Bus Trans Semarang, Layanan BRT Perkotaan Sarat Inovasi
Inovasi yang menjangkau semua lapisan masyarakat menjadi strategi bus Trans Semarang untuk menarik minat publik agar beralih menggunakan transportasi umum.
Oleh
YULIUS BRAHMANTYA PRIAMBADA
·5 menit baca
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Angkutan massal berbasis jalan atau bus (BRT) Trans Semarang melintasi jalan di sekitar Lawang Sewu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (20/1/2019).
Optimalisasi layanan bus rapid transitdi Kota Semarang, Jawa Tengah, dapat membantu melancarkan roda perekonomian di kawasan metropolitan. Inovasi yang menjangkau semua lapisan masyarakat menjadi strategi Trans Semarang untuk menarik minat publik untuk mulai beralih mengutamakan transportasi umum dalam kegiatan sehari-hari.
Sejarah transportasi umum di Indonesia tak bisa lepas dari perkembangan bus rapid transit (BRT). Pertama hadir di DKI Jakarta tahun 2004, layanan transportasi umum berbasis bus ini telah menyebar ke lebih dari 25 kota di Indonesia. BRT kian menjadi primadona karena menawarkan layanan transportasi umum yang andal dengan tarif relatif murah.
Salah satu kota yang cukup awal mengikuti langkah Jakarta dalam menghadirkan BRT adalah Semarang. Tepat 14 tahun lalu, yakni pada 18 September 2009, koridor pertama BRT yang dijuluki Trans Semarang ini beroperasi secara penuh di trayek Terminal Mangkang-Terminal Penggaron yang dilayani oleh 20 bus.
Kemunculan BRT Trans Semarang dilandasi kebutuhan akan sarana transportasi umum yang lebih modern, yakni tersistem, andal, aman, dan nyaman. Sebelum adanya BRT, kebutuhan transportasi umum masyarakat ”Kota Lumpia” ini hanya dilayani bus kota biasa, angkutan kota (angkot), ojek, hingga becak. Moda-moda konvensional ini cenderung tidak tepat waktu serta mengabaikan keamanan dan kelayakan moda. Terlebih lagi, kebiasaan menaikturunkan penumpang di sembarang tempat membuat transportasi umum konvensional kerap memperburuk kemacetan di jalanan.
Tampak salah satu unit bus rapid transit (BRT) Trans Jateng Koridor 6 Semarang-Godong (Grobogan) di Pendopo Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Rabu (13/10/2021).
Di samping itu, keunggulan BRT yang lain adalah dapat diimplementasikan secara cepat dan murah. Hasil penelitian dari Hasriwan Putra, pakar transportasi umum dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada tahun 2019 menunjukkan, biaya pembangunan BRT hanya Rp 10 miliar-Rp 194 miliar per kilometer. Jumlah ini sepuluh kali lipat lebih kecil apabila dibandingkan dengan pembangunan transportasi berbasis rel, seperti light rapid transit (LRT) yang bisa mencapai Rp 1 triliun per kilometer.
Ditolak
Meski menawarkan sejumlah keunggulan, proses menghadirkan BRT di Kota Semarang bukanlah perkara mudah. Pada mulanya, Dinas Perhubungan Kota Semarang mengusulkan penyelenggaraan BRT di Kota Semarang sejak tahun 2006. Namun, rencana tersebut segera disambut unjuk rasa penolakan ratusan pengusaha dan awak angkutan umum. Mereka khawatir kehadiran BRT akan mengurangi penghasilan mereka karena mengangkut konsumen yang sama (Kompas, 3/5/2009).
Selain penolakan, proses pengadaan BRT di tahap awal juga terkendala masalah administrasi. Ketidaksiapan ini menyebabkan pengoperasian Trans Semarang harus mundur empat bulan dari rencana semula pada bulan Mei 2009 (Kompas, 19/9/2009).
Permasalahan-permasalahan tersebut akhirnya menghambat penerimaan Trans Semarang di kalangan masyarakat. Hal ini ditambah dengan jumlah halte yang sedikit, rendahnya tingkat ketepatan waktu, hingga persinggungan dengan 53 trayek angkutan kota lainnya.
Selang sebulan berjalan, rerata jumlah pengguna harian Trans Semarang hanya sekitar 2.500 penumpang per hari. Jumlah ini jauh di bawah target 6.800 penumpang per hari. Minimnya jumlah pengguna ini menyebabkan PT Trans Semarang sebagai konsorsium operator harus menanggung kerugian Rp 321 juta hingga akhir Oktober 2009 (Kompas, 23/9/2009). Namun, sekalipun diterpa berbagai macam kendala, BRT Trans Semarang tetap bertahan. Seiring berjalannya waktu, Pemerintah Kota Semarang bersama PT Trans Semarang membenahi pelayanan Trans Semarang mulai dari tingkat manajemen, armada, hingga infrastruktur fisik.
Bus Trans Jateng di salah satu halte di Kawasan Industri Kendal, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Kamis (15/10/2020). Kawasan Industri Kendal resmi dilewati Trans Jateng koridor Semarang-Kendal.
