Nama Bharat dipilih sebagai pengganti nama India. Ada pertimbangan politis yang mewarnai penggantian nama tersebut. Apa dampaknya bagi India?
Oleh
RANGGA EKA SAKTI
·4 menit baca
REUTERS/ADNAN ABIDI
Perdana Menteri India Narendra Modi menemui anak-anak sekolah setelah menyampaikan pidato kenegaraan dalam perayaan Hari Kemerdekaan India di Red Fort, New Delhi, India, Rabu (15/8/2018).
Dalam pergelaran Konferensi Tingkat Tinggi G20 di New Delhi, 9-10 September 2023, tuan rumah menggunakan nama Bharat, alih-alih India yang selama ini dikenal dunia. Cerita di balik nama baru ini memberikan gambaran atas arah politik India yang cenderung makin konservatif.
Sangat jarang nama Bharat digunakan secara resmi dalam forum internasional, terlebih dalam acara dengan magnitudo besar seperti G20. Penggunaan nama baru, Bharat, menggantikan India yang tercetak dalam plakat nama Perdana Menteri Narendra Modi ini pun memantik reaksi publik, baik di dalam maupun di luar India.
Sejatinya, Bharat tidaklah asing di mata warga India. Bahkan, nama ini termaktub dalam konstitusi sebagai salah satu nama resmi dari negara tersebut. Selain India dan Bharat, nama lain yang juga diakui adalah Hindustan.
Nama India dan Hindustan berasal dari sumber yang sama, yakni Sungai Indus atau dahulu disebut dengan Sungai Sindhu. Sindhu, istilah yang berasal dari bahasa Sanskerta, merujuk kepada sungai besar yang mengaliri wilayah sebelah barat laut anak benua India.
Sungai ini membentang lebih kurang 3.200 kilometer, mengalir mulai dari kawasan Himalaya hingga mencapai Laut Arab. Tak ayal, selain menjadi batas alami dari wilayah India, sungai ini pun memberikan identitas bagi negara tersebut.
Perubahan nama Sindhu menjadi India melewati berbagai proses evolusi. Awalnya, orang-orang Persia yang merupakan kerabat dekat orang Arya di India cukup kesulitan melafalkan bunyi awalan ”S”. Mereka sering kali menggantinya dengan lafal ”H”. Oleh karena itu, mereka menyebut Sungai Sindhu sebagai Hindu.
Kata Hindu ini kemudian berkelana hingga ke dataran Eropa, termasuk Yunani. Dalam pelafalannya, terjadi lagi pergeseran hingga kata ”Hindu” kehilangan huruf ”H” saat disebutkan orang-orang Yunani. Kata ”Hindu” yang berubah menjadi ”Indu” pun perlahan berubah menjadi ”Indus”, ”Inde”, sampai berubah menjadi ”India” seperti yang biasa dikenal saat ini.
Lebih lanjut, di kawasan Timur Tengah, pergeseran lafal yang muncul di Eropa tidak terjadi. Namun, kata ”Hindu” kemudian ditambahkan sufiks ”-stan” yang secara umum merujuk pada suatu wilayah atau negara. Maka, ”Hindustan” memiliki makna wilayah milik orang-orang Hindu.
Tambahan ”-stan” ini juga bisa ditelusuri di perbendaharaan kata Sanskerta. Dalam bahasa tersebut, terdapat ”-stan”, yang berarti tempat atau wilayah. Penyebutan dengan sufiks ini juga cukup umum ditemukan di negara-negara Asia Tengah hingga Timur Tengah, seperti Uzbekistan, Afghanistan, Kazakhstan, Turkmenistan, dan Pakistan.
Kedua nama itu, India dan Hindustan, bisa dibilang nama julukan atau eksonim. Artinya, besar kemungkinan penamaan ini tidak berasal dari warganya sendiri, tetapi sebutan yang digunakan orang luar untuk bangsa tersebut. Hal ini berbeda dengan nama Bharat yang cenderung bersifat endonim.
Nama Bharat ini merupakan kependekan dari Bharatvarsha. Kata ini merupakan bagian dari bahasa Sanskerta yang berarti negeri keturunan Bharata. Dalam kitab Weda, Bharata merupakan klan terkuat yang memenangi peperangan sepuluh raja atau Pertempuran Dasharajna.
