Peran Intelijen dan Pemilu 2024
Pemilu 2024 tidak lepas dari berbagai potensi kerawanan di sejumlah tahapannya. Keberadaan aparat negara, termasuk intelijen negara, diperlukan untuk menyokong kesuksesan pemilu sekaligus menjaga kepentingan masyarakat.

Indeks Kerawanan Pemilu 2024 yang disusun Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu menyebutkan setidaknya ada enam isu strategis terkait kerawanan pemilu yang memerlukan kebijakan antisipasi dan mitigasi.
Keenam isu itu ialah jumlah partai politik peserta pemilu, pelaksanaan tahapan pemilu di provinsi baru, netralitas penyelenggara pemilu, polarisasi masyarakat dan dukungan politik, penggunaan media sosial untuk kontestasi, serta pemenuhan hak memilih untuk perempuan dan kelompok rentan.
Dalam aspek jumlah peserta pemilu, semakin banyak partai politik yang menjadi kontestan, semakin tinggi pula potensi kerawanan yang dapat terjadi. Hal ini terpantau dari berbagai potensi kerawanan, seperti pelanggaran jadwal kampanye, munculnya konten hoaks saat kampanye, hingga pelanggaran politik uang.
Secara umum, Indeks Kerawanan Pemilu 2024 memberikan pemetaan dan arah potensi kerawanan yang harus menjadi perhatian penting untuk menjamin kelancaran pemilu. Mengingat urgensi pencegahan kerawanan ini, Indeks Kerawanan Pemilu 2024 merekomendasikan beberapa kebijakan antisipasi yang dapat dilakukan oleh Bawaslu dan pihak-pihak terkait.
Semakin banyak partai politik yang menjadi kontestan, semakin tinggi pula potensi kerawanan yang dapat terjadi.
Dalam hal penyalahgunaan media sosial, misalnya, Bawaslu dapat bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Polri. Bawaslu juga bekerja sama dengan pihak-pihak lain, seperti TNI dan intelijen. Kerja sama dengan TNI dilakukan Bawaslu dengan menyampaikan empat poin penguatan kolaborasi terkait Pemilu 2024.
Empat poin itu disampaikan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja saat bertemu Panglima TNI Laksamana Yudo Margono pada April 2023. Bawaslu meminta dukungan sistem keamanan dan intelijen untuk semua tahapan pemilu serentak 2024.
Pola kerja sama seperti ini juga dilakukan Bawaslu pada pemilu atau pilkada sebelumnya. Pada Pilkada 2015, misalnya, Bawaslu meminta Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) untuk mengidentifikasi adanya potensi kerawanan setelah pemungutan suara.
Permintaan ini disampaikan Bawaslu dalam Rapat Koordinasi Intelijen dalam Rangka Menyukseskan Pilkada Serentak Tahun 2015. Pada Pilkada 2020, Bawaslu juga bersinergi dengan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mencegah potensi kerawanan pemilu dan pilkada.
Baca juga : Data Intelijen, PDI-P dan Gerindra Tak Persoalkan, Demokrat Menyayangkan
Intelijen negara
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, diamanatkan bahwa penyelenggaraan intelijen dilakukan oleh beberapa lembaga yang terbagi dalam tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
Lembaga penyelenggara intelijen tersebut antara lain BIN, intelijen TNI, intelijen Polri, intelijen kejaksaan, dan intelijen kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian.
Sementara dalam melaksanakan fungsi intelijen ada beberapa cakupan yang juga diamanatkan dalam undang-undang itu. Fungsi intelijen di antaranya menyelenggarakan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Termasuk pula mencari, menemukan, dan mengolah informasi sebagai bahan masukan untuk perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.
Lebih lanjut, intelijen perlu mencegah dan melawan pihak yang merugikan kepentingan keamanan nasional. Termasuk pula memengaruhi sasaran atau obyek terkait untuk dapat memperkuat kepentingan keamanan negara.
Tak kalah penting dari itu semua, konstitusi juga menyebutkan bahwa keseluruhan dari fungsi-fungsi intelijen itu perlu dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip dan nilai-nilai yang berlaku. Termasuk dalam kaitannya dengan hukum, HAM, serta nilai demokrasi.