Salah satu indikator pembenahan ini dapat dilihat dari penambahan jumlah koridor dari tahun ke tahun. Dalam tiga tahun pertamanya, yakni 2009-2012, Trans Semarang hanya mampu menambah satu koridor. Namun, tiga tahun berikutnya, membuat dua koridor, menjadi total empat koridor.
Pengembangan jaringan ini terus dilakukan hingga 2022. Kini, Trans Semarang telah memiliki delapan koridor utama dan empat koridor feeder. Jumlah busnya pun telah bertambah menjadi 259 unit atau sepuluh kali lipat lebih banyak daripada masa awal operasional. Sebanyak 82 unit bus dimiliki pemerintah dan 177 lainnya milik konsorsium PT Trans Semarang.
Inovasi
Dari sejumlah inovasi yang dilakukan, salah satu capaian terbesar Trans Semarang adalah menjangkau hampir semua wilayah di Kota Semarang. Hal ini bukan perkara mudah mengingat sebagian wilayah kota memiliki kontur perbukitan dengan jalan yang curam dan sempit.
Strategi yang diambil Trans Semarang adalah melalui koridor feeder. Berbeda dari koridor utama yang dilayani bus besar atau sedang, koridor ini menggunakan minibus berkapasitas 20 orang. Dimensi yang lebih kecil membuat angkutan koridor feeder dapat dengan lincah melintasi jalur yang sempit, berkelok, dan menanjak.
Inovasi lain yang menunjang pengoperasian koridor feeder adalah penyederhanaan halte bus. Sebelumnya, halte dibuat dari konstruksi permanen yang membutuhkan ruang cukup besar. Kemudian, halte mulai disederhanakan dalam bentuk portabel yang lebih ringkas. Kini, sebagian besar halte Trans Semarang hadir dalam bentuk rambu yang sangat ringkas dan jauh lebih murah. Setidaknya 54 persen dari total 961 halte pemberhentian Trans Semarang merupakan rambu, sedangkan 27 persen dalam bentuk permanen dan 18 persen sisanya halte portabel.
Penyederhanaan semacam itu membuat titik pemberhentian dapat diperbanyak dengan mudah sesuai kebutuhan masyarakat. Hal ini juga ditunjang kedisiplinan kendaraan untuk menaikturunkan penumpang hanya di titik rambu. Dengan adanya terobosan ini, Trans Semarang akhirnya mampu menjangkau dan menghubungkan hampir semua sudut wilayah Kota Semarang.
Bus rapid transit Trans Semarang berhenti di Halte Simpang Lima, Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (20/1/2019).
Selain penambahan koridor dan penyesuaian infrastruktur fisik, Trans Semarang juga semakin memudahkan penggunanya dengan layanan aplikasi Trans Semarang yang dapat diunduh di Google Play ataupun App Store. Melalui aplikasi ini, pengguna dapat mengetahui informasi rute, membeli tiket, hingga memantau lokasi bus secara real time. Pemanfaatan teknologi digital juga dilakukan Trans Semarang melalui penerapan metode pembayaran secara cashless, yakni menggunakan kartu e-money ataupun e-wallet dengan memindai QRIS.
Komitmen
Komitmen Pemerintah Kota Semarang dalam mengoptimalkan layanan Trans Semarang juga diwujudkan melalui peningkatan anggaran. Pada tahun 2016, jumlah APBD Kota Semarang yang dikucurkan untuk operasionalisasi Trans Semarang adalah Rp 52 miliar. Pada tahun 2022, jumlah ini naik empat kali lipat menjadi Rp 213 miliar atau 89,4 persen dari total kebutuhan anggaran. Dukungan anggaran dari pemerintah seperti ini dapat menjadi faktor penentu keberhasilan layanan karena penyelenggaraan Trans Semarang menggunakan skema badan layanan umum (BLU) yang tidak berorientasi pada keuntungan.
Semangat para pemangku kepentingan untuk terus membenahi Trans Semarang pada akhirnya dapat meyakinkan masyarakat untuk mulai beralih menggunakan transportasi umum. Pada awal kemunculannya tahun 2010, Trans Semarang hanya mampu mengangkut 369.000 penumpang atau sekitar 1.000 penumpang per hari. Selang sembilan tahun kemudian, yakni pada 2019, jumlahnya melonjak hingga 30 kali lipat menjadi 11,3 juta penumpang atau 30.900 penumpang per hari.
Meski masih terdapat sejumlah hal yang perlu ditingkatkan, seperti peremajaan bus hingga perawatan sarana dan prasarana, Trans Semarang telah memberi bukti nyata betapa penting inovasi dalam penyelenggaraan transportasi publik. Diharapkan, terobosan-terobosan yang berorientasi pada kebutuhan pengguna terus dikembangkan sehingga masyarakat semakin berminat mengutamakan transportasi publik. Hal ini tentu saja akan berimbas positif bagi kawasan perkotaan dan kualitas kehidupan warga kota karena kian minim kemacetan dan polusi udara. (LITBANG KOMPAS)