Selain sejarahnya, nama India dan Bharat ini memiliki kesan yang berbeda ketika digunakan. Di satu sisi, nama India lekat dengan mereka yang berasal dari kalangan terpelajar, tinggal di wilayah urban, dan berasal dari ekonomi menengah ke atas. Mereka dipandang sebagai bagian dari ”India” yang kini tengah menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.
Sementara itu, Bharat lebih kerap digunakan mereka yang tinggal di desa, memiliki keterbatasan akses pendidikan, dan berasal dari warga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Secara demografis, ratusan juta orang inilah yang menjadi komposisi terbesar warga negaranya.
Penggunaan kedua nama ini juga berbeda dari bahasa yang digunakan. Sebagai bekas koloni Inggris, bahasa Inggris menjadi bahasa formal dan sehari-hari yang digunakan masyarakat India. Sementara bahasa lain yang juga digunakan adalah bahasa Hindi yang juga menjadi bahasa nasional selain bahasa Inggris.
Dalam bahasa Inggris, India digunakan sebagai penyebutan negara. Sementara nama Bharat digunakan ketika masyarakat tengah menggunakan bahasa Hindi.
AFP/LUDOVIC MARIN
Perdana Menteri India Narendra Modi (kanan), Presiden Prancis Emmanuel Macron (2 kiri), Presiden RI Joko Widodo (dua kanan) dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese (kiri) memberikan penghormatan pada peringatan Mahatma Gandhi di Raj Ghat di sela-sela KTT G20 di New Delhi pada 10 September 2023.
Namun, terkadang digunakan juga nama Hindustan dalam penggunaan bahasa Hindi. Tak heran, muncul pandangan bahwa penggunaan nama India ini bak melanggengkan kolonialisme yang meninggalkan luka mendalam bagi bangsa ini.
Maka, pergeseran nama ini memiliki makna yang dalam bagi warga India. Terutama bagi mereka yang selama ini secara ekonomi termarginalkan, nama Bharat bak angin segar yang memberikan kebanggaan tersendiri bagi mereka.
Mereka yang bangga dengan nama Bharat ini menjadi bagian yang tidak kalah penting dibandingkan dengan warga kelas atas yang menikmati geliat pertumbuhan ekonomi India.
India diperkirakan dalam lima tahun ke depan mampu berada di peringkat tiga teratas dunia. Pertumbuhan ekonomi India diperkirakan 6-6,5 persen yang menempatkan negara ini masuk kategori negara dengan pertumbuhan yang cepat di dunia.
Perubahan nama ini juga tidak lepas dari aspek politik. Pergantian nama yang berdekatan dengan Pemilu 2024 di India ini tentu menimbulkan tanda tanya. Sulit tidak mencurigai aspek politis Perdana Menteri (PM) Narendra Modi, sang petahana, bermain retorika dalam keputusan pergantian nama tersebut. Terlebih lagi, nama Bharat itu lebih menempel di benak masyarakat kelas bawah yang menjadi mayoritas di India.
Nama Bharat, karena berasal dari kitab Weda, melekat dengan agama Hindu. Hal ini berpotensi menimbulkan narasi bahwa India sebagai negara merupakan milik masyarakat Hindu saja. Dalam konteks politik India, munculnya narasi Bharat ini bukan sekadar pergantian nama saja.
Dipergunakannya nama Bharat menjadi pertanda semakin mengakarnya politik konservatisme yang digawangi PM Narendra Modi dan partainya, Bharatiya Janata Party (BJP).
Dipergunakannya nama Bharat menjadi pertanda semakin mengakarnya politik konservatisme.
Selama ini, para pendukung Modi dan partainya, BJP, menuntut kebijakan yang berat kepada kelompok Hindu. Bahkan, simpatisannya yang berasal dari gerakan sayap kanan tak segan melakukan kekerasan kepada masyarakat lain.
Retorika politis yang diambil Modi ini juga memiliki potensi risiko tinggi, terutama dalam hal kerukunan bangsa. Meski terlihat positif, penggunaan Bharat bisa memicu semangat nasionalisme ekstrem. Namun, apabila tidak hati-hati, semangat ini bisa berujung pada konflik horizontal dan disintegrasi bangsa.
Pasalnya, masyarakat India bukanlah masyarakat homogen. Setidaknya terdapat empat penganut agama-agama besar, yakni Hindu, Islam, Kristen, dan Sikh, yang selama ini hidup berdampingan di India. Sepanjang sejarahnya, keempat agama inilah turut membangun peradaban India selama ribuan tahun hingga di era pascakolonial. (LITBANG KOMPAS)