Dalam kepentingan pemilu, kerja-kerja intelijen tentu sangat diperlukan sebagai bagian dari upaya untuk memastikan kondusivitas keamanan nasional. Pemilu merupakan hal yang sangat kompleks dengan berbagai tantangan penyelenggaraannya dari tahap persiapan hingga setelah pemilihan.
Berdasarkan data Bawaslu terkait dengan Indeks Kerawanan Pemilu 2024, setidaknya lima provinsi masuk dalam kategori kerawanan tinggi yang memerlukan langkah antisipatif. Kelima provinsi yang memiliki kerawanan tinggi itu ialah DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur.
Tentu peran intelijen pada urusan ini memiliki urgensi yang tinggi, terlebih kerawanan pemilu ini melingkupi dimensi yang sangat kompleks, mulai dari kondisi sosial politik, penyelenggaraan pemilu, kontestasi, sampai aspek partisipasi.
Potensi kerawanan ini di sisi lain juga memberikan peran kepada penanggung jawab lembaga penyelenggara intelijen untuk ikut bertanggung jawab memastikan keamanan masyarakat dalam menghadapi tahun politik.
Upaya intelijen dalam pencarian informasi dan penanggulangan berbagai potensi gangguan dalam pelaksanaan pemilu ini seyogianya memang dilakukan, tetapi dalam batasan-batasan yang tetap menjunjung tinggi hak asasi ataupun prinsip demokrasi.
Baca juga : Koalisi Masyarakat Sipil Ingatkan Presiden soal Data Intelijen
Kepentingan bangsa
Batasan dan prinsip-prinsip tersebut diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan fungsi intelijen, terutama akses informasi dan data yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan di luar keamanan negara.
BIN, misalnya, merupakan badan negara yang bertugas untuk menyelenggarakan fungsi intelijen dalam dan luar negeri, termasuk akses dan pencarian informasi. Melihat fungsi dan wewenangnya, pencarian berbagai informasi, termasuk seputar partai politik dan arah politik partai, tentu dapat dilakukan.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2021, BIN memiliki kedudukan dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada presiden. Artinya, berbagai informasi yang didapat oleh BIN akan dilaporkan kepada presiden, sebab badan ini bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Mengingat besarnya wewenang yang dimiliki oleh BIN dan presiden, kerja-kerja intelijen dan penanggung jawab lembaga intelijen ini perlu terus ditegaskan agar tidak keluar dari koridor yang diamanatkan undang-undang.
Saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Sukarelawan Sekretariat Nasional Jokowi di Bogor, Jawa Barat, pada Sabtu (16/9/2023), Presiden Joko Widodo menyampaikan mendapat informasi arah partai-partai politik dari intelijen. Pernyataan Presiden Jokowi itu menggulirkan polemik di publik.

Hal ini tidak terlepas dari kedudukan presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan yang memiliki kuasa penuh atas alat negara, termasuk lembaga-lembaga intelijen. Di sisi lain, presiden juga memiliki magnet politik yang cukup berpengaruh dalam gelanggang pertarungan pemilu mendatang.
Hasil survei Kompas setidaknya dalam setahun terakhir (Juni 2022-Agustus 2023) menunjukkan faktor endorsement atau dukungan Jokowi kepada kandidat dalam pilpres mendatang akan cukup signifikan pengaruhnya.
Setidaknya ada satu dari 10 orang yang menyatakan akan memilih calon presiden yang disarankan oleh Jokowi. Selanjutnya, lebih dari separuh bagian responden menyatakan akan mempertimbangkan untuk memilih kandidat presiden yang didukung oleh Jokowi.
Pada akhirnya, dengan pengaruh politik, magnet politik, dan sebagai pemegang kewenangan terbesar atas fungsi intelijen ini, presiden perlu terus menjaga kepercayaan publik akan fungsi kebangsaan intelijen dalam ruang lingkup penyelenggaraan pemilu.
Amanat konstitusi menjadi pertimbangan utama untuk memelihara keamanan negara dan ketenteraman masyarakat luas di tahun politik ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Presiden Jokowi Perbolehkan Sukarelawannya ”Memanaskan Mesin”