Konflik dan Perang, Biang Keladi 108,4 Juta Orang Terusir dari Rumahnya
Masih terus bertambah orang yang terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya, bahkan harus keluar dari negaranya untuk mengungsi akibat persekusi, konflik, kekerasan, dan pelanggaran HAM.
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·3 menit baca
Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mencatat setidaknya ada 108,4 juta orang terpaksa meninggalkan rumah di seluruh dunia hingga akhir tahun 2022. Data Global Trends Forced Displacement 2022, yang dirilis UNHCR pada pertengahan 2023, menunjukkan 35,3 juta orang dari angka tersebut berstatus sebagai pengungsi yang tidak berada di negaranya sendiri.
Sementara 62,5 juta orang adalah mereka yang menjadi pengungsi internal, artinya mereka yang terpaksa menjadi pengungsi di negaranya sendiri. Selanjutnya 5,4 juta orang berstatus sebagai pencari suaka atau mereka yang terpaksa hidup tanpa kewarganegaraan. Sisanya, 5,2 juta orang adalah mereka yang berada dalam situasi memerlukan perlindungan internasional.
Jika dilihat lebih dalam, nyatanya 76 persen dari jumlah total pengungsi ditampung oleh negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Akibat konflik, tampak pula bahwa permasalahan pengungsi menjadi masalah yang melebar secara kewilayahan. Sebab, 70 persen pengungsi untuk sementara ditampung oleh negara tetangga terdekat dengan negara yang sedang berkonflik.
Data ini sekaligus menunjukkan bahwa permasalahan pengungsi, yang sebagian besar merupakan pelarian dari negara berpendapatan rendah dan menengah, membentuk lingkaran problem baru di antara negara-negara dengan kelas ekonomi yang lebih kurang sama.
Jika dilihat berdasarkan negara penerima aliran pengungsi, Turki menjadi negara dengan jumlah pengungsi paling banyak. Negara ini menjadi tempat persinggahan sekitar 3,6 juta pengungsi. Berikutnya, Iran menampung sebanyak 3,4 juta pengungsi. Bergeser ke wilayah di Amerika Latin, Kolombia menjadi tujuan 2,5 juta pengungsi.
Konflik yang terutama berujung perang masih menjadi penyebab utama derasnya aliran pengungsi. Masih dari sumber data yang sama, 6,5 juta pengungsi berasal dari Suriah. Angka ini membuat negara ini menjadi penyumbang terbanyak pengungsi di seluruh dunia. Suriah disusul oleh dua negara berikutnya, yakni Ukraina dan Afghanistan.
Baik Ukraina maupun Afghanistan menjadi negara asal pengungsi dengan angka sama, yakni sekitar 5,7 juta orang. Jika melihat tiga negara terbesar yang menjadi asal pengungsi, makin dikuatkan bahwa konflik dan perang masih menjadi faktor utama yang menimbulkan banyaknya jumlah pengungsi di dunia.
Secara khusus di Ukraina, yang menjadi medan konflik dan perang terbaru, korban sipil hingga saat ini masih terus bertambah. Komisi Tinggi PBB untuk HAM (OHCHR) mencatat sejak 24 Februari 2022 hingga 10 September 2023 korban sipil yang jatuh akibat perang di Ukraina sebanyak 27.149 jiwa.
Sebanyak 9.614 orang di antaranya adalah korban meninggal dan 17.535 lainnya merupakan korban luka-luka. Khusus untuk September 2023, dalam sepuluh hari pertama bulan ini 292 korban sipil masih jatuh di Ukraina. Dari jumlah tersebut, 55 orang terbunuh dan 237 orang luka-luka.
Dengan durasi konflik yang lebih dahulu terjadi, Suriah juga menunjukkan situasi yang sama-sama memprihatinkan. Perang yang sudah berlangsung di Suriah selama 12 tahun terakhir menyebabkan kematian di negara tersebut lebih dari 300.000 warga sipil atau setara dengan 1,5 persen dari total populasi sebelum perang terjadi.
Lebih memprihatinkan lagi, 27.126 dari angka di atas merupakan anak-anak. Dengan kata lain, dalam 12 tahun terakhir ada enam anak Suriah yang meninggal setiap hari akibat perang. OHCHR menekankan bahwa angka ini adalah korban akibat serangan langsung operasi perang, belum termasuk mereka yang akhirnya meninggal akibat kehilangan akses terhadap kesehatan, makanan, air bersih, dan hak dasar hidup yang lain.
Kembali pada data pengungsi, UNHCR mencatat pada tahun 2022 sebanyak 6 juta pengungsi telah berhasil kembali ke daerah atau negara asalnya. Namun, sebagian besar dari angka ini merupakan pengungsi internal, yakni 5,7 juta orang. Sisanya, hanya sekitar 300.000 pengungsi internasional yang berhasil kembali ke negara asalnya.
Masih dari sumber data yang sama, 6,5 juta pengungsi berasal dari Suriah. Angka ini membuat negara ini menjadi penyumbang terbanyak pengungsi di seluruh dunia.
Selain usaha untuk kembali ke negara asal, penanganan lain yang memungkinkan diberikan untuk memberikan hak-hak dasar hidup bagi pengungsi adalah memberikan tempat tinggal yang layak atau memukimkan mereka kembali. Pada tahun 2022, terdapat 114.300 orang yang berhasil dimukimkan kembali. Angka ini meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 2021 yang hanya sekitar 57.500 orang.
Salah satu tantangan dalam penanganan pengungsi secara global adalah masih terbatasnya negara pihak yang menyetujui Konvensi 1951 mengenai status pengungsi. Hingga tahun 2010 hanya terdapat 65 negara yang menyatakan diri sebagai negara pihak dalam konvensi yang menjamin perlindungan terhadap hak-hak hidup dasar pengungsi ini.
SATGAS MARITIME TASK FORCE (MTF) TNI KONTINGEN GARUDA XXVIII-N
Pengungsi Suriah terkatung-katung dengan kapal yang nyaris tenggelam, 74 kilometer dari pantai kota Tripoli, Lebanon, 31 Desember 2022.
Situasi pelik terjadi jika memandang soal penanganan ini dari sisi kekuatan ekonomi yang menjadi negara tujuan para pengungsi. Sebagaimana data di awal, hampir tiga perempat dari negara tujuan pengungsi merupakan negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Padahal, untuk memberikan dukungan penuh terhadap konvensi tentang status pengungsi ini tidak mungkin tanpa menimbulkan konsekuensi finansial bagi sebuah negara.
Dengan kata lain, melakukan penanganan kepada pengungsi berdasarkan apa yang terjadi di hilir tampaknya masih menjadi lorong gelap dan terjal. Untuk itu, penanganan dapat dilakukan dari sisi hulu alias akar masalah. Apabila konflik dan perang yang menjadi akar utama masalah ini dapat terselesaikan, maka jumlah pengungsi secara berangsur dimungkinkan untuk menurun.
Belum lagi ketika melihat dampak-dampak kemanusiaan lain yang timbul akibat perang, pengungsi tak hanya jadi satu masalah yang timbul sebagai akibat. Akhirnya, dengan alasan apa pun, konflik dan perang yang tak terselesaikan merupakan problem yang secara terus-menerus menghancurkan kemanusiaan ketimbang memperjuangkannya. (LITBANG KOMPAS)