisipasi banjir, masyarakat dapat berperan serta untuk menjaga kebersihan saluran drainase di lingkungan sekitarnya. Pemerintah daerah juga dapat berperan aktif membersihkan sampah-sampah dari sungai, pengerukan lumpur, membenahi drainase, dan menyiapkan sejumlah langkah antisipasi di beberapa wilayah rawan banjir.
Dalam beberapa bulan ke depan, musim hujan sudah menanti. Persiapan untuk menghadapi hujan lebat dan usaha preventif terhadap bencana banjir perlu ditingkatkan. Jangan sampai seperti musim kemarau panjang saat ini saat kualitas udara yang memburuk baru ditangani setelah menjadi keresahan publik. Jakarta harus dapat membuktikan bahwa daerahnya adalah kota yang tangguh mampu beradaptasi, bersiap, dan memulihkan diri dari berbagai bencana yang mengancam warganya. (LITBANG KOMPAS)